Bakda ashar, sehari setelah resepsi terselenggara, Widuri harus kembali ke kota. Ada kerja yang harus diselesaikannya dan tidak dapat diwakilkan. Suaminya, Jo, sudah maklum akan kerja istrinya yang tak kenal waktu itu. Tidak ia ambil pusing apapun yang dikatakan tetangganya.
Sepekan berlalu. Janur kuning di pekarangan rumah kini telah berubah menjadi  kecoklatan. Sejak setelah akad selesai diucapkan, dua sejoli itu belum ada kesempatan berdua saja sebagai pengantin baru. Atau istilah bekennya, bulan madu. Hanimun.
Dan malam itu. Menjadi kali pertama mereka benar-benar menikmati waktu bersama. Di sebuah rumah berdinding kayu dan berlantai tanah sederhana milik mendiang nenek Jo. Rumah yang menjadi tempat bertumbuh Jo sejak kecil. Sejak kedua orang tuanya tiada.
"Gimana kerjaanya? Lancar?"Â Jo memulai percakapan. Mereka duduk di atas ranjang dengan sebagian badan tertutup selimut. Ia membaca buku milik Eric Weiner. Man Seeks God.
"Lancar. Sangat lancar. Saking lancarnya kami sering lembur." Widuri menimpali dengan senyuman. Tangannya masih meraba keyboard laptop, mengetikkan sesuatu.
"Kamu lelah?" Jo menatapnya.
Widuri menggeleng. "Tidak .."
"Ambil napas, rehatin dulu pikirannya."
"Iya, sayang ..."
"Iya apa?"
"Iya ... emmm ... iya napas."
"Pekerja kantoran memiliki resiko serangan jantung lebih tinggi. Dan kamu terlalu berharga bagiku untuk mengalami hal itu." Jo tertawa kecil.
"Husss, pamali ngomong begitu." Widuri mencubit lengan Jo, "ini semua demi masa depan kita." Saat mengatakan ini sebenarnya ada rasa tidak enak dalam hati Widuri, ia tau bahwa gajinya lebih besar dari Jo. Dan Jo sebelumnya sudah berjanji akan berusaha keras untuk mereka.
"Masa depan itu ranah Tuhan. Kita hanya diminta berusaha. Bukan menyiksa diri."
"Emang Tuhan bisa membuat kita kaya tanpa bekerja?"
"Bisa saja. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Tapi apa kamu mau? Bukankah kenikmatan hasil akhir itu ada diprosesnya?"
"Cuma tidur-tiduran, abakadabra! Jadi kaya ... Siapa yang enggak mau?"
"Apa kamu mau juga jika ujug-ujug hamil dan punya anak tapi enggak melalui prosesnya dulu." Jo menatap Widuri dengan tatapan menggoda.
"... itu dua hal yang berbeda, Sayang."
"Sama ... Sama-sama enak untuk dinikmati prosesnya." Jo berbisik pelan di telinganya. Mengarahkan pandangannya kepada jam dinding di kamar. Tepat tengah malam. Ia mengerlingkan mata pada Widuri yang didera malu. Merah pipinya. Sebentar lagi. Katanya. Jo seperti anak kecil yang sabar menunggu hadiah permen lolipop.
"Aku akan berhenti kerja." Widuri menutup laptop. Meletakkannya di atas meja di samping ranjang. Mengarahkan tubuhnya ke kiri, menghadap Jo. Dan Jo juga berhenti membaca buku. Menutupnya dan diletakannya di atas laptop. Menghadapkan tubuhnya ke kanan, menghadap Widuri. Kini tubuh mereka sempurna berhadap-hadapan. Wajah mereka berdua seakan tak ada jarak.
"Apa kamu sudah siap?" Jo menyusuri setiap inci wajah Widuri. Membaca air mukanya. Menyingkirkan anak rambut yang menyembul menutupi daun telinganya. Dia tak ingin istrinya itu menyesal meninggalkan karir yang sudah bertahun-tahun dibangunnya. Bahkan sebelum bertemu dengannya.
"Aku memilihmu. Itu artinya aku siap dengan segala konsekuensinya. Apapun keadaannya, asal bersamamu aku rela."
"Betapa romantisnya istriku ini." Mata Jo berkaca-kaca. Dalam hatinya ia sungguh bahagia. Bukan karena istrinya itu tidak lagi menjadi wanita karir yang menghasilkan uang melebihi dirinya, ia bahagia karena Widuri akan selalu ada di  sampingnya. Dan ada ketika ia pulang dengan segala lelahnya.
"Itu kata para remaja kasmaran di media sosial, aku hanya mengutipnya." Widuri menjawil hidung suaminya itu.Â
"Nanti kita kembangkan sama-sama usaha kerajinan bambu kita itu. Biar bisa menembus pasar luar negeri. Dan, sekarang kamu aku pilih jadi mandorku ..." kata Jo tersenyum lebar.
"Siapp." Widuri mengangguk. Kemudian memeluk Jo.
Mereka diam sesaat. Dalam degup dada yang saling beradu. Ada ketergesaan di hati Jo, tapi ia tau bahwa perempuan  menyukai alur yang diperlambat. Pelan-pelan. Tangan mereka saling menggenggam. Menyusuri hangat yang keluar dari pori-pori kulit.
"Bukit di desa ini hampir habis dikeruk. Musim kemarau berkepanjangan, tentu saja polusi udara tak terhindarkan. Banyak warga sakit dadanya karena mengidap ispa. Akses ke jalan utama juga tersendat, jalan-jalan ke arah sana pada rusak karena sering dilalui alat-alat berat dari perusahaan tambang itu." Jo menceritakan keluh kesahnya.
"Bagaimana dengan pejabat sekitar? Apa belum ada upaya perbaikan? Atau ganti rugi?"
"Sudah. Tapi entah uang itu larinya kemana. Dan mereka tidak punya hak menghentikannya dengan alasan penataan lahan." Jo menarik napas dalam. Â "Besok akan ada pertemuan aktivis dari BEM Kampus Situ dengan pejabat desa dan aku diminta untuk menjadi bagian dari mereka. Meminta pertanggungjawaban. Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang tahun 2021 kurasa sudah jelas pasal-pasalnya. Terutama pasal 5. Semoga saja membuahkan hasil." Jo tersenyum getir. Lalu menarik nafas. "Kasihan semut-semut itu, mereka akan kehilangan rumah."
Widuri menatap lembut mata Jo dengan lekat. Ia tersenyum lembut, mencoba mencairkan suasana. "Kamu tau, kemana akhirnya semut-semut itu mencari rumah baru, Sayang?"
"Kemana memang?"
"Dibawah ranjang kita. Dengarlah suaranya. Cekcekcek. " Bisik Widuri.
Dan malam itu, mereka seperti sepasang manusia paling bahagia. Di bawah gelapnya awan yang bertaburan bintang, serta bulan tanggal lima belas yang memesona. Dengan iringan pembacaan sajak-sajak milik Wiji Tukul yang mereka putar dari ponsel berulang-ulang. Menggema bersama dengan suara mesin truk pengangkut pasir dua puluh empat jam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H