Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Hai, selamat membaca. Semoga Allah bahagiakan kita hari ini. Aamiin :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak dan Padi

4 Agustus 2024   12:55 Diperbarui: 5 Desember 2024   05:15 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Ah ceritanya terlalu panjang ya. Maaf ya Nduk, Ibu memang suka terbawa suasana kalau bahas masa lalu." Ibu menarik napas. Ku lihat ada setetes air yang mengalir di pipinya. Aku tidak yakin, apa itu peluh atau air mata.

"Ada satu hal yang membuat Ibu suka sekali dengan sawah, Nduk ..." lanjut Ibu kali ini dengan suara yang sedikit tercekat. Wajahnya tertunduk. Aku meraih bahu Ibu.

"Ibu cengeng ya. Bahas sawah aja nangis." Kata Ibu dengan senyum yang dipaksakan. Ibu mengusap wajah dengan ujung selendang yang dipakainya untuk menggendong bakul tempat bekal.

"Saat Ibu di sawah, setiap kali Ibu menabur benih padi ... menyaksikan padi itu tumbuh perlahan. Dari kecambah, akar yang menguat seiring tumbuh daunnya satu demi satu, hingga muncul bunga yang seakan menantang langit. Ibu perhatikan betul fase-fase itu." Ibu menjeda kalimatnya. Menselonjorkan kakinya ke depan, sambil memijat kecil lutut. Spontan aku mengikuti tangan Ibu dan memijat kakinya. "Kemudian, Nduk ... ada masanya bunga yang tadi tegak berdiri itu akan merunduk. Perlahan menjadi gabah dan akan semakin merunduk hingga akhirnya akan benar-benar menjadi padi yang sempurna." Ibu menghentikan gerakan tanganku. Dan badannya kini sempurna menghadap ke arahku.

"Ibu selalu membayangkan padi-padi itu adalah anak-anak Ibu sendiri, Nduk. Menyaksikan bagaimana anak-anak Ibu tumbuh seperti padi yang ibu tanam. Kalau boleh berkata, bahagia buat Ibu secukup melihat anak-anak meng-'hijau' dengan baik. Ibu hanya bisa berdo'a kepada Gusti Alloh, sembari berusaha membersihkan 'gulma' dan mengusir 'hama'-nya semampu Ibu. Ibu tak menuntut apa-apa, melihat mereka mau sholat lima waktu dan pandai bergaul dengan sesama itu sudah sangat memberi angin segar buat Ibu." Ibu menarik napas.

"Akan tetapi, Ibu sadar bahwa padi tetaplah padi. Dan anak-anak Ibu tetaplah anak-anak Ibu. Yang pada akhirnya mereka pun harus pergi. Mencari bekal ilmu. Sejauh yang dapat mereka gapai. Sebanyak tempat yang mampu mereka pijakkan kakinya dengan bahagia." Aku termangu. Hanya tersenyum lembut kepada Ibu. Aku tak tau harus bereaksi apa. Aku hanya dapat bersyukur pada Allah. Sekelebat wajah Ibu kandungku di kota datang membayang. Meski jalan kasih sayang tak aku dapatkan dari orang tua kandungku, namun di kehidupan ini aku diberi orang tua yang ku rasai seperti orang tua kandungku sendiri.

"Bu! ... Ibu! ..." terdengar seperti suara Mas Sholeh. Aku dan Ibu serentak menengok ke arah sumber suara. Betul saja. Mas Sholeh tergopoh-gopoh. Ia mengatur napas.

"Mas Sholeh seperti anak kecil yang ngejar layangan putus di sawah saja." Kataku.

"Iya. Pelan-pelan, Le. Ada apa? Seperti ada presiden datang ke kampung kita saja." Timpal ibu.

"Ini lebih dari presiden, Bu." Katanya.

"Ah memangnya siapa yang lebih dari presiden itu?" Ibu bertanya guyon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun