Mohon tunggu...
Wisnu Nugroho
Wisnu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis -

mengabarkan yang tidak penting agar yang penting tetap penting

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mbak Yenny (Uncut)

14 Agustus 2010   04:09 Diperbarui: 11 Desember 2015   12:40 3202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_225692" align="alignnone" width="500" caption="pemandangan di teras istana kepresidenan, jakarta. petugas menjaga kresek putih pembungkus alas kaki pejabat. (2008.wisnunugroho)"][/caption]

semua seperti kebetulan semata. akhir juli lalu, menjelang larut malam, nama mbak yenny zannuba wahid menggetarkan telepon selular saya. sambil membereskan meja usai mengedit sejumlah berita, saya angkat telepon dan segera terdengar suara ramah dan renyah dari jakarta. mbak yenny memberi kabar tentang kegelisahannya karena sedang hamil tua.

sebagai yang pernah dibuat gelisah dua kali kesempatan untuk hal yang sama yaitu kehamilan isteri saya, saya berbagi cerita. kegelisahan mbak yenny pasti masih ada meskipun saya berusaha berbagi cerita untuk menenangkannya.

dalam upaya berbagi kegelisahan yang diselingi canda itu, saya yang ditanya kabarnya bercerita tentang buku pak beye dan istananya yang akan segera beredar. mbak yenny menyambut gembira.

dalam kegembiraan yang muncul di saat gelisah menuggu hari kelahiran anak pertamanya, mbak yenny bersedia dengan senang hati membuat resensinya. saya merasa mendapat kehormatan. mbak yenny yang mantan wartawan, pernah tinggal di istana merdeka, dan pernah menjadi staf khusus pak beye bersedia merensi buku yang berisi hal-hal tidak penting seputar pak beye dan istananya. esok harinya, buku pak beye dan istananya yang belum sempat beredar di gramedia dikirimkan ke alamat mbak yenny.

hamil tua membuat tulisan resensi mbak yenny untuk pak beye dan istananya terkendala. mbak yenny harus bedrest karena hamil tuanya. namun, mbak yenny masih mengaku sanggup menyelesaikan resensi yang dijanjikannya.

saya yang kemudian merasa tidak enak karenanya, lantas banyak berharap dan berdoa. sampai pada suatu ketika, mbak yenny menyambangi saya dengan emailnya. resensi buku pak beye dan istananya dilekatkan dalam email tertanggal 7 agustus 2010. saya yang tidak punya kuasa meneruskan email itu ke editor kompas di jakarta.

seminggu kemudian, bersamaan dengan kabar kelahiran putri mbak yenny, saya mendapat kabar bahwa resensi mbak yenny diterima dan akan terbit esok harinya, sabtu, 14 agustus 2010 di rubrik pustakaloka.

pagi hari sebelum mengantar kiandra anak pertama saya, saya dapati resensi mbak yenny ada di pustakaloka. untuk anda yang belum sempat membaca, saya tampilkan resensi utuh mbak yenny seperti dikirim lewat email saya.

belum diedit sama sekali tentu saja dan berbeda sedikit dengan edisi cetaknya. tulisan mbak yenny ini hadir bersamaan dengan pecahnya gelisahnya karena kelahiran putri pertamanya.

selamat ya mbak yenny. semoga bertambah kebahagiaannya.

salam pecah.

*****

Membedah Jantung Istana

Yenny Zannuba Wahid

Arsitek Drossares tentu tak akan mengira, suatu saat kresek akan masuk koningsplein paleis atau Istana Merdeka. Sebagai arsitek yang mendapatkan tugas untuk mendesain bangunan jantung kekuasaan Belanda di negara jajahan tersebut, Drossares hanya mengizinkan hal-hal yang artistik dan bernilai tinggilah yang bisa masuk ke dalamnya. Namun kini kresek seringkali terlihat menghiasi teras istana ketika pejabat-pejabat sedang berkumpul. Apa gerangan yang tengah terjadi?

