"Dari dulu aku selalu ingin hidup di desa. Jadi petani. Hidup di kota membosankan. Dan sumpek, Bu." Jawabku lebih kepada mengeluarkan isi hati.
"Ya begitulah dari dulu sifat kita manusia, Nduk. Selalu mencari apa yang belum pernah kita genggam. Padahal toh setelah kita dapat, perasaan suka itu perlahan akan memudar juga." Kata Ibu sembari menerawang awan cerah. Ada semburat sendu di wajah Ibu, seperti ingin berkata sesuatu namun masih tertahan. Aku merasa tak enak hati.
"Ibu pernah ke kota?" Aku mencoba mengalihkan pertanyaan. Â
"Pernah, dulu. Dulu sekali. Waktu masih muda dulu, Ibu sempat makan bangku kuliah. Tapi Gusti Alloh berkata lain, dapat satu setengah tahun Nenek nyuruh Ibu balik ke kampung."
"Untuk menikah?" Kataku sedikit ragu.
"Iya, Nduk. Cerita seperti itu sudah banyak kamu dengar ya?" Aku mengangguk. Ku buang kulit ubi yang sudah habis isinya olehku.
"Tadi kamu nanya kenapa Ibu suka sekali di sawah kan, Nduk?" Tetiba Ibu kembali membahas pertanyaanku tadi.
"Iya Bu. Tapi kalau ada sesuatu yang membuat Ibu tidak nyaman, tidak dijawab juga tidak apa-apa kok Bu."
"Tidak ... tidak ... ibu hanya mikir bagaimana cara menjelaskannya saja." Ku tatap wajah Ibu lekat, menunggu kalimat  selanjutnya.
"Sawah ini sudah tiga generasi dirawat keluarga Ibu, Nduk. Entah sudah berapa puluh tahun. Selama itu, dari mbah buyut Ibu dulu-dulu sampai sekarang sekalipun kami tidak pernah memakai pupuk kimia. Apalah itu pestisida atau sejenisnya. Memang, hasilnya tak sebagus tanaman orang-orang. Tapi dari zaman Ibu masih orok, Ibu selalu diajarkan untuk tidak dzolim kepada alam .. entah tanahnya atau apapun itu. Insya Alloh, alam juga akan balas dengan pemberian yang terbaik buat kita." Ibu berhenti sebentar. Diteguknya air putih dalam kendi tanah liat yang selalu ia tinggalkan di bawah pohon sirsak. Ibu menyodorkan kendi itu kepadaku, aku menerimanya dengan segera. Ku teguk tiga kali, airnya meluncur bahagia dalam tenggorokanku. Ah, sungguh segar rasanya. Â
"Kamu lihat padi itu, Nduk?" Tanya Ibu. Lagi lagi aku hanya mengangguk. "Itu padi yang selalu ibu masak di rumah. Dari dulu. Sejak Mas Sholeh, suamimu itu dan adik-adiknya masih kecil-kecil. Dulu, ketika makan mereka selalu berkomentar 'Bu, kenapa nasi di rumah kita kecil-kecil dan warnanya kuning? Tidak seperti nasi di rumah kawan-kawan kami yang lain?' Dan Ibu hanya bisa menjawab mereka dengan gurauan 'tapi tetap sedap kan?'. Kemudian saat besar, mereka mulai mengerti." Ibu menatapku dengan senyum menggoda. Aku menggaruk kepala. "Iya Bu, dulu waktu pertama kali makan di rumah Ibu aku juga berpikir begitu. Soalnya di kota nasinya tidak begitu. Lebih putih dan ukurannya lebih besar dari nasi Ibu." Jawabku malu-malu.