Bibirku bergetar. “Be-belum tentu. Para ilmuwan masih bisa mengusahakan caranya. Tadi Presiden sud...”
“Presiden sama ilmuwan sepinter Einstein pun bisa apa? Kalau matahari lenyap dan kita gelap-gelapan seperti ini selama dua tahun lebih, semua akan lenyap. Siklus hidup berhenti. Ini seperti tabrakan meteor 65 juta tahun lalu yang bikin dinosaurus punah dan kehidupan harus dimulai dari nol lagi. Manusia juga akan pundah, dan hidup dimulai dari bakteri, atau virus, atau amuba bersel satu di lautan. Baru miliaran tahun lagi akan ada makhluk sempurna seperti kita, tapi bentuk biologisnya mungkin sudah beda jauh.”
Aku kehilangan kata-kata. Dia dan aku punya ketertarikan yang sama pada kosmologi, astronomi, fisika teori, dan sejarah alam semesta. Tepat seperti itu yang dulu pernah kami obrolkan andai terjadi sebuah peristiwa global catastrophy yang mengancam kelangsungan seluruh hidup di planet rapuh ini.
“Betewe, kamu ngapain malah ke sini? Nggak kerja apa?”
Napasku tertahan di dada. Kalimat berikut, yang sudah kurencanakan sejak berangkat dari apartemen pagi tadi, meluncur tanpa hambatan.
“Alma... I love you. W-will you... will you...?”
Alma tertawa pelan. Agak sinis.
“Kayak di film ya? Sesudah mau mati, baru berani bilang ‘I love you’. Padahal dua tahun ini waktu berlimpah, dan aku sampai nyaris mati kering menunggu.”
Bibirku gemetaran lagi. “Maaf...”
“Sekarang aku jawab ‘ya’ juga nggak ada gunanya lagi kan? Masa kita mau lamaran, merencanakan hari baik, selametan, lalu ijab kabul dan resepsi dalam keadaan begini? Sebentar lagi, mungkin bahkan besok pagi, chaos sudah akan melanda seluruh dunia. Ekonomi kolaps, politik runtuh. Orang-orang berperang rebutan makanan, air, energi, dan sumber daya, kayak di film Mad Max atau Waterworld. Tak akan ada lagi KUA, RT-RW, kelurahan, persewaan gedung, solo organ, katering, wedding organizer, penata rias...”
Kupeluk dia dari belakang. Erat. Seerat mungkin.