Always Riset
Saat menggali info suatu berita, wartawan akan melakukan dua cara: interviu dan riset. Kemampuan itu sangat berguna saat kita menulis fiksi. Kita tentukan tema cerita, lalu betul-betul menggali tema tersebut sampai ngelotok. Satu, agar cerita jadi kaya; dan dua, agar sekalian bisa nambahin ilmu pengetahuan bagi pembaca.
Novelis-novelis top dunia melakukan ini dengan dedikasi tinggi. Mereka mewawancarai banyak pakar dan membaca banyak buku untuk bikin satu novel. Kalau agak malas (kayak aku), ke Wikipedia saja sudah cukup.
Keuntungan paling besar adalah, kita jadi melek pada banyak hal. Meski aslinya hobi dengerin musik metal, tapi tetap nyambung kalau suatu saat ketemu politikus, ahli biologi kelautan, pakar seksual, penggemar MU, sineas film, atau peternak udang windu sekalipun.
Multisektoral
Dulu ada kawanku wartawan yang pas jadi reporter bertugas di desk hiburan. Gaulnya sama artis. Pas diangkat jadi editor dan ditarik ke HQ, dia dipindah ke desk politik. Berikutnya, ketika hijrah ke media lain, dia bertugas di desk ekonomi yang khusus membahas tentang pasar saham. Mendadak dia pindahan sambil membaca banyak buku soal stock market.
Seperti itulah jurnalis. Celaka kalau sampai adem ayem di comfort zone, soalnya kita tak pernah tahu habis ini akan dipindah ke bidang liputan yang seperti apa. Mentalitas itu sangat penting bagi pengarang, yang harusnya jauh lebih liar lagi daripada jurnalis.
Maka kita juga tak akan terjebak dalam tema “comfort zone” kita. Mentang-mentang kru mini market, novel kesatu sampai ke-21 membahas dunia keminimarketan semua. Mental jurnalis akan membuat kita selalu tertantang untuk menemukan dan membahas barang-barang baru dan berbeda di tiap karya.