Mohon tunggu...
Wisnu Nugroho
Wisnu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis -

mengabarkan yang tidak penting agar yang penting tetap penting

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mbak Yenny (Uncut)

14 Agustus 2010   04:09 Diperbarui: 11 Desember 2015   12:40 3202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata Pak Beye tetap manusia bisa. Seperti yang dituliskan di bab 5: Pernak-Pernik Pak Beye, Inu berhasil menyoroti barang-barang yang dipakai Pak Beye. Mulai dari HP milik Pak Beye yang berbeda dengan HP yang dipakai Pak Kalla, dan dipakai oleh Inu untuk membandingkan karakter kedua orang tersebut, sampai kasur Presiden yang diusung oleh beberapa orang ketika RI 1 pindah tempat tinggal dari Istana Merdeka ke Istana Negara.

Dikatakan alasan kepindahan itu karena Istana Merdeka hendak direnovasi akibat rangkanya penuh rayap. Saya jadi teringat ketika kami sekeluarga tinggal di Istana Merdeka, mengikuti tradisi Bung Karno semasa hidupnya. Banyak ahli fengshui mengatakan bahwa Istana Merdeka tidak membawa keberuntungan bagi penghuninya. Menurut para ahli fengshui tersebut bayangan Monumen Nasional (Monas) yang berada tepat diseberangnya, membelah Istana Merdeka.

Mereka berpandangan, hal ini akan membawa kesialan bagi yang menempatinya. Minimal kekuasaannya tidak akan bertahan lama. Banyak yang menyarankan kami pindah ke Istana Negara. Tapi kami tidak melakukannya. Apakah alasan Pak Beye pindah ke Istana Negara lebih dari persoalan rayap? Sayangnya Inu tidak sempat mengurainya.

Selain pernak-pernik Pak Beye, Inu juga menampilkan orang-orang biasa yang selama ini berada di istana. Sebuah istana tidak mungkin hanya diisi para tuan. Harus ada orang-orang biasa yang bertugas melayani sang tuan. Tentu saja, mereka tidak akan pernah dikenal walaupun setiap hari bekerja sebaik dan setulus mungkin. Peranan mereka dalam hirarki kekuasaan ibarat peranan para jin ketika Bandung Bondowoso membangun candi Prambanan; tak terlihat tapi bekerja sangat berat.

Menyenangkan sekali bahwa Inu mau repot-repot menulis tentang mereka. Nama Pak Apiaw tentu masih asing di telinga kita. Padahal, dia termasuk segelintir orang yang bisa memegang kepala Presiden. Suatu bentuk keakraban yang tidak mungkin dilakukan oleh para menteri atau Panpanpres, karena tidak berani. Namun, tidak demikian dengan Pak Apiaw. Maklum saja, dia adalah pemijat pribadi Pak Beye yang terpercaya. Sebagai pemijat, ia akan siap datang kapan saja. Keahliannya sewaktu-waktu dibutuhkan untuk melemaskan otot-otot Pak Beye (hal.114-115).

Dalam relasi kekuasaan yang timpang, peranan orang-orang biasa memang tidak terlalu digagas dan digubris. Mereka sangat dibutuhkan tetapi tidak pernah dimunculkan—hanya boleh berada di balik panggung teater politik yang sedang dimainkan oleh para aktor elit politik. Kalaupun mereka dirujuk tentu saja karena ada keinginan politik yang ingin ditampilkan; orang-orang biasa ini bisa menguras empati sehingga citra sang aktor utama pun terangkat.

Pak Mayar contohnya. Penggagas orisinal nama “Pak Beye”. Inu punya cerita menarik tentang sosoknya dalam tulisan berkepala Air Putih Bekal Menuju Istana. Akan tetapi, relasi kekuasaan yang timpang tersebut ternyata tidak hanya berhenti pada orang biasa saja.

Dalam cerita berjudul Jangan Cium Tangan, Inu menyoroti kebiasaan para pejabat dan tokoh penting untuk mencium tangan Pak Beye. Kebiasaan cium tangan adalah bagian dari kultur masyarakat kita terutama masyarakat Jawa, biasanya dilakukan kepada anggota keluarga yang lebih tua atau orang yang dalam konteks religi dan sosial sangat dihormati.

Dalam relasi kekuasaan, cium tangan yang dilakukan oleh seorang bawahan kepada atasannya (Pak Sudi Silalahi), atau orang yang semestinya menjaga netralitas profesinya (Ketua PWI), entah mengapa mengingatkan saya pada cium tangan para mafia terhadap Don Corleone dalam film God Father.

Sekarang Inu tidak lagi ‘ngepos’ di istana. Inu sekarang menjadi wartawan Kompas berbasis di Jogja. Semoga itu tidak ada hubungannya dengan berbagai tulisannya yang sebelum menjadi buku dapat dinikmati melalui blog Kompasiana.

Lewat Pak Beye dan Istananya, Wisnu ingin mengajak kita untuk mengenal istana sebagai pusat pertunjukan teaterikal di negeri ini, lengkap dengan aktor-aktor dan permainannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun