Ringkasan Sebelumnya: Sambil menunggu Arni, Ramon pergi ke warnet. Jamila, istri Jaka, ternyata banyak mengirimi email. Mereka lalu ngobrol, dan Jamila memberi saran agar pelarian Ramon aman dari kejaran Jaka. Selengkapnya...
Sebenarnya bagaimana hubungan Jamila dengan Jaka dan Ramon? Yang pasti hubungan dengan Jaka sebagai suaminya sudah lama tak harmonis, sedang dengan Ramon hubungan pekerjaan semata.
Tadinya, Jamila sangat membenci Ramon. Bukan saja karena telah merebut perhatian suaminya, tetapi karena Ramon lebih dipercaya mengelola keuangan sebagian besar bisnis milik Jaka dibanding Jamila.
Ramon tadinya tak peduli dengan perasaan yang dialami Jamila. Yang penting karier dan penghasilannya terus meningkat. Cita-citanya sejak kecil memang bukan mau jadi apa tapi ingin kaya raya.
Ia tak punya spesifikasi cita-cita seperti mau jadi dokter, pilot, guru atau pengusaha.
"Menjadi profesi apapun toh tujuan akhirnya jadi kaya." Begitu prinsip hidup Ramon ketika itu.
Setelah lebih dari lima tahun bekerja bersama Jaka, Ramon pun memiliki segalanya. Ia punya tabungan di tiga buah bank berbeda. Ramon juga tinggal di sebuah apartemen mewah dan memiliki sebuah mobil BMW warna merah, warna kesukaannya.
Tadinya ia akan membeli sebuah rumah di kawasan elit di Surabaya, tapi buat apa? Toh, ia masih sendiri. Hidupnya banyak dihabiskan di tempat kerja. Mungkin nanti jika sudah berkeluarga. Tapi sama siapa?
Ketika segalanya sudah dimiliki, kesepian pun justru mulai menggerayanginya. Ramon merasa terasing dengan dirinya sendiri. Ia mulai takut tua. Merasa sangat nista. Takut mati. Buat apa punya banyak harta, jika kita tak punya siapa-siapa. Lagipula harta tak bisa dibawa mati, bukan?
Sejak itu, Ramon mulai berpikir untuk mempelajari agama lebih mendalam. Punya keluarga kecil, istri dan dua anak. Ia merasa harus mengakhiri sandiwara hidup yang diperaninya dengan sukses, namun sukses semu. Ia ingin lepas dari Jaka, ingin mengabadikan diri pada keluarga dan agama yang dipeluknya.
Kemudian diam-diam Ramon membagi kewenangan pekerjaannya kepada Jamila. Semula kebaikannya sempat dicurigai wanita itu. Namun karena dilakukan secara tulus, akhirnya Jamila pun sadar. Mereka selanjutnya bersahabat. Ternyata keduanya punya perasaan yang sama, yakni menjadi korban ketidakwajaran perilaku Jaka.
***
Merasa kian dekat dengan Jamila, Ramon membuat pengakuan bahwa selama ini ia dianggap bukan saja sebagai orang kepercayaan Jaka, tetapi selingkuhannya. Ia minta maaf dan minta Jamila tak marah.
Jamila memang tak marah. Ia justru mengaku sudah menebak cerita itu. Jamila juga cerita bahwa ia baru tahu bahwa Jaka cenderung gay dibanding pria sejati setelah beberapa bulan menikah.
"Setiap ada pria tampan, aku lihat mata suamiku jelalatan. Tapi sebaliknya jika ada wanita cantik, reaksinya biasa-biasa saja."
Sebaliknya Ramon menegaskan bahwa ia sebenarnya bukan gay, bukan pula bencong. Ia pria tulen. Namun diakui bahwa ia termasuk pria pemalu, beda banget perangainya dibanding Jaka.
Dan Jaka kini telah menguasai hidupnya. Ramon tak boleh punya kekasih selain dia, apalagi istri. Pernah ada seorang wanita yang menyukai Ramon, wanita itu langsung diancam dan tak pernah muncul lagi. Gay apalagi, tak ada yang berani mendekati Ramon karena mereka tahu urusannya bakal berat.
Dari literatur yang dipelajari, Ramon jadi percaya bahwa Jaka benar-benar gay sejati. Ini karena ia memiliki sikap posesif berlebihan sebagaimana dimiliki seorang gay umumnya.
Kisah meninggalnya perancang busana kaliber dunia, Gianni Versace 1997 lalu seolah menjadi cermin yang menakutkan bagi Ramon. Saat itu Versace dihabisi mantan pasangannya Andrew Cunnan dengan tangannya sendiri. Gay pelacur papan atas itu tak menerima cintanya diputus Versace.
Jaka akhirnya tahu bahwa ia mulai dekat dengan Jamila. Jaka sempat marah, namun tetap membiarkannya. Ini mengherankan. Mungkin Jaka berpikir keduanya tak mungkin berani menjalin hubungan intim.
Baik Jamila maupun Ramon memang tak punya pikiran kea rah situ. Mereka punya tujuan yang sama, bagaimana bisa lepas dari cengkraman kekuasaan seorang Jaka.
Yang bikin Jaka tak terima adalah karena Ramon sering menghilang, terutama di akhir pekan. Saat itu Ramon memang harus belajar ilmu agama ke tempat Ustadz Mahfudz. Pengawasan terhadap Ramon pun selanjutnya diperketat.
Menurut Jamila, Jaka sebenarnya sudah tahu jika Ramon pergi ke Sidoarjo, tempat Ustadz Mahfudz. Kabarnya Jaka sempat cemburu mengetahui hal itu. Namun entah mengapa ia kurang berani menghadapi Ustadz Mahfudz.
Konon, Jaka gemetar saat hendak memasuki wilayah tempat tinggal Ustadz Mahfudz. Entar benar atau tidak cerita itu, Ramon dan Jamila tak kuat menahan tawa mendengarnya.
"Berarti Jaka mengakui bahwa ia memang iblis. Atau jangan-jangan ia iblis yang menjelma sebagai seorang Jaka. Iblis kan takutnya hanya sama Tuhan. Takut sama manusia yang dilindungi Allah..."
"Ya bener...bener! Hanya Tuhan yang ditakuti iblis seperti Jaka. Hahaha...Hahaha...."
Jamila mengaku juga sempat memperoleh perlakuan serupa dari Jaka. Sebagai istri, bertahun-tahun Jamila tak pernah lagi memperoleh nafkah batin dari Jaka. Tapi saat ia dekat dengan seorang pria, Jaka langsung cemburu dan membuat pria itu mundur menjauhinya.
Perasaan senasib membuat keduanya kian dekat. Saat nyawa Ramon terancam, Jamila berusaha menyelamatkannya sebisa mungkin.
Kebetulan Jamila punya mata-mata di lingkaran kekuasaan Jaka. Jadi info gerak-gerik suaminya bisa terpantau dengan lancar.
***
Dering telepon berbunyi. Jamila meneleponnya.
"Syukurlah nomormu belum ganti. Sori aku meneleponmu karena penting." Jamila mengatakan tujuannya menelepon Ramon.
"Aku yang minta dipersori. Baru saja kami ketiduran. Jadi belum sempat mengganti nomornya. Lagipula aku memang menunggu perkembangan info dari kamu."
"Info yang aku dengar, orang-orangnya Jaka sudah mendatangi rumah Ustadz Mahfudz. Mereka kini memburumu."
"Wah, gawat. Lalu bagaimana nasib Ustadz Mahfudz? Apakah mereka melukainya?"
"Aku tak tahu persis. Yang aku dengar, kebetulan Ustadzmu itu sedang pergi sama istrinya. Jadi mereka aman."
Ramon bersyukur seraya mengucap Alhamdulillah mendengar Ustadz Mahfudz selamat. Kini ia berkonsentrasi agar perjalanannya cepat sampai ke Bandara Soekarno-Hatta dan segera terbang ke Papua.
Pamannya, Narkim, menjadi perwira polisi di sana. Beliau telah memberi jaminan keselamatan selama berada di wilayah kekuasaannya.
"Jalannya lebih dipercepat mas. Nanti ongkosnya saya tambah." Ramon memberi perintah pada sopir di depannya. Mobil pun melesat yang tadinya 60 km per jam menjadi 100 km per jam, bahkan lebih saat jalanan sepi. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H