[caption caption="(Foto: LeSPI & Yayasan TIFA)"][/caption]Catatan:
Dongeng ini termuat dalam buku antologi "Pocong Nonton Tivi: Dongeng Literasi Media" yang diterbitkan LeSPI & Yayasan TIFA pada tahun 2012. Tahun itu, saya menjadi salah satu pegiat literasi media bersama LeSPI (Lembaga Studi Pers & Informasi) di Semarang. Program ketika itu adalah mengedukasi anak-anak soal dampak tayangan televisi, dan medium yang dipakai adalah dongeng.
Maka hasilnya adalah buku ini, yang memuat dongeng-dongeng tentang televisi karya 10 pendongeng yang datang dari berbagai latar belakang profesi. Ada yang guru SMA, ada yang seniman teater, ada yang dosen, dan macam-macam lagi. Selamat membaca!
***
Pagi itu seperti biasa Baginda Singa bersiap untuk memulai pekerjaan rutinnya memimpin para warga hewan penghuni Hutan Sileng. Ketika ia memasuki ruang kerjanya di istana, Pak Mbam Badak yang bertindak sebagai ajudan merangkap sekretaris pribadi sudah menyambutnya sambil membungkuk hormat.
“Ada tamu siapa saja yang ingin menghadapku, Mbam?” tanya Baginda sambil melangkah ke arah singgasananya.
“Yang pertama Kancil, Baginda. Dia sudah menunggu di luar istana.”
“Ada perlu apa Kancil ingin menghadapku?”
“Katanya berkaitan dengan suatu barang temuan baru yang mengancam keselamatan warga hutan, Baginda.”
“Wah, apakah kiranya itu? Suruh dia masuk segera!”
“Daulat, Baginda.”