Mohon tunggu...
Witri Nailil Marom
Witri Nailil Marom Mohon Tunggu... Lainnya - (Ruang khusus fiksi)

Perempuan yang cita-citanya jadi hamba Allah dan Ibu Rumah Tangga yang baik :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak dan Padi

4 Agustus 2024   12:55 Diperbarui: 4 Agustus 2024   13:14 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di pinggiran pematang sawah. Di bawah pohon randu besar. Berdampingan dengan pohon sirsak yang tak seberapa tinggi. Aku dan Ibu duduk di atas hamparan karpet rumput belulang. Sembari menikmati ubi rebus hangat.

Ptaaakkk. Dua buah randu rekah terjatuh mengenai pucuk kepalaku. Aku mengaduh kaget. Ku raih seonggok buahnya. Membedah isi di dalamnya penasaran. Ku tarik sebentuk gumpalan seperti kapas. Aku mendongakkan kepala ke atas, membenarkan kaca mataku betul-betul mencari tau apa benar ini buah dari pohon randu itu?

Ibu tertawa pelan. "Baru pertama kali lihat buah randu ya, Nduk?"

"Iya, Bu. Indah betul isinya. Seperti ada gumpalan-gumpalan kapas."

"Waktu pertama kali kamu ke sini belum musim. Sekarang lihatlah, banyak berterbangan kapuknya. Kamu tau kasur di rumah kita isinya apa?"

Aku menggeleng pelan. "Ya kapuk dari buah randu itu. Orang-orang desa suka kasur kapuk. Selain mudah didapat, .. " Nada bicara Ibu pada kalimat terakhir itu memelan. Seperti memberi sebuah informasi penting. " harganya juga murah." Aku tertawa.

Kami pandangi daun-daun padi yang makmum kemana angin berembus, bagai tarian ombak yang berirama. Hanya ada hijau sejauh mata memandang.

"Aku lihat Ibu bahagia sekali kalau di sawah . Apa Ibu begitu menyukainya (?)" kataku setelah beberapa saat hening. Aku begitu penasaran. Meski Ibu memang sosok perempuan yang pembawaannya selalu bahagia, namun ketika di sawah seperti ada bahagia lain yang tak dapat dijelaskan di mata Ibu.

Ku pandangi Ibu. Caping yang dikenakannya seakan menyombongkan diri karena telah begitu lama menemani Ibu melawan terik dan hujan. Di wajah itu, ada kerut tipis di sudut mata dan bibir yang menandakan Ibu memang murah sekali tersenyum. Ditariknya napas panjang dan melirik ke arahku sebentar. "Kamu suka sawah, Nduk?" Balasnya bertanya balik.

"Dari dulu aku selalu ingin hidup di desa. Jadi petani. Hidup di kota membosankan. Dan sumpek, Bu." Jawabku lebih kepada mengeluarkan isi hati.

"Ya begitulah dari dulu sifat kita manusia, Nduk. Selalu mencari apa yang belum pernah kita genggam. Padahal toh setelah kita dapat, perasaan suka itu perlahan akan memudar juga." Kata Ibu sembari menerawang awan cerah. Ada semburat sendu di wajah Ibu, seperti ingin berkata sesuatu namun masih tertahan. Aku merasa tak enak hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun