Note: Cerita ini pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Edisi Minggu Suara Merdeka, Semarang, antara Oktober 2006 hingga Januari 2007. Selamat membaca!
Desa Wungkal, 1271 Saka (1349 Masehi)
Pendidikan.
Tetep kadang-kadang mikir, ada nggak ya kata lain yang lebih menyebalkan dari itu? Ada nggak ya kegiatan lain yang lebih menyusahkan dari itu?
Anak-anak duduk berderet-deret rapi dengan sikap sopan sempurna di dalam sanggar. Mereka terpaksa atau dipaksa untuk mendengarkan tiap patah kata yang keluar dari mulut Empu Nalanda. Masih mending kalau yang diomongkan tu bermutu. Lha, ini? Emang siapa yang mau peduli soal letak rasi bintang, jadwal musim tanam, cara-cara pengairan sawah, atau silsilah keluarga Bharata?
Tiap kali sampai di titik ini, ia bener-bener nggak mudeng. Trus maksudnya apa dia dikirim di sini? Belajar? Belajar apaan?
Logikanya, kita belajar untuk mendapatkan ilmu. Dengan ilmu itu kita memiliki bekal untuk mencari uang dan makanan. Nah, kalau saat ini saja uang, makanan, harta benda, dan bahkan kekuasaan berlimpah sudah dimiliki, lantas apa gunanya belajar?
Bukankah itu sama aja dengan buang-buang waktu dan tenaga percuma? Padahal semua orang tahu kalau yang namanya buang-buang waktu itu terlarang. Kedua ortunya sendiri dulu pernah ngomong gitu. Sekarang mereka justru mengirimnya ke Wungkal untuk berguru kepada Bapa Empu Nalanda. Dasar, ortu di mana-mana sama aja. Bisa omong tapi nggak bisa ngasih contoh!
Sebagai Rani Kahuripan dan Bhre Singasari, kedua ortunya punya kekuasaan dan kekayaan yang nyaris tanpa batas di Keraton Wilwatikta. Dan dia jelas-jelas kelak akan meneruskan pangkat dan jabatan mereka. Buat apa belajar soal musim tanam dan letak rasi bintang? Bukankah akan lebih pas jika ia langsung diajari caranya mengatur uang atau tatacara pertemuan agung di Balai Witana di kompleks istana?
Yang lebih tidak masuk akal lagi ialah bahwa di Padepokan Wungkal ia juga harus mempelajari seni tari, seni pedalangan, dan olah kanuragan alias ilmu silat. Ini lagi! Buat apa geto loch…?
Soal seni budaya, Tetep ngerasa sama sekali nggak punya bakat berseni-seni. Seandainyapun iya, dirinya toh kelak nggak bakalan jadi seorang seniman. Ia adalah calon politikus masa depan. Politikus mana perlu baca puisi, bikin syair, atau menyebutkan daftar raja-raja Astinapura?
Dan soal ilmu silat, wah… udah deh! Ia sampai kehilangan akal sehat untuk membicarakannya. Katakanlah ia berhasil mewarisi seluruh simpanan ilmu bela diri Padepokan Wungkal dengan baik dan ia menjelma menjadi pendekar silat nomor satu sejagad raya, trus manfaatnya untuk apa?
Kalau ia menjadi ksatria tanpa tanding di kolong langit, buat apa negara membayar mahal puluhan pengawal pribadinya itu? Duit segitu banyak dibuang percuma. Ntar bisa-bisa malah jadinya dia yang mengawal dan menjaga mereka, bukan sebaliknya!
Dengan benak dipenuhi sebegitu banyak ketidakmudengan, wajar kalau Tetep masih saja setia duduk termangu-mangu di bongkahan batu besar di tengah Kali Giwang meski matahari pagi sudah sepenggalah. Saat ini anak-anak pasti sudah berkumpul di sanggar untuk mulai belajar di bawah bimbingan Ki Ajar Drana, wakil Empu Nalanda. Sebenarnya ada keinginan juga untuk melangkah ke sana, tapi ia sedang terlalu malas sehingga bahkan untuk sedikit bergerak pun nggak ada keinginan sama sekali.
Tetep lantas malah sibuk melamun. Matanya menerawang mengikuti laju arus air Kali Giwang yang berwarna hijau jernih bagus sekali.
Lama sekali ia melamun, sampai-sampai kemunculan seseorang yang mengendap di belakangnya luput dari perhatian.
“Awas badak!!”
Tetep terlompat luar biasa kaget sampai nyaris jatuh terguling masuk air. Suara tawa keras menyambut kelakuannya yang pecicilan seperti benar-benar tengah ada badak nyasar lewat.
Tetep menoleh. Ia merengut sebal.
“Cah edyian! Kadal! Tikus! Monyeeeet…!!”
Itu Gumbreg, saudara seperguruannya di Padepokan Wungkal yang juga datang dari kalangan bangsawan Wilwatikta. Gumbreg berumur sama dengannya, 15 tahun. Dia punya rambut panjang yang agak gimbal karena jarang mandi.
“Ya ampun, Tetep… kamu itu lagi ngelamunin apa?” seru Gumbreg di sela-sela ketawanya. “Cewek-cewek udah pada selesai mandi sejak tadi. Buat apa kamu nongkrong di sini?”
“Enak aja! Yang nungguin perawan mandi juga siapa? Kamu sendiri ‘kali! Kok tau-tau inget pulang kenapa? Pasti kangen Parti, ya kan?”
“Parti duengkulmu! Aku pulang karena sudah rindu masakan Mbok Jiwan, terutama sayur gori-nya yang luar biasa lezat. Bosan juga makan kelinci bakar atau kijang panggang terus-terusan tiap hari.”
Gumbreg adalah seorang petualang ulung. Dia nggak pernah ada di padepokan. Kerjanya tiap hari ngeluyur nggak jelas, kadang sampai setengah bulan seperti sekarang ini. Bapa Empu dan para guru lain membiarkan kelakuannya yang minus itu karena, meski nol gede di pelajaran-pelajaran lain, Gumbreg sangat hebat dalam pelajaran bela diri.
Dalam usia belum lagi menginjak 16 tahun, Gumbreg telah menjadi gegedhug alias preman jagoan di kawasan pedesaan di sekeliling Padepokan Wungkal. Ilmu pedangnya bagus, demikian juga penguasaan tenaga dalam dan ilmu ringan tubuhnya. Karena itu, biarpun ngilang terus, dia nggak pernah kena sangsi. Dia udah berkali-kali menggunakan ilmu silatnya untuk mengusir perampok, begal, dan orang jahat lain yang mengganggu warga sekitar.
“Trus, sekarang kamu mau ke mana?” tanya Tetep kemudian.
“Pulang dong. Yuk! Ini udah waktunya pelajaran kan? Kamu nggak masuk ke sanggar?”
Bukannya beranjak pergi, Tetep malah duduk di batu lagi.
“Males…” gumamnya tak bersemangat
“Uh, dasar pemalas!” Gumbreg duduk di sebelah Tetep, lalu mikir. “Setelah dipikir-pikir, aku juga belum terlalu ingin balik dulu ke padepokan. Mau ikut ke Jimping nggak?”
Tetep langsung menoleh penuh perhatian, “Demi Dewa, aku lupa! Hari ini ya?”
Gumbreg mengangguk sambil tersenyum lebar.
“MAU DONG!!”
“Nah, baru deh kalau urusannya satu itu, semangatnya minta ampun. Lama-lama aku mikir, kamu ini bener-bener bejat sejati!”
Tetep terkekeh enteng, “Biarin. Yuk!”
Mereka bangkit bergegas-gegas dengan penuh semangat meninggalkan sungai. Kali ini langkah Tetep begitu cekatan sepertinya ia baru aja menelan puluhan pil obat kuat!
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H