Soal seni budaya, Tetep ngerasa sama sekali nggak punya bakat berseni-seni. Seandainyapun iya, dirinya toh kelak nggak bakalan jadi seorang seniman. Ia adalah calon politikus masa depan. Politikus mana perlu baca puisi, bikin syair, atau menyebutkan daftar raja-raja Astinapura?
Dan soal ilmu silat, wah… udah deh! Ia sampai kehilangan akal sehat untuk membicarakannya. Katakanlah ia berhasil mewarisi seluruh simpanan ilmu bela diri Padepokan Wungkal dengan baik dan ia menjelma menjadi pendekar silat nomor satu sejagad raya, trus manfaatnya untuk apa?
Kalau ia menjadi ksatria tanpa tanding di kolong langit, buat apa negara membayar mahal puluhan pengawal pribadinya itu? Duit segitu banyak dibuang percuma. Ntar bisa-bisa malah jadinya dia yang mengawal dan menjaga mereka, bukan sebaliknya!
Dengan benak dipenuhi sebegitu banyak ketidakmudengan, wajar kalau Tetep masih saja setia duduk termangu-mangu di bongkahan batu besar di tengah Kali Giwang meski matahari pagi sudah sepenggalah. Saat ini anak-anak pasti sudah berkumpul di sanggar untuk mulai belajar di bawah bimbingan Ki Ajar Drana, wakil Empu Nalanda. Sebenarnya ada keinginan juga untuk melangkah ke sana, tapi ia sedang terlalu malas sehingga bahkan untuk sedikit bergerak pun nggak ada keinginan sama sekali.
Tetep lantas malah sibuk melamun. Matanya menerawang mengikuti laju arus air Kali Giwang yang berwarna hijau jernih bagus sekali.
Lama sekali ia melamun, sampai-sampai kemunculan seseorang yang mengendap di belakangnya luput dari perhatian.
“Awas badak!!”
Tetep terlompat luar biasa kaget sampai nyaris jatuh terguling masuk air. Suara tawa keras menyambut kelakuannya yang pecicilan seperti benar-benar tengah ada badak nyasar lewat.
Tetep menoleh. Ia merengut sebal.
“Cah edyian! Kadal! Tikus! Monyeeeet…!!”
Itu Gumbreg, saudara seperguruannya di Padepokan Wungkal yang juga datang dari kalangan bangsawan Wilwatikta. Gumbreg berumur sama dengannya, 15 tahun. Dia punya rambut panjang yang agak gimbal karena jarang mandi.