Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sengkarut e-KTP Nasional Tanpa Akhir

4 September 2016   14:27 Diperbarui: 5 September 2016   13:02 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengkarut tentang persoalan eKTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) Nasional nampaknya masih menyisakan masalah yang panjang, setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Arif Zudan Fakrulloh telah mewanti-wanti kepada seluruh rakyat Indonesia agar segera membuat KTP elektronik atau e-KTP. Sebab jika sampai batas yang telah ditentukan, yakni 30 September 2016, maka warga yang belum memiliki eKTP tidak akan mendapatkan pelayanan publik.

Wanti wanti yang disampaikan oleh Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri ini layaknya seperti ultimatum bagi rakyat Indonesia, tentu dalam hal ini membuat keresahan bagi rakyat Indonesia, terutama bagi masyarakat awam yang tidak mengerti dengan betapa pentingnya sebuah data diri yang tertuang dalam eKTP.

Seperti isi dari ultimatum yang disampaikan oleh pihak Kemendagri ada sekitar sepuluh poin pelayanan publik yang tidak akan dapat dilakukan atau diterima oleh masyarakat Indomesia apabila batas waktu perekaman terhadap eKTP 30 September 2016 tidak diselesaikan.

Sepuluh poin tersebut terdiri dari pelayanan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), kemudian tidak dilayani dalam pembelian motor dan mobil, tidak dilayani untuk membeli tiket kereta api, kapal dan pesawat terbang, tidak dapat melakukan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Pencatatan Sipil,  tidak dapat menggunakan BPJS, tidak dapat untuk membuat paspor, tidak dapat menggunakanhak suara dalam pemilu, tidak dapat membuat rekening Bank, tidak dilayani dalam pengurusan berkas kepolisian dan tidak memiliki identitas yang legal. Karena untuk mendapatkan dan mengurus semua ini harus melampirkan Idientitas diri yang bernama KTP.

Lantas dalam konteks ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana dengan masyarakat awam yang tidak mengerti akan hal ini. Belum lagi bagi masyarakat perantau yang menetap dan tinggal di daerah perantauannya yang tidak memiliki KTP, atau masa berlaku KTP yang dimilikinya telah berakhir. 

Tentu untuk mengurusnya kembali kekampung halaman, akan memakan waktu yang cukup lama dan memakan biaya yang tidak sedikit. Sementara untuk mengurusnya di daerah perantauannya dia tidak terdaftar sebagai penduduk.

Bagaimana pula dengan para tunawisma atau gelandang, pengemis yang tidak memiliki tempat tinggal permanen, hidup mereka di rumah-rumah kardus, emperan toko dan kolong jembatan, apakah mereka ini bukan warga dan bangsa Indonesia yang memiliki kebersamaan dalam hukum?

Jika melihat dari adanya tenggang waktu yang diberikan oleh pihak Kemendagri, maka bakal banyak bangsa Indonesia yang akan menjadi bangsa ilegal di negerinya sendiri. Tentu hal ini sungguh memilukan.

Sengkarut 

Sejak pertama kali di munculkan pembuatan eKTP Nasional pada tahun 2011, sudah diduga akan banyak menimbulkan persoalan. Banyak kalangan menilai kalau eKTP Nasional adalah proyek yang dananya rentan untuk dikorupsi. 

Walaupun Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi waktu itu telah membangga-banggakan kalau pencetakan eKTP Nasional, adalah tanda kependudukan yang mutakhir. Masyarakat didata hanya untuk satu kali dalam seumur hidup. Dan masa berlaku eKTP Nasional itupun di gembar gemborkan berlaku untuk seumur hidup pula.

Masyarakat pun meluangkan waktunya beramai ramai untuk memberikan data diri dan berfoto secara elektronik ke kantor camat di mana masyarakat itu tinggal. Setelah masyarakat memberikan data diri dan berfoto, maka masyarakat menunggu pengeluaran eKTP Nasional itu, yang katanya di cetak di Jakarta dan disalurkan secara bersamaan di seluruh Indonesia. 

Akan tetapi alangkah kagetnya masyarakat, begitu eKTP Nasional diberikan kepada masing-masing masyarakat yang telah memberikan data diri dan fotonya. Ternyata eKTP Nasional itu tidak ada bedanya dengan KTP yang di keluarkan oleh masing masing daerah Kota dan Kabupaten secara manual.

e-KTP Nasional tersebut, yang dikatakan untuk seumur hidup ternyata punya jangka waktu tertentu, yaitu lima tahun. Setelah lima tahun masyarakat diwajibkan kembali untuk membuat e-KTP. Hanya saja bentuk dan persyaratan nyayang mungkin berbeda. Karena kebiasaan di negeri yang subur korupsi ini setiap berganti pimpinan, maka akan berganti pula kebijaksanaan.

Pengurusan eKTP Nasional, memang tidak di kutip biaya pembuatannya. Pemerintah menggratiskan pembuatan eKTP Nasional, karena dana untuk pembuatan eKTP Nasional itu di tanggung oleh negara melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Besar dananya pun bukan main mencapai Rp 6 triliun.

Persoalan masa berlaku eKTP Nasional yang hanya untuk masa lima tahun itu, sempat menjadi persoalan di tengah masyarakat. Namun persoalan itu akhirnya hilang begitu saja, sekali pun bahwa pemerintah telah melakukan pembohongan publik terhadap rakyatnya. Alih alih muncul persoalan baru. eKTP Nasional yang telah di nyatakan sebagai tanda pengenal diri yang mutakhir, ternyata punya kelemahan. 

eKTP Nasional itu ternyata tidak bisa di fotocopy secara berulang ulang. Karena katanya bisa menghilangkan data yang telah terekam di dalam lembaran eKTP Nasional. Inikah yang di namakan mutakhir?

Data yang terekam bisa hilang jika eKTP itu di fotocopy secara berulang ulang membuktikan bahwa eKTP Nasional berarti memiliki kelemahan. Bagaimana nantinya masyarakat menggunakan KTP nya untuk suatu urusan jika tidak difotocopy. 

Berarti eKTP Nasional yang di katakan sebagai tanda bukti kependudukan yang mutakhir, hanya omong kosong. e-KTP Nasional tak obahnya barang rongsokan yang hanya bisa di gunakan dalam batas waktu tertentu.

Sedangkan KTP yang di keluarkan oleh masing masing daerah kota dan kabupaten secara manual itu dapat untuk di fotocopy seribu kali, data diri dari si pemegang KTP itu tidak akan hilang atau hangus akibat sinar laser yang ada dimesin fotocopy. 

Kendatipun masyarakat harus merogoh kocek nya untuk membayar pembuatan KTP yang di keluarkan oleh masing masing daerah kota dan kabupaten secara bervariasi.

Walaupun eKTP Nasional tidak sesuai dengan apa yang telah di katakan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, namun pemrintah seperti tidak mempunyai persoalan dalam kelemahan-kelemahan yang ada di dalam eKTP Nasional. Kementerian Dalam Negeri terus melakukan himbauan melalui intruksinya kepada Kepala Daerah Kota dan Kabupaten agar pendataan eKTP Nasional terus dilakukan.

Malah Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan ultimatum pula dengan memberikan batas sampai 30 Sepetember 2016. Artinya di luar batas yang telah ditentukan, masyarakat yang belum memdaftarkan dirinya untuk mendapatkan eKTP,akan dianggap sebagai penduduk ilegal di Indonesia, sekalipun bahwa nenek moyangnya adalah bangsa Indonesia.

Ajang Korupsi

Ternyata apa yang diduga bawa proyek eKTP Nasional adalah sebagai proyek ajang korupsi, sudah menjadi kenyataan setelah pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu yang lalu Ketika dipimpin oleh Abraham Samad menemukan adanya indikasi korupsi itu. 

Malah KPK telah menetapkan Sugiharto Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri  waktu itu sebagai tersangka.

Sebelum kasus korupsi dalam pembuatan eKTP Nasional ini terkuak, jauh hari sebelumnya Muhammad Nazaruddin Mantan Bendaharaw Partai Demokrat, yang juga Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat yang terlibat kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlit Palembang, dan Pembangunan Komplek Olahraga Hambalang telah menyanyikan tembang korupsi eKTP Nasional. 

Nazar mengatakan waktu itu kalau pembuatan eKTP Nasional yang berbiaya sekitar Rp 6 Triliun itu adalah proyek yang di dalamnya telah terjadi korupsi.

Dugaan korupsi yang di sinyalir oleh pihak KPK dalam Proyek pembuatan e-KTP Nasional itu negara mengalami kerugian sekitar Rp 1,12 Triliun, suatu jumlah yang cukup besar. 

Walaupun KPK telah menyatakan adanya indikasi korupsi dalam pembuatan e-KTP Nasional itu, lagi lagi Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauziwaktu itu mengatakan, dalam proyek pembuatan e-KTP Nasional itu tidak ada masalah. Berdasarkan hasil audit yang di lakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kata Gumawan tidak di temukan adanya kerugian Negara di sana.

Sementara menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto waktu itu mengungkapkan, salah satu bentuk penyelewengan yang ditemukan adalah penggunaan teknologi kartu e-KTP Nasional. Teknologi itu tidak sesuai dengan proposal yang diajukan. Ada penurunan kualitas kartu yang digunakan untuk e-KTP Nasional dan tidak sesuai dengan proposal.

Teknologi yang di pakai sesuai proposal adalah iris technology, mata, tetapi kemudian yang banyak dilakukan selama ini menggunakan finger (jari). Dengan demikian, ada ketidaksesuaian antara teknologi kartu dan teknologi pada perangkat pembaca e-KTP Nasional. 

Menurut Bambang, perangkat pembaca e-KTP Nasional menggunakan teknologi iris. Tapi hasil yang beredar kemasyarakat bukan teknologi Iris, tapi melainkan finger.

Ucapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sungguh bertolakbelakang dengan apa yang di katakan oleh Menteri Dalam Negeri Fauzi Gumawan pada waktu itu yang mengatakan bahwa tidak di temukan adanya kerugian Negara dalamproyek pembuatan  e-KTP Nasional itu. 

Kalau memang tidak di temui adanya kerugian negara dalam proyek pembuatan eKTP Nasional tersebut, bagaimana mungkin KPK menetapkan Sugiharto Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri waktu itu sebagai tersangka. 

Harapan Pada Pemerintah 

Yang jelas sebagai proyek dengan dana pagu sekitar Rp 6 Triliun itu, pembuatan e-KTP Nasional ini tidak saja di kerjakan oleh satu konsersium. Tapi melainkan di kerjakan oleh lima konsersium dari perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta. 

Di antaranya PT PNRI, PT Sucofindo,PT LEN Industri, PT Quadra Solution dan PT Sandipala Artha Putra. Bahkan sebelumnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan bahwa Konsersium PT PNRI terbukti melakukan persekongkolan dalam tender e-KTP Nasional. 

Walaupun PT PNRI mengajukan banding atas putusan KPPU tersebut, akan tetapi hasil dari putusan banding tersebut tidak pernah di ketahui oleh masyrakat.

Memang sudah menjadi suatu kelaziman, di negeri dengan julukan Ratna Mutu Manikam, Gemah Ripah Lohjenawi, Tata Tentram Tata Raharja, setiap ada Proyek di sana ada bagi bagi rezeki. Bukan tidak mungkin pula bagi-bagi rezeki di proyek pembuatan e-KTP Nasional ini, akan melibatkan banyak pihak termasuk anggota DPR RI dan menteri Dalam Negeri.

Akhirnya e-KTP Nasional itu menuai masalah seperti apa yangpernah di ucapkan oleh Muhammad Nazaruddin, bahwa dana Rp 6 Triliyun untuk pencetakan e-KTP Nasional, telah di bawa di Panitia Anggaran di DPR RI, untuk dimasukkan ke dalam (APBN) tahun 2011-2012. 

Maka tidak tertutup kemungkinan jika bagi bagi rezeki di proyek pembuatan e-KTP Nasional ini melibatkan Anggota DPR RI. Siapa saja gerangan yang terlibat dalam kasus korupsi proyek pembuatan e-KTP Nasional ini? Sampai saat ini pihak KPK yang telah berganti pimpinan belum mengungkap hal ini.

Terlepas dari semua ini, agar persoalan sengkarut masalah eKTP tidak menjadi berlarut larut, ada baiknya pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri untuk mencabut ultimatum itu, dan memberikan kebebasan kepada rakyat Indonesia, kapan dia mau mengurus  eKTP nya bukan hanya menakut nakutinya.

Kemudian pemerintah juga harus melakukan jemput bola untuk mendata masyarakat yang belum memiliki eKTP tanpa terkecuali, baik para perantau, tuna wisma, gelandangan dan pengemis d imana pun dia berada. 

Jika tidakmemiliki eKTP pemerintah wajib untuk membuatkan eKTP mereka, tanpa harus mereka menmbuat eKTP didaerah asalnya. Karena bagaimana pun dengan sistim eKTP online, kecil kemungkinan akan terjadi eKTP ganda pada setiap orang. Jika memang sistim e-KTP Nasional yang digembar-gemborkan sebagai keterangan jati diri dengan sistim elektronik yang mutakhir. Semoga!

 Tanjungbalai, 4 Sepetember 2016

 Sudah diterbitkan di Hr Analisa Medan                                                                      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun