"Iya sih. Makanya gua cuekin saja tuh. Apalagi yang nasehati gua itu orangnya culun. Ih, amit-amit," kata monyet lainnya.
"Aku sih sa bodo teuing. Aku yakin ini mah akal-akalan raja. Kaya nggak kenal aja karakter raja kita sekarang ini," kata monyet yang dikenal kritis itu.
Diantara para monyet, ada beberapa dari mereka yang akhirnya buka suara menyampaikan kondisi kerajaan sebenarnya. Hal itu dilakukan, harapannya, agar informasi yang diperoleh si penasehat itu seimbang, sebelum mengambil keputusan.
Tapi ada pula monyet yang asal ngomong tentang apa yang ia rasakan, dipahami atau tidak oleh panasehat tersebut, urusan lain. Apatis!
Nyatanya, tim penasehat seolah tak pernah mendengar uneg-uneg dari para monyet tersebut. Pada sesi-sesi selanjutnya, tim penasehat tetap saja memberikan ceramah tentang kebaikan, tentang perilaku ideal yang harusnya dijalani setiap anggota kerajaan. Tentang hal ideal apa saja tanpa memberi catatan.
Akibatnya nasehat yang disampaikan seperti angin lalu. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Didengarkan tapi sudah pasti tak dituruti.
"Bagaimana bisa melakukan kebaikan jika tak pernah ada lagi contoh kebaikan di kerajaan ini"
"Mana bisa kita berperilaku jujur jika raja ternyata mempertahankan monyet-monyet tak jujur disekelilingnya."
"Bagaimana kita bekerja profesional, jika unsur subyektifitas ditonjolkan dibanding obyektifitas."
"Bagi saya kehadiran penasehat tidak salah. Tapi yang lebih kita butuhkan adalah keteladanan. Itu yang sudah hilang entah kemana di negeri ini!" teriak lantang seorang monyet dalam satu pertemuan dengan tim penasehat kerajaan.
Jawaban yang diberikan penasehat, dibantu elit kerajaan atas pertanyaan itu benar-benar tidak nyambung. Konsep keteladanan antara penasehat, elit kerajaan, versus para monyet sangat berbeda, kalau tak mau dikatakan bertolak belakang. Kok bisa? Ya begitulah yang terjadi di negeri monyet.