Dahiku spontan berkerut. “Pasukan? Tangsi? Batavia? Itu pasukan apaan kok masih pakai nama Batavia?”
“Tentara kolonial Hindia Belanda tentu saja. KNIL. Oh, ya, hampir lupa memberitahumu, aku mati tahun 1909 saat umurku jalan 21—kelaparan dan penuh luka membusuk karena penyiksaan di penjara bawah tanah. Ini 2016, jadi sudah 107 tahun aku mati. Ya, aku memang sudah menjadi arwah penasaran. Itu cara kalian manusia menyebut bangsa kami, bukan?”
Seluruh darahku seperti disedot keluar dari badan. Dingin menyergap ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ap-apa...?”
“Dan dalam bentuk inilah aku mengajakmu bekerja sama.”
“Memangnya kerja sama untuk apa?”
“Melanjutkan misiku membalas dendam pada semua keturunan Konterman. Kamu jadi Handel-ku. Handel yang sebelumnya mati dibunuh polisi dua hari lalu. Aku perlu Handel baru, dan kamu sosok yang tepat untuk itu.”
“Handel? Apa itu?”
“Itu istilah ilmiah bangsa kami untuk menyebut sosok jasad manusia yang menjadi wadah bagi kami melakukan aksi-aksi di alam dunia. Kesurupan, tahu kan?”
Aku meneguk ludah. Kepalaku terangguk sendiri tanpa bisa kukendalikan.
“Nah, kamu jadi wadah untukku. Lalu aku pinjam tangan, kaki, mata, telinga, tenaga, dan kecerdasanmu untuk melakukan misiku.”