Lalu kuamati Luna. Ia pun mulai panik, mirip yang lainnya. Jelas ia sedang tak ingat bahwa ada aku bersamanya. Cepat, tanpa suara, aku ambil tas punggungku, lalu melesat ke arah toilet. Persis seperti kata-kata Janitra dulu, selalu bawa baju seragam dan perlengkapan di mana pun berada. Meski kemungkinannya sangat kecil, tetap akan selalu ada kejadian di mana sedikit aksi diperlukan.
Seperti saat ini.
Aku berganti baju dan memakai perlengkapan tepat ketika dari ruang depan kafe terdengar teriakan-teriakan ancaman bernada gahar yang ditingkah jeritan lain lagi.
Dugaanku betul. Ada penyanderaan!
***
sesaat tertatap olehku bayanganku di cermin toilet. Sekilas penampilanku mirip ninja. Seragam tempur ketat dan kedok berwarna serba gelap. Bedanya, punyaku bukan biru gelap (ninja berseragam biru gelap, bukan hitam pekat seperti di film-film Hollywood!), melainkan merah tua. Di jidat topengku, terpasang sulaman lambang matahari emas. Di punggung tersandang senjata utamaku, berupa sebatang tongkat pendek berujung runcing. Dan di sekitar pergelangan di sarung tangan serta ikat pinggang adalah aneka macam senjata bidik berukuran kecil yang kadang aku sendiri susah mengingatnya.
Detik-detik seperti ini, aku selalu teringat semua rangkaian pelatihanku selama satu dekade di Pulau Tak Bernama, oleh Janitra. Dia menculikku saat aku masih berumur lima tahun, melatihku spartan dalam bidang ilmu apa saja—termasuk bela diri dan penggunaan senjata—untuk sesatu yang ia sebut Jalan Akhir pada masa depan. Entah apa pula itu. Dan demi menuju hari penentuan itu, aku harus melatih semua kemampuanku dalam mengabisi siapa saja yang menjadi musuh bagiku.
Bukan, bukan semacam “menegakkan keadilan dan kebenaran” seperti jargon komik atau cerita silat picisan. Tapi siapapun. Bisa orang jahat. Bisa pula orang baik-baik. Asal tengah berlawanan posisi denganku. Barangkali, kalau yang kuhadapi adalah geng teroris seperti sekarang ini, bolehlah motto agung itu pas diterapkan padaku.
Lalu kuletakkan telapak tangan di lantai toilet. Kata Janitra, kekuatan ini dinamai Nurus Bumi—menembus ke dalam tanah—sehingga sanggup “melihat” dunia sekitar dalam radius 30 meter lewat vibrasi energi yang diterima Bumi. Dan setelah 10 tahun melatihnya, plus aksi-aksiku di luaran sepanjang dua tahun ini, aku sudah menguasainya dengan brilian.
Cepat sekali aku melihat dengan pikiranku apa yang terjadi di ruangan utama kafe. Para teroris berjumlah empat orang, semua bersenjata laras panjang. Mereka menyandera semua yang ada di kafe—pasti hendak menuntut uang tebusan atau tuntutan lain pada aparat berwenang, dengan keselamatan para sandera sebagai taruhannya.
Dua berada di sekitar meja barista. Satu di tengah. Satu lagi menjaga pintu. Dan orang kedua tepat berada di dekat mejaku bersama Luna tadi.