Mohon tunggu...
Wiwien Wintarto
Wiwien Wintarto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis serba ada

Penulis, sejauh ini (2024) telah menerbitkan 46 judul buku, 22 di antaranya adalah novel, terutama di PT Gramedia Pustaka Utama. Buku terbaru "Tangguh: Anak Transmigran jadi Profesor di Amerika", diterbitkan Tatakata Grafika, yang merupakan biografi Peter Suwarno, associate professor di School of International Letters and Cultures di Arizone State University, Amerika Serikat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Mengapa Penulis Fiksi Perlu Skill Jurnalistik?

31 Agustus 2015   12:48 Diperbarui: 31 Agustus 2015   12:48 1391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="(Foto: Wes Wilson)"][/caption]

 

Sekian tahun lalu, aku ikut mempanitiai workshop nulis di Semarang yang menghadirkan novelis Gol A Gong, idolaku saat masih ABG dan langganan Majalah HAI. Mas Gong bilang, salah satu syarat yang harus dimiliki penulis fiksi jempolan adalah menguasai kemampuan jurnalistik. Berbekal kemampuan dasar itu, hasil tulisan kita pasti akan terasa kaya dan mendalam.

Aslinya aku sendiri tak tahu itu sampai mendengarnya dari Mas Gong. Dasar kemampuan jurnalistik kupelajari bukan dalam rangka menunjang kemampauan nulis fiksi, melainkan cuman sekadar pantes-pantesnya kuliah saja. Belakangan barulah benar-benar terbukti bahwa dasar kemampuan jurnalistik sangat membantu kita dalam nulis fiksi.

Dalam banyak kasus, para penulis fiksi adalah wartawan juga—atau mantan, sepertiku. Tak heran ada cukup banyak novel romance masa kini yang menampilkan tokoh utama seorang jurnalis, atau berlatarbelakangkan dunia media massa, baik cetak maupun elektronik.

Maka ketika bicara soal manfaat kemampuan jurnalistik dalam skill nulis fiksi, mayoritas pengarang sudah tak lagi mumet. Hal itu sudah mendarah daging secara natural. Nulis fiksi pun tak ubahnya sekadar “kelas advance” bagi dunia kepenulisan jurnalistik yang sudah lebih dulu digeluti.

Namun bagi para penulis baru yang langsung terjun ke dunia fiksi, obrolan tentang topik ini pasti agak terasa abstrak. Kemampuan jurnalistik itu kayak apa? Melatihnya gimana? Dan kalau sudah menguasai, efeknya bagi tulisan fiksi jadi seperti bagaimana?

 

Cinta Detail

Jurnalis selalu based on facts saat menulis. Maka saat menemui sesuatu, dia akan berusaha untuk tahu betul hal itu. Dimulai dari data diri narasumber, orang yang terlibat dalam peristiwa, hingga keseluruhan peristiwa itu dan latar belakangnya.

Kebiasaan ini akan membuat kita cinta pada detail segala sesuatu, mirip novel-novel Dee atau Dan Brown yang kaya akan detail. Jadi menyusun cerita tak hanya menggambarkan percintaan umum, namun juga masuk mendalam ke aktivitas para tokoh utamanya.

 

Always Riset

Saat menggali info suatu berita, wartawan akan melakukan dua cara: interviu dan riset. Kemampuan itu sangat berguna saat kita menulis fiksi. Kita tentukan tema cerita, lalu betul-betul menggali tema tersebut sampai ngelotok. Satu, agar cerita jadi kaya; dan dua, agar sekalian bisa nambahin ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Novelis-novelis top dunia melakukan ini dengan dedikasi tinggi. Mereka mewawancarai banyak pakar dan membaca banyak buku untuk bikin satu novel. Kalau agak malas (kayak aku), ke Wikipedia saja sudah cukup.

Keuntungan paling besar adalah, kita jadi melek pada banyak hal. Meski aslinya hobi dengerin musik metal, tapi tetap nyambung kalau suatu saat ketemu politikus, ahli biologi kelautan, pakar seksual, penggemar MU, sineas film, atau peternak udang windu sekalipun.

