harta karun yang akan diinvestasikan kepada perusahaan property kami. Sebetulnya kami saat itu kekurangan modal karena daya beli masyarakat terhadap property menurun drastis semenjak pandemi Covid-19. Kami banyak membangun apartemen yang mempunyai prospek sangat cerah saat sebelum pandemi, tepatnya di tahun 2017.Â
Sejak kembali dari pesisir pantai Selatan hingga hampir 3 minggu kemudian, belum ada kabar dari Sang Kakek. Harap - harap cemas kami menunggu kabarBanyak investor memberikan dana segar kepada kami yang kemudian kami gunakan untuk pembangunan apartemen. Namun keadaan berbalik 180 derajat, kurang dari 30 persen penjualan hingga akhir tahun 2021 lalu. Meskipun sudah banyak pameran serta even - even penting lainnya sudah kami selenggarakan, tapi tidak menambah angka penjualan secara signifikan.
Kini kami memutar otak bagaimana caranya menutup modal yang sudah dikeluarkan agar bisa beroperasi normal dan cashflow perusahaan kembali surplus. Sejujurnya kami sangat senang dengan tawaran dari Sang Kakek, karena tanpa agunan apapun kami diberikan pinjaman modal berupa harta karun milik Sang Kakek. Tidak ada perjanjian tertulis, yang ada hanya perjanjian secara lisan agar kami menggunakan harta tersebut secara bijak, banyak beramal, serta tidak lupa diri jika sudah berhasil. Perkara mengembalikan modal nanti bisa didiskusikan kembali jika kondisi keuangan perusahaan sudah baik. Ini yang sangat menarik bagi kami.Â
Di sisi lain dari kami juga ada perasaan aneh terhadap tawaran investasi Sang Kakek, mulai dari cara pengembalian pinjaman modal begitu kami menyebutnya, lokasi pengambilan harta di daerah Selatan Jawa Barat, mengapa tidak ditransfer saja, serta Sang Kakek tidak muncul saat janji bertemu beberapa minggu lalu. Dua hal itu bercampur aduk dalam benak kami masing - masing, di satu sisi kami butuh dana itu namun disisi lain ada yang aneh dengan harta milik Sang Kakek ini.Â
Kami seolah melupakan setelah 3 minggu lamanya tidak ada kabar dari Sang Kakek. Uang yang kami titipkan kepada Ibu warung makan untuk Sang Kakek sudah kami ikhlaskan, andai saja tidak digunakan untuk membeli hp baru seperti permintaan Sang Kakek kepada kami. Dan hal lainnya yang berhubungan dengan Sang Kakek sudah perlahan kami lupakan, setidaknya untuk saat ini.
Hari itu Kamis sekitar jam 2 siang di awal bulan Februari 2022, resepsionis kantor menelpon pak Kapten. Ada tamu penting dari luar kota yang ingin bertemu. Kebetulan saat itu kami sedang berada di luar kantor untuk urusan pameran di luar Jakarta. "Apa kabar Mas Kapten, saya Udin yang tempo  hari kita bertemu. Mohon maaf saya baru hari ini bisa berkunjung ke kantor". Kami heran, kenapa Sang Kakek bisa mengetahui alamat kantor kami. Kami baru menyadari bahwa tulisan tangan Kapten saat menitipkan sejumlah uang buat Sang Kakek ditulis diatas kertas 'buku notes' terdapat alamat kantor di sisi bawah kertas. Selain itu juga ada no telpon, logo perusahaan serta beberapa informasi penting lain tentang perusahaan kami.Â
"Baik pak, kami segera ke kantor. Mohon kesediaannya untuk menunggu sekitar 2 hingga 3 jam ya pak ..", demikian percakapan Kapten dengan Sang Kakek. Rupanya beberapa hari sebelumnya resepsionis juga menerima telpon dari seseorang yang mengaku dirinya bernama pak Udin. Namun lupa menyampaikan kepada kami, dianggap orang iseng saja yang menelpon dan minta bicara dengan pak Kapten.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.45 WIB, kemacetan lalu - lintas jalan menuju kantor tidak bisa di hindari. Maklum daerah Tangerang terkenal parah macetnya terutama saat sore dan pagi hari saat jam berangkat dan pulang kantor. Sang Kakek memberikan pesan singkat kepada pak Kapten bahwa jam 5 sore ini beliau meninggalkan kantor kami. Sang Kakek tidak bisa menunggu terlalu lama, ada keperluan khusus sehingga Sang Kakek pulang duluan dan tidak sempat bertemu dengan kami. Dalam pesan singkatnya Sang Kakek menyampaikan agar nanti malam kami semua menemui Sang Kakek di daerah Pasar Minggu di sebuah rumah makan. Pertemuan dengan Sang Kakek rencana dilakukan pukul 9 malam. Lokasi juga sudah diberikan melalu pesan singkat.Â
"Waduh malam sekali yah, jam 9 malam baru bisa bertemu. Kenapa nggak habis Maghrib', ujar Kang Saepul. "Kita turuti saja kemauan beliau, kita juga kalau tadi ada di kantor pasti sudah beres urusan dengan beliau", demikian kata bijak dari Kapten. Kami memutuskan untuk langsung menuju lokasi, jadi putar arah dan kemudian cari masjid yang dekat dengan lokasi sambil menunggu waktu bertemu. Tepat pukul 18.10 WIB kami sudah sampai di masjid tidak jauh dari lokasi pertemuan yang dijanjikan. Kami sholat Maghrib dan Isya sekalian menunggu hingga waktu pertemuan tiba.Â
Hujan deras mengiringi kedatangan kami di sebuah rumah makan sederhana yang menyajikan menu khas Sumetera. Duduk di pojok ruangan Sang Kakek bersama Pak De demikian kami menyebutnya. Dua bangku berukuran sedang sudah dipesan khusus untuk kami. "Ayo silahkan ambil tempat duduk, kita ngobrol sambil ngopi disini", ujar Sang Kakek sembari menyalakan rokok tanpa filter itu. Untuk beberapa saat kami terdiam menunggu kalimat terucap dari Sang Kakek, kami menunggu informasi dari Sang Kakek, sebenarnya ada apa dengan pertemuan malam hari seperti ini, mana hujan deras di luar sana.
Tampak ada ada satu hp baru tergeletak di atas meja, "mungkin itu hp yang dibeli dari uang hasil urunan kami 3 minggu lalu", demikian gumamku. "Kita harus berangkat malam ini ke tempat penyimpanan harta karun itu, ini malam yang bagus untuk memulai proses pengambilan harta warisan", ujar Sang Kakek memberikan informasi di tengah keheningan kami dengan diiringi suara hujan deras di luar sana. "Malam ini Kek ?", tanya Kang Saepul keheranan. "Iya benar Kang, malam ini. Setidaknya kita berangkat setengah jam dari sekarang", Sang Kakek menutup pembicaraan kemudian pamit menuju ke kamar kecil.
Saat itu juga kami sibuk mengabari keluarga yang ada di rumah bahwa kami akan pergi malam itu, meskipun tidak ada persiapan apa - apa dan hanya ada baju yang melekat di badan, kami sudah siap dengan perjalanan kami malam itu. Perjalanan di malam hari itu dengan tujuan untuk mengambil 'harta warisan' milik Sang Kakek. Pukul 21.45 WIB kami sudah siap memulai perjalanan dan awalnya kami mengira akan kembali ke pesisir pantai Selatan mengulang perjalanan beberapa minggu sebelumnya, namun ternyata tujuan kami malam itu berbeda. Kami terdiri dari dua kendaraan, Sang Kakek bersama Kapten dan Pak De satu mobil dengan Kang Saepul dan Ardi. Selebihnya bersama dalam mobil lainnya yaitu Erwin, Doni dan Saya (Wijanarko).Â
Diiringi hujan yang masih turun tapi tidak selebat beberapa jam lalu, kami melewati jalan tol Lingkar Luar Jakarta yang masih lumayan padat dengan kendaraan. Mungkin ada tempat yang banjir sehingga jalan tol masih penuh hingga menjelang tengah malam. Rasa kantuk pun mulai menyerang dan pak Kapten yang menyetir dan sambil bernyanyi kecil mengusir rasa kantuk. Tidak banyak percakapan kami antara kami dengan Sang Kakek maupun pak De, terlihat sekali Sang Kakek komat - kamit mulutnya seperti berdo'a, kami pun enggan berbicara apalagi bercanda hanya untuk sekedar mengusir rasa kantuk. Kmai benar benar fokus menuju lokasi secepatnya.Â
