“Ya ampun, Tetep… kamu itu lagi ngelamunin apa?” seru Gumbreg di sela-sela ketawanya. “Cewek-cewek udah pada selesai mandi sejak tadi. Buat apa kamu nongkrong di sini?”
“Enak aja! Yang nungguin perawan mandi juga siapa? Kamu sendiri ‘kali! Kok tau-tau inget pulang kenapa? Pasti kangen Parti, ya kan?”
“Parti duengkulmu! Aku pulang karena sudah rindu masakan Mbok Jiwan, terutama sayur gori-nya yang luar biasa lezat. Bosan juga makan kelinci bakar atau kijang panggang terus-terusan tiap hari.”
Gumbreg adalah seorang petualang ulung. Dia nggak pernah ada di padepokan. Kerjanya tiap hari ngeluyur nggak jelas, kadang sampai setengah bulan seperti sekarang ini. Bapa Empu dan para guru lain membiarkan kelakuannya yang minus itu karena, meski nol gede di pelajaran-pelajaran lain, Gumbreg sangat hebat dalam pelajaran bela diri.
Dalam usia belum lagi menginjak 16 tahun, Gumbreg telah menjadi gegedhug alias preman jagoan di kawasan pedesaan di sekeliling Padepokan Wungkal. Ilmu pedangnya bagus, demikian juga penguasaan tenaga dalam dan ilmu ringan tubuhnya. Karena itu, biarpun ngilang terus, dia nggak pernah kena sangsi. Dia udah berkali-kali menggunakan ilmu silatnya untuk mengusir perampok, begal, dan orang jahat lain yang mengganggu warga sekitar.
“Trus, sekarang kamu mau ke mana?” tanya Tetep kemudian.
“Pulang dong. Yuk! Ini udah waktunya pelajaran kan? Kamu nggak masuk ke sanggar?”
Bukannya beranjak pergi, Tetep malah duduk di batu lagi.
“Males…” gumamnya tak bersemangat
“Uh, dasar pemalas!” Gumbreg duduk di sebelah Tetep, lalu mikir. “Setelah dipikir-pikir, aku juga belum terlalu ingin balik dulu ke padepokan. Mau ikut ke Jimping nggak?”
Tetep langsung menoleh penuh perhatian, “Demi Dewa, aku lupa! Hari ini ya?”