 

Multisektoral

Dulu ada kawanku wartawan yang pas jadi reporter bertugas di desk hiburan. Gaulnya sama artis. Pas diangkat jadi editor dan ditarik ke HQ, dia dipindah ke desk politik. Berikutnya, ketika hijrah ke media lain, dia bertugas di desk ekonomi yang khusus membahas tentang pasar saham. Mendadak dia pindahan sambil membaca banyak buku soal stock market.

Seperti itulah jurnalis. Celaka kalau sampai adem ayem di comfort zone, soalnya kita tak pernah tahu habis ini akan dipindah ke bidang liputan yang seperti apa. Mentalitas itu sangat penting bagi pengarang, yang harusnya jauh lebih liar lagi daripada jurnalis.

Maka kita juga tak akan terjebak dalam tema “comfort zone” kita. Mentang-mentang kru mini market, novel kesatu sampai ke-21 membahas dunia keminimarketan semua. Mental jurnalis akan membuat kita selalu tertantang untuk menemukan dan membahas barang-barang baru dan berbeda di tiap karya.

 

Tidak Gagap

Aku kerap membaca novel dengan bahasa yang “gagap” saat menyebut istilah suatu hal, terutama yang tidak diakrabi oleh pengarangnya. Misal menyebut tokoh cowok kapten tim basket SMA sebagai “jago basket paling ngetop seantero kota”, dan kegiatannya di perbasketan hanya dengan istilah semacam “mengikuti pertandingan basket antarsekolah”.

Basket adalah olah raga tim. Tim selalu mencuat duluan sebelum pemain, kecuali bila ada yang bertalenta yahud macam Yao Ming atau LeBron James. Seorang pemain yang outstanding pasti digelari berdasar trade mark-nya yang betul-betul memakai istilah perbasketan. Misal jago lemparan 3 angka, atau sering melakukan slam dunk. Dan ada pula penghargaan MVP (most valuable player) bagi pemain terbaik sebuah turnamen.

Lalu aktivitas pemain basket sekolah selain latihan rutin (di ekskul) biasanya ada tiga jenis: pas class meeting melawan kelas lain, friendly game dengan sekolah lain, dan ikut turnamen resmi. Dan turnamen-turnamen pasti ada namanya, misal Kejuaraan Basket Pelajar Tingkat Provinsi, cabor basket di Pekan Olahraga Pelajar, Invitasi Basket Pelajar, atau Street Basketball Challenge.

Jika punya dasar skill dan mentalitas jurnalisme soal detail, riset, dan multisektoralisme, kita pengarang akan masuk benar ke tema dan tahu soal istilah-istilah tersebut jika hendak menghadirkan tokoh yang seorang pemain basket. Kita pun tidak terjebak dalam istilah-istilah yang wagu tadi. Pasti diketawain pembaca yang tahu benar soal basket.

Lalu kita akan masuk mendalam juga ke tema-tema lain yang sebenarnya tidak kita kuasai—kedokteran, sepakbola, musik klasik, wingchun, wall climbing, hacking, dll.

 

5W+1H

Wartawan selalu berusaha menjawab pertanyaan 5W+1H dengan jawaban sedetail mungkin berdasarkan fakta sahih. Saat pengarang fiksi bisa mengikuti habit itu, kita juga akan punya bekal kuat untuk membangun empat dari lima unsur pembentuk fiksi.

Menjawab “what” akan memaksa kita untuk detail soal tema dan permasalahan di dalam cerita. “Where” dan “when” adalah soal setting cerita, tempat dan waktu. “Who” jelas mengenai karakterisasi yang kuat. “Why” dan “how” adalah soal alur (plot), yaitu tentang latar belakang cerita (backstory) dan pengaturan urut-urutan kisah.

Satu unsur lagi, gaya, terpulang pada masing-masing pengarang untuk memilih sendiri gaya favoritnya sendiri-sendiri bisa punya ciri khas.

 

Dalam episode lanjutan, kita akan mengobrolkan bagaimana teknik sesungguhnya untuk dapat mempelajari skill jurnalistik itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun