Mohon tunggu...
Biso Rumongso
Biso Rumongso Mohon Tunggu... Jurnalis - Orang Biyasa

Yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan diingat 📝📝📝

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dongeng Dari Kerajaan Monyet

29 Juni 2011   13:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:04 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini sebuah cerita dari kerajaan monyet. Raja di negeri itu suatu hari menyewa penasehat independen untuk memberi motivasi sekaligus mengubah cara berpikir keluarga besar kerajaan.

Nasehat yang dimaksud berkisar pada etos dan profesional berkerajaan. Alasan sang raja, kultur di luar kerajaan sudah berubah. Mereka tak boleh lagi berpangku tangan jika tak ingin ditinggalkan rakyatnya, bahkan dijatuhkan.

"Kejatuhan negara manusia seperti di Mesir dan Tunisia adalah contohnya. Tapi kita tak boleh meniru pimpinan Libya Muammar Khadafi yang memilih menembaki rakyatnya demi mempertahankan kekuasaan," ujar sang raja kepada beberapa monyet kepercayaan.

Kepada penasehat barunya, sang raja juga menyampaikan harapannya. "Saya butuh orang-orang terbaik yang bisa menggantikan saya, bisa melindungi kekuasaan saya. Kriterianya loyal dan profesional."

Penasehat tentu saja mengangguk-angguk mendengar permintaan raja. MoU alias Memorandum of Understanding diantara keduanya belah pihak pun dibuat.

Sejak itu sang penasehat dibantu beberapa stafnya membuat jadwal wawancara untuk mengetahui peta sumber daya anggota kerajaan. Juga dibuat jadwal pertemuan kelompok. Hasilnya adalah semacam peta kemampuan, minat, dan perilaku masing-masing anggota kerajaan. Hasil itu lalu ia tunjukkan kepada sang raja.

Raja mengangguk-angguk mendapat laporan si penasehat. Lalu ketika mereka terlibat dalam diskusi, eh giliran si penasehat yang mengangguk-angguk.

***

Di kalangan monyet, kehadiran sang penasehat, menjadi bahan pergunjingan. Mulanya, sebagian dari mereka menyambut positif keputusan itu. Mereka sadar bahwa kehidupan tidak statis. Hidup harus fleksibel mengikuti perubahan zaman, termasuk sebuah kerajaan.

Pergunjingan muncul setelah penasehat itu mewawancarai satu per satu anggota kerajaan. Penasehat itu selalu mengatakan contoh-contoh perilaku ideal yang harus ditunjukkan setiap anggota kerajaan. Padahal perilaku ideal itu hanya bisa muncul dari kondisi yang cukup ideal pula.

"Mestinya penasehat itu mempelajari dulu kondisi kita sesungguhnya sebelum melancarkan nasehat-nasehatnya," kata seorang monyet kepada kawannya.

"Iya sih. Makanya gua cuekin saja tuh. Apalagi yang nasehati gua itu orangnya culun. Ih, amit-amit," kata monyet lainnya.

"Aku sih sa bodo teuing. Aku yakin ini mah akal-akalan raja. Kaya nggak kenal aja karakter raja kita sekarang ini," kata monyet yang dikenal kritis itu.

Diantara para monyet, ada beberapa dari mereka yang akhirnya buka suara menyampaikan kondisi kerajaan sebenarnya. Hal itu dilakukan, harapannya, agar informasi yang diperoleh si penasehat itu seimbang, sebelum mengambil keputusan.

Tapi ada pula monyet yang asal ngomong tentang apa yang ia rasakan, dipahami atau tidak oleh panasehat tersebut, urusan lain. Apatis!

Nyatanya, tim penasehat seolah tak pernah mendengar uneg-uneg dari para monyet tersebut. Pada sesi-sesi selanjutnya, tim penasehat tetap saja memberikan ceramah tentang kebaikan, tentang perilaku ideal yang harusnya dijalani setiap anggota kerajaan. Tentang hal ideal apa saja tanpa memberi catatan.

Akibatnya nasehat yang disampaikan seperti angin lalu. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Didengarkan tapi sudah pasti tak dituruti.

"Bagaimana bisa melakukan kebaikan jika tak pernah ada lagi contoh kebaikan di kerajaan ini"

"Mana bisa kita berperilaku jujur jika raja ternyata mempertahankan monyet-monyet tak jujur disekelilingnya."

"Bagaimana kita bekerja profesional, jika unsur subyektifitas ditonjolkan dibanding obyektifitas."

"Bagi saya kehadiran penasehat tidak salah. Tapi yang lebih kita butuhkan adalah keteladanan. Itu yang sudah hilang entah kemana di negeri ini!" teriak lantang seorang monyet dalam satu pertemuan dengan tim penasehat kerajaan.

Jawaban yang diberikan penasehat, dibantu elit kerajaan atas pertanyaan itu benar-benar tidak nyambung. Konsep keteladanan antara penasehat, elit kerajaan, versus para monyet sangat berbeda, kalau tak mau dikatakan bertolak belakang. Kok bisa? Ya begitulah yang terjadi di negeri monyet.

Satu dua monyet kritis diam-diam mencari tahu latar belakang keahlian si penasehat. Ternyata nama penasehat tersebut tak muncul saat dicari google.com. Biasanya kalau kita punya alamat facebook atau twitter langsung terlacak mesin pencari super cerdas itu. Tapi penasehat itu kemana saja.

Track record sang penasehat kerajaan itu pun mulai dipertanyakan.

***

Sampailah pada sesi terakhir penasehat kerajaan dalam melaksanakan tugasnya. Dibantu dengan monyet-monyet terpilih, mereka membuat kesimpulan-kesimpulan dan selanjutnya disosialisasikan dalam sebuah pertemuan besar.

Kesimpulan-kesimpulan itu tetap saja berisi patokan-patokan berperilaku ideal yang diklaim sebagai kesepakatan bersama, tepatnya bersama penasehat kerajaan. Perilaku ideal itu tentu saja diharapkan akan menjadikan kerajaan itu tumbuh menjadi lebih baik dan disegani rakyatnya, termasuk kerajaan lain.

Lalu dengan bangga sang penasehat bercerita bahwa mereka telah membuat banyak buku tentang nasehat-nasehat bijak seperti di atas. Buku-buku tersebut semuanya habis karena dicetak berdasar pesanan kerajaan-kerajaan yang menggunakan jasanya. Buku itu tidak dipajang di toko buku karena semuanya clear. Laku semua. Tanpa sisa. Pokoknya hebat!.

Ia juga bercerita tentang sebuah kerajaan yang beberapa kali menggunakan jasanya. Pada ke sekian kalinya, ia mempersilahkan kerajaan itu mencari penasehat lainnya. Ternyata setelah membandingkan dengan kerajaan lain, kerajaan dimaksud kembali kepada sang penasehat. Intinya kepercayaan.

Sayang cerita-cerita kebesaran panasehat itu pun seperti antiklimaks. Pertanyaan besar mengapa nama penasehat itu tak ada di google seolah terjawab sudah.

Jawabnya karena penasehat itu cenderung bekerja hanya dasar pesanan. Akibatnya memanipulasi data dan fakta menjadi hal biasa karena pesanan tadi. Penasehat itu pun tak pernah menjadi diri sendiri, tak pernah memberi kesan mendalam, malah hanya jadi bahan tertawaan. Kasihan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun