Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tatkala Waktu Ngopi Tak Lagi Jadi Kepentingan Utama

20 Oktober 2022   15:53 Diperbarui: 20 Oktober 2022   16:05 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mampir ngopi di kala hujan. menikmati kopi adalah menikmati waktu, berbagi cerita dengan pedagangnya. Menikmati perjalanan hidup (dokpri)

Minum kopi atau ngopi sebuah kata dan aktivitas yang mengandung banyak makna.

Bagi banyak orang ngopi adalah kegiatan rutinitas yang harus dilalui setiap pagi.

Ada sesuatu yang hilang jika melewati pagi tanpa kopi.

Beberapa orang menganggap kopi sebagai obat ngantuk sehingga mesti minum kopi bila banyak pekerjaan atau ngelembur.

Ada pula yang menyandingkan kopi dengan rokok sebagai pasangan yang tak bisa dipisahkan.

Katanya, ngopi tanpa rokok belum sempurna demikian sebaliknya.

Ngopi bisa menggunakan gula sehingga terasa manis, namun tanpa gula pun tak hilang kenikmatannya.

“Bukankah kesempurnaan rasa kopi itu dari rasa pahitnya,” Demikian pertanyaan tentang makna kopi bagi penggemarnya.

Saya juga penyuka kopi, meski tidak fanatik.

Terutama dalam usia pensiun sekarang ini.

Meminum atau menikmati saat ini adalah sebagai pengisi waktu yang menjadi rutin karena kewajiban melakukan aktivitas fisik saat tak lagi muda.

Disela-sela aktivitas keseharian yang kini banyak waktu luangnya, ngopi serasa memiliki makna berbeda.

Ada semacam keharusan saya untuk ngopi namun tidak mesti pagi hari seperti kebanyak orang.

Ngopi bagi saya adalah pengisi waktu, bisa juga dibilang healing.

Ngopi saya manfaatkan ketika saya harus olahraga dalam bentuk bersepeda atau jalan kaki.

Dokter menyarankan agar saya melakukannya aktivitas fisik minimal sehari sekali selama 30 menit.

Nah disela perjalanan bersepeda dekat rumah, saya selalu sempatkan mampir ke warung.

Kegiatan ringan di warung tentu bukan makan, juga bukan beli jajanan, namun yang utama adalah memesan kopi di minum ditempat.

Teman ngopi adalah merokok, tentu saja.

Saya juga ngopi pada sori hari, terutama karena kebiasaan mencari lauk untuk makan malam orang di rumah.

Saya melakukannya dengan bersepeda, sambil menunggu pesanan lauk, saya minta dibuatkan kopi.

Saya sendiri karena mengidap penyakit diabetes kerap membawa kopi bubuk sendiri. Kopi tanpa gula.

Seperti kata banyak sejumlah orang, kopi hitam tanpa gula terbukti punya nikmatnya sendiri.

“Bukankah kesempurnaan rasa kopi itu dari rasa pahitnya?” kalimat itu kembali saya ulang.

Tentu biar tidak duduk gratis, saya membeli dagangan apa saja, selain kopi di setiap warung yang saya singgahi.

Bahkan pada warung tertentu saya menetapkan harga tertentu meski saya hanya menghabiskan beberapa ribu rupiah saja.

Berbagi adalah motivasi lain saya selama ngopi. Berbagi dalam bentuk apa saja, tak harus uang, tapi juga cerita.

Kadang-kadang cerita para pedagang selama saya ngopi mengilhami perjalanan saya.

Membuat mereka tersenyum di sela dan akhir cerita ngopi' menjadi kepuasan sendiri.

Saya mempunyai banyak tempat untuk menikmati kopi, dan umumnya mereka terbuka dengan kehadiran saya.

Bahkan meski sering bertemu, selalu ada saja cerita yang kami bagikan.

Saya mungkin menjadi pelanggan mereka karena mereka hafal dengan kebiasaan saya.

Bahkan beberapa pedagang menggratiskan harga satu gelas kopi untuk saya.

Kadang-kadang saya pun membelikan satu lusin kopi  sasetan untuk persediaan sang pedagang.

Dan kalau sudah begitu, ngopi seperti bukan lagi menjadi hal utama.

Pernah suatu sore saya mampir ke warung tenda, untuk memesan nasi goreng dan segelas kopi.

Tiba-tiba hujan turun disertai angin kencang. Tenda pedagang nyaris roboh.

Ia sudah menyeduh segelas kopi untuk saya namun belum membuatkan nasi goreng karena menahan gerobaknya dari gempuran angin kencang.

Saya lalu ikut mempertahankan tenda yang bergerak-gerak diterpa angin.

Kejadian berlangsung sekitar 10 menit. Angin reda, hujan pun mengikutinya.

Kami bersyukur tenda bisa tetap berdiri tegak, pedagang bisa membuatkan pesanan saya.

Karena waktu sudah menjelang maghrib saya segera pamit seraya membawa dua bungkus nasi goreng.

Sang penjual nasi mengingatkan kopi yang sudah dingin dan belum dihabiskan.

Saya hanya tersenyum, waktu ngopi sudah habis, sudah menjadi tak penting. 

Keselamatan dan keberlangsungan sang pedagang melebihi acara ngopi.

Toh, saya pulang tetap bisa membawa pesanan makanan orang di rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun