[caption caption="(Foto: vrty.org)"][/caption]Terburu-buru, setengah berlari aku keluar dari lift menuju kantor Libra Advertising. Dan seperti yang sudah kuduga, tak ada seorangpun yang tengah sibuk di kubikel masing-masing seperti biasa. Semua berdiri, termasuk para bos, menatap pada layar TV besar di bagian sudut atas ruangan.
Sorot mataku ikut mengarah ke sana, senyampang menuju mejaku dan menaruh tas punggung di sana. Wanda dan Alif menoleh ke arahku sekilas, tapi tak berkomentar. Perhatian mereka dengan cepat kembali tertuju pada televisi.
“Ada perkembangan apa?” tanyaku, melepas jaket dan lalu masker.
“Presiden bentar lagi akan ngasih konferensi pers,” jawab Wanda dengan wajah pucat. “Ini lagi mantau CNN.”
Yang ditampilkan di layar kaca memang kanal siaran berita internasional CNN dari jaringan TV satelit yang dilanggan kantorku. Di sana nampak newscaster kenamaan Christianne Amanpour tengah melakukan liputan langsung dari Kuala Lumpur. Ia berada di trotoar wilayah perkotaan ibukota Malaysia itu, mengenakan overcoat dan baju berlapis sehingga nampak gemuk. Wajahnya nyaris tertutup sempurna oleh masker lebar dan kacamata goggle yang sempurna melindungi mata.
Terlihat nyaris sunyi di sekelilingnya. Hanya terlihat satu-dua kendaraan melintas di jalanan sepi sambil menyalakan semua lampu yang mungkin dinyalakan. Penunjuk waktu di layar bertuliskan “11.15”, sejam lebih cepat dari waktu Jakarta yang baru menunjukkan pukul 10.15 WIB, namun suasana semesta seperti malam hari. Gelap pekat. Terlebih tak ada lampu jalan yang menyala.
Amanpour melaporkan, pemerintah Malaysia telah melakukan evakuasi besar-besaran untuk mengosongkan Kuala Lumpur. Dan mereka akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dan dunia internasional untuk melakukan tindakan penanganan selanjutnya. Lalu tulisan di running text di bagian bawah layar membuat kudukku merinding: “Volcanic dust will block sunlight for two years or more, scientist says”.
Kulihat Wanda menutup mulutnya. Wajah gadis itu makin pucat.
“Masya Allah, dua tahun...” ia mendesis pelan. “Dua tahun...!?”
“Coba Kompas TV atau Berita Satu!” seru Andrean sang asisten manajer. “Mungkin pidato Presiden sudah mulai.”
Aldo yang kebetulan tengah memegang remote control seketika melakukan perintah itu. Layar berganti ke kanal Berita Satu, tepat ketika Presiden Sutopo Wrahasto tengah membetulkan letak mikrofon di podium Istana Presiden dengan raut wajah keruh. Pria akhir 50-an berkepala botak dan berpipi gemuk itu tak mengenakan kaca mata bacanya seperti biasa. Kali ini ia memang tak akan membaca naskah apa pun, karena yang ini bukan pidato kenegaraan atau basa-basi pencitraan yang menjadi keahlian para politikus sepertinya.
“...Saudara-saudara, sebagaimana kita semua ketahui, pada hari Selasa 31 Maret 2020, atau tepatnya kemarin sore pukul 16.48 WIB, Gunung Toba di Provinsi Sumatera Utara telah mengeluarkan erupsi besar. Menurut para ilmuwan vulkanologi, geologi, klimatologi, dan sejarah, ini merupakan letusan pertama Gunung Toba yang pertama sejak terakhir kali meletus 75 ribu tahun yang lalu. Erupsi Gunung Toba begitu besar sehingga menimbulkan getaran gempa vulkanik berkekuatan 10 pada Skala Richter yang terasa hingga Jawa dan bahkan Jepang. Berdasarkan laporan BNPB atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana, erupsi supervolcano Gunung Toba menyebarkan gas beracun hingga radius 200 kilometer dari pusat erupsi dan juga abu vulkanik yang menyebar tanpa batasan jarak. Jumlah korban hingga saat ini belum diketahui, namun saya menerima laporan terbaru, diperkirakan koban berjumlah sekurangnya 125 ribu jiwa dan terus bertambah. Tim BNPB, SAR, dan TNI hingga saat detik ini masih terus berusaha menjangkau lokasi bencana. Sementara untuk daerah-daerah lain di sekitar Sumatera Utara dan bahkan hingga ke pulau Jawa dan Kalimantan, telah saya perintahkan evakuasi besar-besaran untuk mengantisipasi persebaran gas beracun hingga melewati pulau di luar Sumatera...”
Tak ada seorang pun yang bergerak. Aku bahkan takut menghirup napas. Kulihat situasi di luar jendela lebar lantai 38 gedung Menara Helman ini. Seperti malam sempurna di sana. Tak ada cahaya yang terlihat. Langit berwarna cokelat merah menakutkan oleh pendaran cahaya matahari siang yang dibiaskan pekatnya abu vulkanik.
“...Erupsi ini tidak hanya menjadi bencana nasional, melainkan sebuah musibah internasional yang menjadi perhatian seluruh dunia. Presiden Amerika Serikat dan Sekretaris Jenderal PBB bahkan telah menyatakan erupsi Gunung Toba sebagai sebuah Extinction Level Event, atau kejadian yang berpotensi pada kepunahan massal. Ini karena ancaman terbesar dari erupsi Gunung Toba terutama adalah abu vulkaniknya yang begitu masif, tebal, dan menutupi cahaya matahari seperti yang Anda semua saksikan dan alami sekarang ini sejak kemarin petang...”
Sontak semua menatap kekelaman di luar jendela.
Tentu saja. Tak ada yang tak tahu itu. Aku pun semalam sibuk mencari semua data ilmiah mengenai hal ini. Dan jawaban-jawaban yang tersaji membuat tanganku gemetaran dari tadi malam hingga sekarang. Tadi aku tak bisa tidur, sama sekali. Terpikir berbagai kemungkinan yang dapat terjadi jika semua makhluk di planet ini—hewan, tumbuhan, dan kami manusia—hidup tanpa sinar matahari untuk jangka waktu lama.
Dan dua tahun, kata para ilmuwan tadi?
“...Saudara-saudara sebangsa dan se-Tanah Air, dan bahkan seluruh dunia, ini saatnya kita bersatu padu. Abu vulkanik akan menutupi sinar matahari hingga jangka waktu lama. Dua tahun menurut perkiraan ilmiah para ilmuwan, tapi siapa bisa memastikan? Itu pun baru perkiraan waktu tersingkat. Tanpa matahari, tumbuhan akan mati karena tak bisa berfotosintesa. Terutama seluruh tumbuhan pangan—gandum, padi, jagung, palawija, semuanya. Tahun ini seluruh wilayah dunia akan mengalami gagal panen. Lalu kelangsungan hidup umat manusia hanya bergantung pada cadangan pangan dunia yang masih ada. Pertanyaannya, lalu sesudah itu apa...?”
Aku meneguk ludah. Ya, sesudah itu lalu apa? Tak ada panen pangan hingga dua tahun. Dan kelak, jika abu vulkanik telah menipis dan matahari kembali bersinar, belum tentu semua masih ada dan tersedia tepat seperti situasi sekarang sehingga manusia dapat membangun kembali semuanya. Bisa saja tanah Bumi sudah tak bisa lagi ditanami. Bisa saja benih-benih padi atau gandum telah tak ada lagi.
Bahkan bisa saja Homo sapiens sudah lenyap tak bersisa...
“...Ketiadaan pangan sama saja dengan lenyapnya perekonomian, industri, dan pada dasarnya semua peradaban. Politik akan musnah, negara akan hancur, dan manusia bisa saja kembali hidup pada zaman purbakala sebelum adanya semua budaya, semua peraturan. Maka ini saatnya kita bersatu menyikapi itu semua, untuk mencegah umat manusia dari kehancuran global. Singkirkan semua perbedaan! Tak ada lagi Koalisi Nusantara atau Aliansi Perubahan Indonesia. Tak ada lagi muslim nonmuslim. Tak ada lagi ISIS atau Taliban atau Crusaders Army! Ini saatnya Israel dan Palestina, Korea Selatan dan Korea Utara, atau polisi dan kartel narkoba di Meksiko, harus bergandeng tangan. Karena ini momen pertaruhan bagi kita semua. Dan dalam pertaruhan nasib itu, tak ada lagi beda antarkeyakinan atau antargolongan. Semua akan sama-sama terkena, tak akan ada yang masuk perkecualian...!”
Lalu aku teringat wajahnya. Kuambil ponsel. Kusebut namanya untuk mengaktifkan panggilan.
“Alma.”
Foto wajahnya muncul di layar.
“Halo? Kamu di mana?”
Aku berlarian meninggalkan meja.
“Hans! Mau ke mana!?”
Tak kupedulikan teriakan Wanda. Kulintasi pintu kantor sambil kembali memakai masker.
***
Aku membuka pintu, dan kekelaman berwarna merah kecokelatan menyambutku di atap gedung Century Tower yang berlantai 25. Angin berhembus kencang, menerpakan debu-debu halus ke arah wajah dan rambutku. Kulihat dia ada di sana, seperti yang dikatakan barusan di telepon, berdiri mematung seorang diri menatap langit, tepat di pusat helipad. Bukannya berlindung di kantornya, production house NE Entertainment di lantai 10 gedung ini, dia malah sengaja menantang debu di luaran. Bergegas kudekati dia.
“Alma, lagi ngapain di sini? Ayo, masuk! Udara nggak sehat. Abu vulkanik mengandung kristal kaca silika.”
Alma bergeming. Gadis berambut indah yang sudah sejak lama mengisi hari-hariku itu menoleh sekilas, lalu kembali menatap langit. Ia mengenakan kaca mata dan masker.
“Apa bedanya? Toh kita semua akan mati tak lama lagi. Bahkan kerajaan manusia akan berakhir dalam masa hidup kita. Tragis, bukan? Ternyata seperti ini rasanya menyongsong Kiamat yang sudah diramal dalam semua kitab suci itu...”
Bibirku bergetar. “Be-belum tentu. Para ilmuwan masih bisa mengusahakan caranya. Tadi Presiden sud...”
“Presiden sama ilmuwan sepinter Einstein pun bisa apa? Kalau matahari lenyap dan kita gelap-gelapan seperti ini selama dua tahun lebih, semua akan lenyap. Siklus hidup berhenti. Ini seperti tabrakan meteor 65 juta tahun lalu yang bikin dinosaurus punah dan kehidupan harus dimulai dari nol lagi. Manusia juga akan pundah, dan hidup dimulai dari bakteri, atau virus, atau amuba bersel satu di lautan. Baru miliaran tahun lagi akan ada makhluk sempurna seperti kita, tapi bentuk biologisnya mungkin sudah beda jauh.”
Aku kehilangan kata-kata. Dia dan aku punya ketertarikan yang sama pada kosmologi, astronomi, fisika teori, dan sejarah alam semesta. Tepat seperti itu yang dulu pernah kami obrolkan andai terjadi sebuah peristiwa global catastrophy yang mengancam kelangsungan seluruh hidup di planet rapuh ini.
“Betewe, kamu ngapain malah ke sini? Nggak kerja apa?”
Napasku tertahan di dada. Kalimat berikut, yang sudah kurencanakan sejak berangkat dari apartemen pagi tadi, meluncur tanpa hambatan.
“Alma... I love you. W-will you... will you...?”
Alma tertawa pelan. Agak sinis.
“Kayak di film ya? Sesudah mau mati, baru berani bilang ‘I love you’. Padahal dua tahun ini waktu berlimpah, dan aku sampai nyaris mati kering menunggu.”
Bibirku gemetaran lagi. “Maaf...”
“Sekarang aku jawab ‘ya’ juga nggak ada gunanya lagi kan? Masa kita mau lamaran, merencanakan hari baik, selametan, lalu ijab kabul dan resepsi dalam keadaan begini? Sebentar lagi, mungkin bahkan besok pagi, chaos sudah akan melanda seluruh dunia. Ekonomi kolaps, politik runtuh. Orang-orang berperang rebutan makanan, air, energi, dan sumber daya, kayak di film Mad Max atau Waterworld. Tak akan ada lagi KUA, RT-RW, kelurahan, persewaan gedung, solo organ, katering, wedding organizer, penata rias...”
Kupeluk dia dari belakang. Erat. Seerat mungkin.
“Aku nggak peduli. Aku hanya ingin bersamamu. Dengan atau tanpa lembaga perkawinan.”
Alma diam, memegang dan mengelus lenganku yang melingkari perutnya. Matanya menatap ke atas. Mataku juga. Langit seperti lukisan sureal abstrak yang mengerikan—penuh debu tebal berwarna merah tua. Hanya ada berkas cahaya samar di atas sana, tapi tak jelas matahari tengah ada di mana. Ini sekitar pukul 13, jadi matahari pastinya lagi ada tepat di atas kepala.
“Menurutmu apa masih ada harapan?”
“Tentu saja. Kenapa tidak?” sahutku. “Manusia sudah pernah berkali-kali selamat dari bencana dahsyat. Gunung Toba toh pernah meletus juga 75 ribu tahun lalu, dan manusia masih ada. Lalu wabah pes, lepra, cacar, dua kali perang dunia...”
Alma melepas masker dan kaca matanya. “Yah, kita anggap saja begitu. Optimisme selalu lebih baik dari apa pun.”
Kedua matanya terpejam.
“Dan kita manusia toh memang hanya menunggu mati. Tak ada bedanya mati normal karena sakit tua, dilindas truk, kena serangan jantung, atau mati karena dunia kiamat.”
Ia membalikkan badan, balas melingkarkan tangan ke badanku, dan mengecup bibirku ringan.
“I love you too,” bisiknya, sebelum kemudian menyandarkan kepala di dadaku.
Kami berpelukan erat. Pelukan pertama sebagai pria dan wanita normal, setelah sekian lama. Namun tak ada renjana. Tentu saja tak ada, dalam semesta gulita dengan langit berwarna kemerahan seperti ini.
Seharusnya aku bangun lebih pagi kemarin. Sesudah ini, entah kapan lagi aku akan bisa menatap matahari terbit. Mungkin tak akan pernah lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H