Sengkarut tentang persoalan eKTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) Nasional nampaknya masih menyisakan masalah yang panjang, setelah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Arif Zudan Fakrulloh telah mewanti-wanti kepada seluruh rakyat Indonesia agar segera membuat KTP elektronik atau e-KTP. Sebab jika sampai batas yang telah ditentukan, yakni 30 September 2016, maka warga yang belum memiliki eKTPÂ tidak akan mendapatkan pelayanan publik.
Wanti wanti yang disampaikan oleh Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri ini layaknya seperti ultimatum bagi rakyat Indonesia, tentu dalam hal ini membuat keresahan bagi rakyat Indonesia, terutama bagi masyarakat awam yang tidak mengerti dengan betapa pentingnya sebuah data diri yang tertuang dalam eKTP.
Seperti isi dari ultimatum yang disampaikan oleh pihak Kemendagri ada sekitar sepuluh poin pelayanan publik yang tidak akan dapat dilakukan atau diterima oleh masyarakat Indomesia apabila batas waktu perekaman terhadap eKTP 30 September 2016 tidak diselesaikan.
Sepuluh poin tersebut terdiri dari pelayanan pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), kemudian tidak dilayani dalam pembelian motor dan mobil, tidak dilayani untuk membeli tiket kereta api, kapal dan pesawat terbang, tidak dapat melakukan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Pencatatan Sipil, tidak dapat menggunakan BPJS, tidak dapat untuk membuat paspor, tidak dapat menggunakanhak suara dalam pemilu, tidak dapat membuat rekening Bank, tidak dilayani dalam pengurusan berkas kepolisian dan tidak memiliki identitas yang legal. Karena untuk mendapatkan dan mengurus semua ini harus melampirkan Idientitas diri yang bernama KTP.
Lantas dalam konteks ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana dengan masyarakat awam yang tidak mengerti akan hal ini. Belum lagi bagi masyarakat perantau yang menetap dan tinggal di daerah perantauannya yang tidak memiliki KTP, atau masa berlaku KTP yang dimilikinya telah berakhir.Â
Tentu untuk mengurusnya kembali kekampung halaman, akan memakan waktu yang cukup lama dan memakan biaya yang tidak sedikit. Sementara untuk mengurusnya di daerah perantauannya dia tidak terdaftar sebagai penduduk.
Bagaimana pula dengan para tunawisma atau gelandang, pengemis yang tidak memiliki tempat tinggal permanen, hidup mereka di rumah-rumah kardus, emperan toko dan kolong jembatan, apakah mereka ini bukan warga dan bangsa Indonesia yang memiliki kebersamaan dalam hukum?
Jika melihat dari adanya tenggang waktu yang diberikan oleh pihak Kemendagri, maka bakal banyak bangsa Indonesia yang akan menjadi bangsa ilegal di negerinya sendiri. Tentu hal ini sungguh memilukan.
SengkarutÂ
Sejak pertama kali di munculkan pembuatan eKTP Nasional pada tahun 2011, sudah diduga akan banyak menimbulkan persoalan. Banyak kalangan menilai kalau eKTP Nasional adalah proyek yang dananya rentan untuk dikorupsi.Â
Walaupun Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi waktu itu telah membangga-banggakan kalau pencetakan eKTP Nasional, adalah tanda kependudukan yang mutakhir. Masyarakat didata hanya untuk satu kali dalam seumur hidup. Dan masa berlaku eKTP Nasional itupun di gembar gemborkan berlaku untuk seumur hidup pula.