Gairah untuk “nulis yang seperti itu” pasti sudah hilang, dan kita bisa mencari orisinalitasnya sendiri. Lalu akan muncul semangat dan ide-ide baru untuk melanjutkannya namun dengan “rute” yang sama sekali berbeda. Proses ini mirip dengan membaca kembali tulisan yang kita tinggal agak lama saat mengalami writer’s block.
Dengan revisi di sana-sini, cerita yang awalnya sangat plek dengan TDVC, Harry Potter, Arrow, Marvel’s Agents of S.H.I.E.L.D, atau The Hunger Games, akan bisa dibelokkan menjadi sesuatu yang sangat khas bikinan kita sendiri, dan bukan hanya sekadar mengikuti.
First Reader
Sesudah naskah jadi, dan sebelum dikirim ke penerbit, akan sangat bermanfaat apabila dibaca orang-orang terdekat untuk dimintakan pendapat. Jangan ke pacar yang bermulut manis, tapi pada rekan atau kerabat yang hobi baca dan berpengetahuan luas. Di mata pembaca model begini, adanya suatu unsur pengaruh dari karya lain—bahkan misal sangat samar—pasti akan langsung bisa diketahui.
Lalu proses diskusi yang berbobot akan bisa mencetuskan gagasan-gagasan baru untuk membuat berbagai anasir pengaruh itu bisa dieliminir dengan segera.
Yang patut diingat adalah, buat karya seni termasuk cerita fiksi, orisinalitas harus diletakkan di atas segalanya. Hasilnya tak terlalu buming dulu pun tak apa-apa, yang penting orisinal. Ini mirip anak sekolah yang dilarang nyontek. Nilai ulangan 6,5 namun hasil usaha sendiri jauh lebih bernilai emas daripada angka 10 yang dipuji-puji semua pihak tapi jebul hasil nyontek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H