"Pekerja kantoran memiliki resiko serangan jantung lebih tinggi. Dan kamu terlalu berharga bagiku untuk mengalami hal itu." Jo tertawa kecil.
"Husss, pamali ngomong begitu." Widuri mencubit lengan Jo, "ini semua demi masa depan kita." Saat mengatakan ini sebenarnya ada rasa tidak enak dalam hati Widuri, ia tau bahwa gajinya lebih besar dari Jo. Dan Jo sebelumnya sudah berjanji akan berusaha keras untuk mereka.
"Masa depan itu ranah Tuhan. Kita hanya diminta berusaha. Bukan menyiksa diri."
"Emang Tuhan bisa membuat kita kaya tanpa bekerja?"
"Bisa saja. Tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Tapi apa kamu mau? Bukankah kenikmatan hasil akhir itu ada diprosesnya?"
"Cuma tidur-tiduran, abakadabra! Jadi kaya ... Siapa yang enggak mau?"
"Apa kamu mau juga jika ujug-ujug hamil dan punya anak tapi enggak melalui prosesnya dulu." Jo menatap Widuri dengan tatapan menggoda.
"... itu dua hal yang berbeda, Sayang."
"Sama ... Sama-sama enak untuk dinikmati prosesnya." Jo berbisik pelan di telinganya. Mengarahkan pandangannya kepada jam dinding di kamar. Tepat tengah malam. Ia mengerlingkan mata pada Widuri yang didera malu. Merah pipinya. Sebentar lagi. Katanya. Jo seperti anak kecil yang sabar menunggu hadiah permen lolipop.
"Aku akan berhenti kerja." Widuri menutup laptop. Meletakkannya di atas meja di samping ranjang. Mengarahkan tubuhnya ke kiri, menghadap Jo. Dan Jo juga berhenti membaca buku. Menutupnya dan diletakannya di atas laptop. Menghadapkan tubuhnya ke kanan, menghadap Widuri. Kini tubuh mereka sempurna berhadap-hadapan. Wajah mereka berdua seakan tak ada jarak.
"Apa kamu sudah siap?" Jo menyusuri setiap inci wajah Widuri. Membaca air mukanya. Menyingkirkan anak rambut yang menyembul menutupi daun telinganya. Dia tak ingin istrinya itu menyesal meninggalkan karir yang sudah bertahun-tahun dibangunnya. Bahkan sebelum bertemu dengannya.