Keluar jalan tol Lingkar Luar Jakarta kemudian kami melanjutkan perjalanan melewati jalan tol Jagorawi. Kami memutuskan berhenti sejenak di rest area untuk sekedar ngopi dan buang air kecil. Tampak Sang Kakek masih tetap segar dengan kopi hitam dan rokok yang sudah habis 2 batang. Kami diminta sholat malam agar urusan lancar tanpa ada hambatan. Suasana sunyi dan hujan gerimis menemani obrolan kami malam itu. Sang Kakek membagikan sebuah photo, terdapat gambar Sang Kakek berlatar belakang beberapa peti berukuran besar. "Nanti barang - barang ini yang akan kalian bawa ke kantor" ujar Sang Kakek sambil menghembuskan asap rokok tebal. Pak Kapten berbisik kepada Kang Saepul,"bawanya bagaimana ya, mesti pakai mobil bak atau double cabin". Â
Dengan ukuran kotak sebesar itu tidak mungkin akan kami bawa malam ini juga ke kantor atau tempat lain untuk disimpan, mungkin akan diambil beberapa hari kemudian setelah mengetahui lokasi serta apa saja yang perlu dipersiapkan. Kami diskusi dengan team lainnya melalui group chat WhatsApp sehingga Sang Kakek tidak mengetahui apa yang sedang kami diskusikan.Â
Perjalanan kami lanjutkan, dan tak terasa kami sudah keluar jalan tol kemudian menyusuri jalan provinsi menuju lokasi. Google map mengarahkan kami ke jalan yang lebih sempit namun masih bisa dilewati 2 mobil jika berpapasan, tetapi harus hati - hati karena kondisi malam hari serta jalan licin setelah hujan sepanjang sore hingga malam hari ini. Kami melewati jalan berliku yang merupakan jalan pintas agar lebih cepat menuju lokasi penyimpanan harta Sang Kakek. Dengan google map masih sekitar 2 jam lagi kita sampai tujuan. Kang Saepul sebagai pemandu dengan lokasi yang telah di bagikan Sang Kakek di WhatsApp merasa heran dengan kondisi jalan yang kami lewati. Semakin lama jalan semakin sepi dan kanan - kiri jalan adalah hutan jati serta juga banyak pohon kelapa sawit. Suasana semakin mencekam setelah kami juga baru menyadari malam ini adalah malam Jum'at yang bagi sebagian besar orang akan takut melewati jalan ini. Kami yang terbagi 2 mobil berjalan beriringan dan sesekali kami berpapasan dengan mobil. Kami bersyukur karena masih ada teman, demikian pikiran kami.
Sang Kakek juga bercerita juga kalau hanya beliau yang mengetahui lokasi penyimpanan harta karun ini, keluarga serta teman dekat juga tidak diberikan informasi oleh Sang Kakek. Hal ini menurut Sang Kakek agar tidak terjadi salah paham dan menjadi rebutan karena ini bukan harta milik Sang Kakek. Ini adalah harta warisan leluhur salah satu kerajaan besar di Jawa Barat dan penggunaannya juga tidak boleh sembarangan. Hanya boleh untuk menjalankan usaha dan membantu orang yang sedang kesusahan. Hanya pak De saja sebagai orang luar yang mengikuti jejak Sang Kakek sejak 3 tahun lalu. Pak De juga adalah rekan kerja Sang Kakek saat mereka berada di Kalimantan beberapa puluh tahun lalu. Kami juga enggan bertanya asal usul Sang Kakek bisa mendapatkan harta karun.Â
Sampailah kami di lokasi yang diarahkan oleh Google map dan waktu tepat menujukkan pukul 2.25 WIB dini hari. Angin malam yang dingin ditambah dengan rintik hujan gerimis sisa semalam menambah dingin yang menusuk tulang. Tidak ada persiapan khusus dari kami untuk perjalanan ini, termasuk  jaket maupun penutup kepala. Segera kami berkumpul dan sama sekali tidak ada acara istirahat apalagi ngopi - ngopi. Sang Kakek menginstruksikan agar ada satu atau dua dari kami yang berjaga di lokasi parkir kendaraan. Akhirnya Ardi dan saya yang mendapatkan mandat dari kapten untuk berjaga.
Suasana di sekitar tempat parkir adalah tanah lapang mungkin seluas lapangan bola basket, cukuplah untuk parkir sekitar 4 hingga 5 kendaraan roda empat. Di sekeliling terdapat hutan jati dan kondisi tanah berbukit. Samar samar terlihat lampu pemukiman penduduk d seberang bukit sana namun jarang - jarang dan letaknya saling berjauhan. Ada jalan setapak dengan jalan berbatu dengan lebar sekitar satu meter, cukup untuk 2 orang yg jalan saling berpapasan. Jalan itulah yang akan dilalui oleh team yang dipimpin Sang Kakek dan pak Kapten. Setelah berdo'a bersama, akhirnya berangkatlah mereka berenam, sementara saya dan Ardi menunggu di parkiran.Â
Baru beberapa puluh langkah, pak Kapten memberi aba - aba untuk berhenti. Dan memutuskan untuk mengajak saya dan Ardi untuk turut serta. Pertimbangan pak Kapten karena demi keamanan kami berdua. "Nggak mungkin rasanya ada orang yang akan mencuri kendaraan kami, ini tempat sangat sepi dan sangat jauh dari pemukiman penduduk," demikian keputusan pak Kapten. Kang Saepul kemudian ditugaskan untuk menjemput saya dan Ardi.Â
"Ok, Kapten kami datang", demikian saya berkata kepada pak Kapten dan kami pun melanjutkan perjalanan. Hanya dengan penerangan dari senter hp kami perlahan menyusuri jalan setapak dengan bebatuan yang tidak merata. Sesekali Sang Kakek tersandung batu dan mengumpat keras. Dengan tenang pak Kapten membujuk Sang Kakek agar memperlambat jalan dan tidak mengumpat karena lokasi kami sedang berada di hutan dan malam hari. "Iya pamali," timpal Kang Saepul dengan logat Sunda yang kental. Sang Kakek terlihat buru - buru karena takut kesiangan dan terlihat orang di sekitar tempat tersebut.
Ada cahaya lampu samar - samar terlihat di depan, seperti cahaya lampu minyak. Kami terus berjalan mengikuti gerak kaki Sang Kakek. Dan terlihat Sang Kakek memberi isyarat untuk menuju ke arah cahaya lampu tersebut. Jalan yang mulanya lebar namun berbatu, kini hanya jalan setapak yang hanya bisa dilewati oleh satu orang saja. Untuk mencapai arah cahaya lampu kami harus menelusuri jalan setapak yang cenderung naik. Sang Kakek bilang kalau ada yang menjaga gua ini tiap hari dan menyalakan lampu saat malam hari. Namun kami tidak melihat seorangpun yang berada di dekat gua. Kami terus berdoa agar tidak ada hewan buas atau bahkan ular yang menghalangi jalan kami.Â
Hanya ada satu lampu yang diletakkan di atas pintu sebuah gua, cukup untuk penerangan di depan gua. Pintu gua itu cukup lebar, untuk memasukinya bisa berdiri tegak tanpa harus menundukkan kepala. Kami briefing dulu sebelum memasuki gua, dan menurut Sang Kakek, kita harus cepat keluar sebelum matahari terbit. Ini untuk menghindari penduduk sekitar mengetahui keberadaan kami serta maksud kami berada di daerah itu. Gua ini adalah sebuah lorong rahasia untuk menuju tempat penyimpanan harta karun.Â
Hanya berbekal lampu senter dari hp sebagai penerangan dan petunjuk jalan dari Sang Kakek kami memasuki gua. Gua cukup lebar dan jalan juga tidak berkelok atau susah, masalahnya hanya penerangan saja yang kurang memadai, dan beberapa hp milik kami sudah menunjukkan low batt. Dan ini artinya kami hanya punya waktu tidak terlalu lama untuk memasuki gua sebagai lorong rahasia tempat harta karun disimpan. Sesekali kami mencium aroma wangi yang entah dari mana asalnya, padahal tempat tersebut tidak berventilasi baik. Merinding juga sih sebenarnya, tapi karena banyak orang dan ada Sang Kakek sebagai penunjuk jalan maka kami coba tepis rasa takut itu.Â
Tibalah kami di ujung gua dan Sang Kakek memberikan isyarat kepada kami untuk berhenti. Setelah diperhatikan, ternyata gua merupakan jalan penghubung diantara 2 bukit, salah satu kaki bukit adalah tempat dimana kami parkir mobil. Pantas saja tempatnya sulit sekali dijangkau dan tidak mungkin rasanya ada orang kesini, cocok sekali untuk menyimpan harta karun. Demikian kami saling berbisik. Semoga lancar usaha kami, itu harapan kami saat itu. Terdengar sayup azdan sholat subuh berkumandang, itu berarti kami harus cepat sampai di lokasi. Ardi melihat jam di hp dan saat itu waktu menunjukkan pukul 4.25 WIB. "Kita masih punya waktu sekitar satu jam", ujar Ardi.
