Setelah menjalani persidangan yang cukup panjang, akhirnya Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonisnya selama dua tahun terhadap Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Basuki Tjahya Purnama (Ahok), dalam kasus penistaan terhadap Agama dan Ulama, ketika Ahok menyetir Surat Al Maidah 51, ketika berkunjung di kepulauan seribu.
Vonis yang dijatuhkan oleh hakim dua tahun penjara dan memerintahkan agar Ahok di penjara, lebih tinggi dari tuntutan Jaksa, yang hanya menuntut satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan.
Sidang penistaan agama yang dituduhkan  dilakukan oleh Ahok, memang cukup phenomena, dan membuat geger negeri persada. Aksi demi aksi demo dilancarkan oleh sekelompok orang  antara pro dan kontra dalam mewarnai  persidangan. Bahkan tidak saja bangsa ini yang menjadi gegap gempita dan terbelah, tapi juga masyarakat luar negeri juga turut terpancing emosi.
Setelah vonis dua tahun dijatuhkan, dan membuat sekelompok orang merasa kurang puas dalam menerima keputusan ini, dan akibatnya memunculkan persoalan persoalan baru dalam menanggapi vonis dua tahun terhadap Ahok yang dijatuhkan oleh hakim.
 Berbagai tanggapanpun bermunculan, ada yang mengatakan bahwa putusan dua tahun terhadap Ahok sebagai penista agama merupakan gambaran bahwa hukum di Indonesia semakin mengalami kemunduran. Karena putusan itu terlalu ringan dan mencedrai nilai nilai demokrasi .
 Pada sisi lain ada yang berpendapat, putusan dua tahun yang dijatuhkan oleh Hakim, merupakan putusan yang terlalu berat buat Ahok. Sedikitpun tidak ada pertimbangan hakim terhadap apa yang telah dilakukan oleh Ahok ketika menjalankan tugas kenegaraan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Bahkan jika dirunut lebih panjang, putusan hakim terhadap Ahok, tidak mengindahkan persoalan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam kebebasan sipil dalam berpendapat dan berkeyakinan. Bahkan pengacara Ahok mengatakan bahwa kasus yang dialami oleh Ahok, tidak obahnya seperti kasus yang pernah dialami oleh Sengkon dan Karta pada tahun 1977.
Dimana Sengkon dihukum 12 tahun dan Karta dihukum 8 tahun dalam kasus pembunuhan. Berbagai cara hukum ditempuh mulai dari banding sampai kasasi, namun putusan tetap sama keduanya masuk penjara.
Namun setelah lima tahun dalam penjara, seorang napi yang bernama Gendol yang juga satu penjara dengan Sengkon dan Karta mengaku kalau dialah pembunuhnya. Pengacara Sengkon dan Kartapun melakukan upaya hukum dengan penninjauan kembali, dan hasilnya Sengkon dan Karta dibebaska. Walaupun Sengkon dan Karta telah dibebaskan, tapi yang pasti Pengadilan telah menjatuhkan vonis kepada orang yang tidak bersalah.
 Lalu apa hubungannya dengan kasus Ahok?. Menurut pengacaranya dari para saksi yang dihadirkan, tidak seorang saksipun yang mengatakan kalau Ahok  telah melakukan penistaan agama dengan ucapannya. Bahkan jaksa dalam melakukan penuntutan juga tidak menemui bukti bukti kalau Ahok telah melakukan penistaan agama. Maka Jaksa tidak menggunakan pasal penistaan agama, tapi melainkan penggunaan pasal ujaran kebencian.
Persoalan hukum yang ditimpakan kepada Ahokpun semakin bersengkarut. Ketika permasalahan putusan Ahok tidak saja menjadi perhatian masyarakat dalam negeri, tapi malah meluas menjadi perhatian masyarakat dunia internasional. Menteri luar negeri Retno Marsudipun dibuat menjadi kelimbungan atas menjawab sejawadnya dari berbagai Negara.
Berlebihan :
  Menelisiik kasus Ahok dan putusan yang telah diberikan oleh hakim memang terkesan berlebihan.  Mulai dari jalannya pemeriksaan dikepolisian atas pengaduan dari berbagai kelompok Organisasi Masyarakat  (Ormas),  dan perorangan terlihat kasus ini begitu istimewa. Jalannya penyelidikan, sampai kepada penyidikan, dan pelimpahan kasus ini kepengadilan serta kepada penuntutan dan vonis berlangsung cukup cepat.
Belum pernah ada kasus tentang penistaan agama, yang proses pemeriksaan sampai kepada ponis berjalan begitu kilat. Mungkin karena kasus yang sama yang pernah terjadi karena dilakukan oleh orang biasa yang tidak terkait dengan nuansa politik dan kepentingan lain, sehingga kasus penistaan agama yang dilakukan oleh orang biasa gaungnya tidak begitu membahana.
Tentu berbeda dengan kasus Ahok, yang syarat dengan nuansa politik dan kepentingan banyak pihak. Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok bergulir seiring dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, dimana Ahok selaku Gubernur Petahana turut mencalonkan diri. Disinilah letak perbedaannya sehingga kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok terasa istimewa.
Publik tentu melihat bagaimana sepak terjang Ahok, yang kerap menentang arus kebijakan, baik oleh Partai yang mendukungnya, maupun kebijakan kebijakan pemerintah yang sebelumnya tidak pofuler. Kemudian pada sisi lain kinerja Ahok ketika memimpin Jakarta sungguh sangat baik dan mendapatkan apresiasi yang tinggi dari berbagai pihak. Ahok membangun sebuah motto  yang penting kerja.
Kerja keras Ahok dalam membangun Jakarta, membuat wakilnya Djarot Syaiful Hidayat terkadang tidak mampu untuk mengikuti langkahnya. Stiap jam kerja Ahok masuk kantor tidak pernah telat, dan pulang kantor sampai pukul 21 malam, pulangnya masih membawa berkas, artinya dirumahpun setelah pulang kantor Ahok masih bekerja, hal ini disampaikan oleh Djarot kepada media dalam menanggapi kinerja Ahok.
Kendatipun kinerja Ahok dalam membangun Jakarta mendapat apresiasi dari banyak pihak, namun tidak bisa pula untuk difungkiri, adanya pihak pihak yang tidak suka terhadap kerja keras Ahok dalam membangun Jakarta. Disinilah resiko yang sangat tinggi yang luput dari perhatian Ahok. Ada pihak pihak yang mempunyai kepentingan untuk menjegal langkah Ahok. Dan celah untuk pencegalan langkah Ahok itupun terbuka, ketika Ahok silap dalam berkata kata. Dan terbukti akhirnya Ahok tergelincir pada ubin penistaan agama yang kental dengan nuansa politik.
 Ketidak Puasan :
Kini persoalan vonis Ahok menjadi tunas keterbelahan dalam cara pandang masyarakat negeri ini. Ada yang memandang bahwa vonis Ahok merupakan kemunduran hukum di tanah air, Karena penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok tidak sepadan dengan hukuman yang diberikan.
 Sementara kelompok lain yang pro Ahok, menganggap hukuman Ahok telah mencedrai rasa demokrasi, sebab apa yang dituduhkan kepada Ahok tentang penistaan agama tidak memenuhi unsure.
Dan yang menghebohkan lagi sehari fasca keputusan hakim terhadap kasus Ahok, ketiga hakim yang menyidangkan Ahok mendapatkan promosi jabatan yang lebih tinggi. Dwiarso Budi Satrio Ketua Hakim yang menyidangkan kasus Ahok, yang juga sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara dipromosikan menjadi hakim di Pengagilan Tinggi Bali. Sedangkan Abdul Rosyad hakim dipengadilan Negari Jakarta Utara yang juga sebagai hakim anggota, dipromosikan  menjadi hakim tinggi dipengadilan tinggi Sulawesi Tengah. Dan Jupriyadi Hakim Anggota yang juga Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara dipromosikan menjadi Kepala Pengadilan Negeri Bandung.
Walaupun Mahkamah Agung mengatakan jika promosi jabatan terhadap ketiga hakim yang menyidangkan Ahok, tidak ada sangkut pautnya dengan putusan yang telah mereka berikan terhadap kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok, tapi melaikan proses promosi jabatan itu sudah berlangsung lama dan kebetulan sehari setelah putusan sidang Ahok Promosi jabatan itu dikeluarkan.
Namun apapun ceritanya, adanya promosi jabatan terhadap ketiga hakim yang menyidangkan Ahok, sehari setelah putusan, tentu akan menggoreskan rasa ketidak adilan bagi sebahagian pendukung Ahok. Seolah olah putusan hukuman yang dijatuhkan oleh ketiga orang hakim itu, dibalas dengan menaikan pangkat/jabatan mereka.
Maka oleh karena itu hukum bukanlah merupakan suatu keadilan, tapi hukum adalah untuk membuktikan orang bersalah atau tidaknya. Tidak ada kepuasan dalam setiap putusan hukum. Ini yang perlu untuk disadari oleh para pendukung yang pro kepada  Ahok maupun yang kontra terhadap Ahok. Semoga.
                                                      Tanjungbalai 20 Mei 2017
#kerang_60@yahoo.com#
                                                         Â
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H