Luna menyahut singkat, lalu sibuk dengan ponselnya.
Aku mengalihkan mata ke arah lain, Â tepat ketika seorang waitress cantik melangkah kemari sambil membawakan minuman pesananku dan Luna.
Dan aku sempat heran karena gelas yang diletakkan di meja menimbulkan bunyi seperti ledakan keras.
Lalu ada jeritan-jeritan, suara ledakan lain, juga gelas pecah, dan hampir semua pengunjung kedai bangkit berdiri penuh rasa ingin tahu.
Aku ikut berdiri, menoleh ke arah yang ditatap semua orang. Dan baru sepersekian detik sesudahnya aku menyadari bahwa ada hal lain yang terjadi di luar sana.
Dari jendela lebar kafe terlihat situasi tak seperti biasanya. Orang-orang di trotoar jalan berlarian sambil memekik dan menjerit. Dan ada suara ledakan lagi. Bukan ledakan tepatnya, melainkan letusan—beberapa kali saling susul.
Kemudian terlihat olehku sosok beberapa pria berbusana serba hitam dan bertopeng menembakkan senjata api ke banyak arah. Atas, samping, depan—seperti asal menembak.
Napasku tertahan di dada seiring para pengunjung kafe yang mulai kacau dan berteriak-teriak ketakutan.
Teroris?
Aku mulai menghitung. Ada lima orang, setidaknya yang bisa terlihat dari sini. Dua di antaranya memisahkan diri. Kutatap sesaat pintu depan kafe, tempat beberapa pria hendak berlari keluar. Otakku bekerja cepat. Dua laki-laki bersenjata api laras panjang itu bisa saja menuju kemari.
Akankah terjadi tindak penyanderaan?