Ternyata dalam kresek itu bersembunyi alas kaki yang semuanya bermerk luar negeri. Mungkin para pejabat malu karena di luar istana banyak anak-anak sekolah yang tidak memakai sepatu. Mereka—para pejabat, bisa jadi saya salah satunya waktu itu - berusaha berempati dengan menyembunyikan alas kaki mereka.

Kisah unik ini bisa kita baca berkat kejelian Wisnu Nugroho yang terekam dalam buku terbarunya: Pak Beye dan Istananya. Sebagai wartawan yang bertugas meliput berita di seputar istana, Inu (begitu Wisnu Nugroho biasa disapa), mampu menghadirkan sisi lain dari peristiwa dan kehidupan istana presiden.

Saya kenal Inu, ketika memulai tugas di istana sebagai staf khusus Presiden bidang komunikasi politik. Inu ‘menyambut’ kedatangan saya dengan menulis artikel kecil di halaman pokok tokoh Kompas. Dalam tulisan itu dia menggambarkan tentang satu-satunya perempuan dalam jajaran staf khusus Presiden. Dia juga mendeskripsikan kerudung merah muda dan tas tangan oranye merek Prada lawas (dan pemberian teman), yang saat itu saya tenteng.

Saya tersenyum membacanya. Sedikit kecut pasti, karena jelas tergambar insinuasi apa yang tergelar dengan deskripsi Inu tersebut. Tapi saya menghargai kejelian dan keberaniannya untuk menghadirkan satu tokoh publik dari sisi yang berbeda. Sejak itu saya makin mencermati beragam tulisannya. Dan saya menemukan seorang anak muda yang bertalenta, tekun serta kritis.

Tulisannya kadang menggelitik dan tak jarang sinis, seolah ingin menggugat mesin pencitraan istana yang sangat perkasa. Tantangan terbesar pewarta masa kini adalah menembus politik jargon yang terlalu diakrabi oleh para politisi. Dengan berbekal komentar yang tepat secara politik (politically-correct comments), publik coba dialihkan dari substansi. Dan, Inu saya nilai bisa lolos dari tantangan itu.

Dia berbeda karena berani tampil terbuka. Buku Pak Beye dan Istananya merupakan upaya Inu untuk menghadirkan semua nuansa istana agar tercipta gambaran yang utuh; bukan sebatas menampilkan “sangkar” sang raja tetapi menjadi cermin jernih untuk melihat sisi lainnya, yang marak dengan manipulasi citra.

Simak kisah menarik berjudul Melihat Pak Beye Gak Pede. Ketika berdiri di depan mimbar untuk mengumumkan perintah nomor enam dari “Sepuluh Perintah Yudhoyono”, Pak Beye kelihatan resah. Sebenarnya, isi perintah itu sudah sangat akrab di telinga dan telah diucapkan ratusan kali oleh para pejabat—mulai presiden hingga lurah. Mari kita lakukan (lagi) kampaye besar-besaran untuk mengonsumsi produk dalam negeri.

Lantas, mengapa Pak Beye bersikap demikian? Usut punya usut, ketika sidang kabinet usai dan para menteri membubarkan diri dengan tujuan masing-masing, tampak seorang menteri perempuan berjalan diiringi ajudan laki-laki berbadan tegap. Ajudan itu menenteng tas kulit perempuan berwarna putih dengan logo LV (Louis Vuitton) pada gagang tas yang tersepuh warna emas (hal.91-2).

Tas tersebut jelas bukan produk dalam negeri, tapi sudah pasti milik ibu menteri. Mungkin, peristiwa inilah yang membuat Pak Beye tidak percaya diri. Diam-diam, salah seorang menterinya telah menunjukkan sikap menentang perintahnya: tidak menggunakan produk dalam negeri.

Membaca buku Inu membawa perasaan déjà vu, kembali ke alam nostalgia. Tokoh-tokoh serta peristiwa yang dipaparkannya kadang membuat saya tertawa sendiri. Karena memang apa yang digambarkannya betul terjadi. Cerita tentang Kolonel Aziz sampai Mas Iswahyudi (Bab 2: Orang Penting), misalnya, hanya sedikit cerita dari berbagai kejanggalan istana yang sampai sekarang tetap menjadi misteri. Saya jadi ingat kehebohan istana ketika blue energy mulai diperkenalkan. Mungkin mirip dengan euphoria masayarakat biasa terhadap air Ponari.

Tentu peristiwa di istana ada di balik layar. Semuanya top secret. Presiden pun ketika menerima paparan dari Mas Iswahyudi hanya didampingi oleh beberapa orang tertentu saja. Sayang saya termasuk yang tidak beruntung bisa hadir, mungkin saya kurang rajin melobi Mas Heru Lelono walaupun kantor kami ketika itu bersebelahan.

Show Room dan Pencitraan

Membaca buku Inu, akan terlihat ‘obsesinya’ pada kendaraan. Satu bab khusus didedikasikan untuk membahas soal turangga (tunggangan) para pejabat, pemgusaha dan orang-orang penting lainnya. Berbagai merek mobil berkelas, seperti Audi (bernomor polisi B 24 EB, Rolls-Royce (bernomor polisi 234), Lexus ( bernomor polisi RI 14), Bentley (bernomor polisi B 65 HT), Mercedes-Benz, terparkir anggun di halaman istana merdeka.

Mungkin Inu ingin menunjukkan bahwa kehadiran kendaraan-kendaraan tersebut di istana, seolah untuk menepis kesan bahwa negeri ini tengah dalam kondisi krisis ekonomi dan masih memiliki berjuta-juta rakyat yang hidup miskin. Kenyataan itu pula yang membuat kabar tentang krisis yang dialami Indonesia seakan hanyalah ulah orang-orang yang tidak suka pada pemerintah.

Selain sebagai show room, istana juga sebagai pusat pencitraan. Tulisan berjudul Meredupnya Sorot Kamera memperlihatkan hal itu. Agar terlihat bekerja sampai larut malam, Pak Beye ingin disorot oleh para wartawan di depan ruang kerjanya. Namun apa daya, karena pencahayaan di depan ruang kerja Pak Beye terlalu redup, para wartawan tidak beranjak untuk mendekat. Cara lain ditempuh, lampu sorot di tembakan di depan ruang itu, tapi hasilnya mengecewakan karena silau yang di dapat. Tak ada pilihan lain, Pak Beye akhirnya mengalah, menggelar konferensi presnya di ruang biasa. Pak Beye ingin menunjukkan bahwa dia (dan pemerintah) bekerja sampai larut malam sehingga rakyat tak perlu khawatir, namun sorot lampu tak mendukungnya.

Politik citra memang modal Pak Beye selama ini. Dan istana merupakan tempat paling baik untuk menampilkannya. Kesempatan apapun digunakan sebaik-baiknya untuk menampilkan citra diri. Terutama citra sedang terancam. Ketika bom meledak di JW Marriot di Jakarta, Pak Beye selepas salat Jum’at dengan wajah tegang menggelar konferensi pres di bawah pohon bodi. Ia menunjukkan foto dirinya yang dijadikan ajang latihan menempak oleh sekelompok teroris (hal.161). Pangung pencitraan itu begitu sempurna. Semua yang berada di sekeliling Pak Beye tampak tegang. Tak ada senyum yang mengembang. Seolah-olah negera benar-benar dalam keadaan genting. Tapi di luar istana rakyat biasa-biasa saja. Pencritaan yang berlebihan bisa membuat banyak orang bosan.

Pernak-pernik Pak Beye dan Kisang Orang-Orang Biasa

Ternyata Pak Beye tetap manusia bisa. Seperti yang dituliskan di bab 5: Pernak-Pernik Pak Beye, Inu berhasil menyoroti barang-barang yang dipakai Pak Beye. Mulai dari HP milik Pak Beye yang berbeda dengan HP yang dipakai Pak Kalla, dan dipakai oleh Inu untuk membandingkan karakter kedua orang tersebut, sampai kasur Presiden yang diusung oleh beberapa orang ketika RI 1 pindah tempat tinggal dari Istana Merdeka ke Istana Negara.