Kami putuskan untuk sholat subuh dulu, dengan tayamum kami bersuci. Sang Kakek dan pak De tidak ikut sholat subuh. Kami juga tidak mau bertanya lebih lanjut. Sang Kakek memberikan isyarat untuk segera bergegas menuju ke lokasi penyimpanan karena hari sudah menjelang pagi. Kami keluar dari gua dan menyusuri jalan yang dipenuhi dengan semak belukar, dan sampailah kami di tempat yang di maksud Sang Kakek. Tepat dibawah sebuah pohon besar nampak ada gundukan batu, sepertinya lokasi itu adalah sebuah bunker. Ada sebuah celah untuk membuka pintu bunker dan tidak terkunci. Waktu sudah menunjukkan pukul 5.10 WIB dan kami juga belum bisa melihat isi bunker tersebut.Â
Pintu agak sulit dibuka karena memang ada karat dan lumpur yang menutupi sebagian permukaan karena hujan semalam. Kami belum berpikir jauh, bagaimana caranya membawa harta karun keluar dari tempat ini kemudian diangkut ke kantor kami. Yang penting kami bisa melihat dulu isi dalam bunker, dan urusan membawa harta karun itu nanti akan kami pikirkan. Tak lama berselang pintu bunker bisa dibuka, dengan bantuan sebuah kayu berukuran besar, kami akhirnya bisa membuka pintu bunker.
Kami memutuskan agar hanya Sang Kakek, Kapten, pak De, serta Kang Saepul saja yang masuk ke dalam bunker. Selebihnya akan menunggu di luar, berjaga - jaga. Hawa pengap keluar dari dalam bunker yang sudah lama tidak dibuka. Hanya ada dua senter hp yang masih tersisa dan bisa digunakan sebagai penerangan selama berada di dalam bunker. Tujuan kami hanya satu yaitu memastikan adanya harta karun yang dimaksud Sang Kakek, kemudian menghitung seberapa banyak yang bisa kami bawa nanti pada saat kami kembali lagi. Saat itu tidak memungkinkan membawa harta karun karena hari sudah terang dan kami tidak membawa perlengkapan yang memadai. Tak lupa kami juga akan mendokumentasikan isi dalam bunker serta titik koordinat lokasi.Â
Instruksi dari Sang Kakek, bahwa pengambilan hanya bisa dilakukan saat malam hari antara jam 12 malam hingga sebelum matahari terbit. Ini yang kemudian menjadikan kendala tersendiri bagi kami. Hal itu sebenarnya cukup masuk akal, karena untuk menghindari jika diketahui penduduk.Â
Tiba - tiba hp pak Kapten berbunyi, ada panggilan masuk dari kantor. "Kenapa ... kebakaran ?", teriak pak Kapten sesaat setelah masuk ke dalam bunker. Pak Kapten bergegas keluar dari bunker agar mendapatkan sinyal hp yang bagus. Terdengar samar suara penelpon diujung sana, tidak jelas apa yang sedang dibicarakan, namun dari dari gerak tubuh pak Kapten jelas sedang ada masalah. Apalagi pak Kapten menyebut kata kebakaran. Rupanya pak Kapten berbicara kepada Security kantor kami yang berjaga pada pagi itu. Informasinya ada kebakaran di sekitar ruang berkas tempat menyimpan berbagai berkas penting milik perusahaan, mitra perusahaan dan juga milik pelanggan. Security sudah memanggil pihak pemadam kebakaran, sebelumnya sudah dibantu oleh Security kantor lain di wilayah kami dengan menggunakan alat pemadam api ringan namun api belum berhasil dipadamkan.Â
Konsentrasi kami seketika pecah menjadi dua, ingin segera masuk untuk mengetahui isi dalam bunker dan kedua yaitu ingin segera pulang dan menuju ke kantor karena ada masalah kebakaran di ruang dokumen penting. Kami khawatir dokumen penting perusahaan terbakar habis. Belum lama pak Kapten berbicara dan memberikan instruksi kepada Security kantor, hp pak Kapten mati karena habis battery. Sejurus kemudian pak Kapten meminjam hp Kang Saepul untuk melanjutkan komunikasi dengan kantor. Baru beberapa saat kemudian hp kang Saepul juga habis battery nya.Â
Kami memutuskan untuk mengakhiri rencana masuk ke dalam bunker, karena sduah tidak ada penerangan yang bisa dipakai. Hp milik Sang Kakek sebenarnya bisa dipakai, namun kami takut habis juga battery nya nanti, sementara Sang Kakek mesti menjaga komunikasi dengan rekan - rekannya. Kami segera menyusuri kembali jalan yang penuh semak, jalan setapak berbatu, lorong gua serta jalan yang menuju ke parkiran mobil kami. Fokus kami hanya satu, yaitu kembali ke kantor Jakarta dan mengiventarisasi berkas - berkas yang masih tersisa. Komunikasi nanti kami lanjutkan dengan kantor saat hp bisa di charge di mobil saat kembali pulang.
Bersambung ... [#3. The Series : Harta Karun Sang Kakek]Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H