“Aku nggak peduli. Aku hanya ingin bersamamu. Dengan atau tanpa lembaga perkawinan.”
Alma diam, memegang dan mengelus lenganku yang melingkari perutnya. Matanya menatap ke atas. Mataku juga. Langit seperti lukisan sureal abstrak yang mengerikan—penuh debu tebal berwarna merah tua. Hanya ada berkas cahaya samar di atas sana, tapi tak jelas matahari tengah ada di mana. Ini sekitar pukul 13, jadi matahari pastinya lagi ada tepat di atas kepala.
“Menurutmu apa masih ada harapan?”
“Tentu saja. Kenapa tidak?” sahutku. “Manusia sudah pernah berkali-kali selamat dari bencana dahsyat. Gunung Toba toh pernah meletus juga 75 ribu tahun lalu, dan manusia masih ada. Lalu wabah pes, lepra, cacar, dua kali perang dunia...”
Alma melepas masker dan kaca matanya. “Yah, kita anggap saja begitu. Optimisme selalu lebih baik dari apa pun.”
Kedua matanya terpejam.
“Dan kita manusia toh memang hanya menunggu mati. Tak ada bedanya mati normal karena sakit tua, dilindas truk, kena serangan jantung, atau mati karena dunia kiamat.”
Ia membalikkan badan, balas melingkarkan tangan ke badanku, dan mengecup bibirku ringan.
“I love you too,” bisiknya, sebelum kemudian menyandarkan kepala di dadaku.
Kami berpelukan erat. Pelukan pertama sebagai pria dan wanita normal, setelah sekian lama. Namun tak ada renjana. Tentu saja tak ada, dalam semesta gulita dengan langit berwarna kemerahan seperti ini.
Seharusnya aku bangun lebih pagi kemarin. Sesudah ini, entah kapan lagi aku akan bisa menatap matahari terbit. Mungkin tak akan pernah lagi.