Dikatakan alasan kepindahan itu karena Istana Merdeka hendak direnovasi akibat rangkanya penuh rayap. Saya jadi teringat ketika kami sekeluarga tinggal di Istana Merdeka, mengikuti tradisi Bung Karno semasa hidupnya. Banyak ahli fengshui mengatakan bahwa Istana Merdeka tidak membawa keberuntungan bagi penghuninya. Menurut para ahli fengshui tersebut bayangan Monumen Nasional (Monas) yang berada tepat diseberangnya, membelah Istana Merdeka.

Mereka berpandangan, hal ini akan membawa kesialan bagi yang menempatinya. Minimal kekuasaannya tidak akan bertahan lama. Banyak yang menyarankan kami pindah ke Istana Negara. Tapi kami tidak melakukannya. Apakah alasan Pak Beye pindah ke Istana Negara lebih dari persoalan rayap? Sayangnya Inu tidak sempat mengurainya.

Selain pernak-pernik Pak Beye, Inu juga menampilkan orang-orang biasa yang selama ini berada di istana. Sebuah istana tidak mungkin hanya diisi para tuan. Harus ada orang-orang biasa yang bertugas melayani sang tuan. Tentu saja, mereka tidak akan pernah dikenal walaupun setiap hari bekerja sebaik dan setulus mungkin. Peranan mereka dalam hirarki kekuasaan ibarat peranan para jin ketika Bandung Bondowoso membangun candi Prambanan; tak terlihat tapi bekerja sangat berat.

Menyenangkan sekali bahwa Inu mau repot-repot menulis tentang mereka. Nama Pak Apiaw tentu masih asing di telinga kita. Padahal, dia termasuk segelintir orang yang bisa memegang kepala Presiden. Suatu bentuk keakraban yang tidak mungkin dilakukan oleh para menteri atau Panpanpres, karena tidak berani. Namun, tidak demikian dengan Pak Apiaw. Maklum saja, dia adalah pemijat pribadi Pak Beye yang terpercaya. Sebagai pemijat, ia akan siap datang kapan saja. Keahliannya sewaktu-waktu dibutuhkan untuk melemaskan otot-otot Pak Beye (hal.114-115).

Dalam relasi kekuasaan yang timpang, peranan orang-orang biasa memang tidak terlalu digagas dan digubris. Mereka sangat dibutuhkan tetapi tidak pernah dimunculkan—hanya boleh berada di balik panggung teater politik yang sedang dimainkan oleh para aktor elit politik. Kalaupun mereka dirujuk tentu saja karena ada keinginan politik yang ingin ditampilkan; orang-orang biasa ini bisa menguras empati sehingga citra sang aktor utama pun terangkat.

Pak Mayar contohnya. Penggagas orisinal nama “Pak Beye”. Inu punya cerita menarik tentang sosoknya dalam tulisan berkepala Air Putih Bekal Menuju Istana. Akan tetapi, relasi kekuasaan yang timpang tersebut ternyata tidak hanya berhenti pada orang biasa saja.

Dalam cerita berjudul Jangan Cium Tangan, Inu menyoroti kebiasaan para pejabat dan tokoh penting untuk mencium tangan Pak Beye. Kebiasaan cium tangan adalah bagian dari kultur masyarakat kita terutama masyarakat Jawa, biasanya dilakukan kepada anggota keluarga yang lebih tua atau orang yang dalam konteks religi dan sosial sangat dihormati.

Dalam relasi kekuasaan, cium tangan yang dilakukan oleh seorang bawahan kepada atasannya (Pak Sudi Silalahi), atau orang yang semestinya menjaga netralitas profesinya (Ketua PWI), entah mengapa mengingatkan saya pada cium tangan para mafia terhadap Don Corleone dalam film God Father.

Sekarang Inu tidak lagi ‘ngepos’ di istana. Inu sekarang menjadi wartawan Kompas berbasis di Jogja. Semoga itu tidak ada hubungannya dengan berbagai tulisannya yang sebelum menjadi buku dapat dinikmati melalui blog Kompasiana.

Lewat Pak Beye dan Istananya, Wisnu ingin mengajak kita untuk mengenal istana sebagai pusat pertunjukan teaterikal di negeri ini, lengkap dengan aktor-aktor dan permainannya.

Selamat menikmati.

* Pernah tinggal di istana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun