Mohon tunggu...
Wisnu  AJ
Wisnu AJ Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hidup tak selamanya berjalan mulus,tapi ada kalanya penuh dengan krikil keliril tajam

Hidup Tidak Selamanya Seperti Air Dalam Bejana, Tenang Tidak Bergelombang, Tapi Ada kalanya Hidup seperti Air dilautan, yang penuh dengan riak dan gelombang.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Senandung Cinta dari Selat Melaka "52" [TMN 100 H]

5 Mei 2016   13:02 Diperbarui: 5 Mei 2016   13:12 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

selat melaka/sumber fhoto/hr.mdn bisnis

Sebelumnya :

Azis melihat lima orang siswa yang berseragam sekolah yang basah karena disiram hujan memasuki ruangan warung bakso itu. Salah satu diantara kelimanya dikenal Azis. Orang itu adalah Rudi. Azis diam saja, dia tidak memberi tahukan kepada Meilan kalau yang masuk itu adalah Rudi dan teman temannya. Sementara diluar hujan telah mulai reda, satu dua pengunjung yang ada didalam warung itu ada juga yang keluar meninggalkan warung. Azis dan Meilan masih tetap berada didalam warung itu

Kemudian :

Setelah menghabiskan sisa makanannya, Azis membayar pesanan yang telah mereka makan, lalu dia mengajak Meilan untuk pulang. Walaupun mereka berpapasan dengan Rudi, Azis tetap diam saja, sementara Rudi menatapnya dengan bengisnya.

Jam Sembilan malam Azis baru sampai digudang, dia melihat wak Alang telah menunggunya. Tidak sedikitpun tampak diwajah orang tua itu bias kemarahan melihat Azis baru pulang. Malah dia tersenyum melihat Azis yang datang naik sepeda motor,

 “ Dimana sepedamu Zis?, tampak gagah betul kau menunggang kuda besini”, kata Wak Alang bertanya kepada Azis.

 “ Aku tadi wak membawa pacarku jalan jalan, sepeda motor ni dipinjamkan kawanku sama aku wak. Tidak marah uwakkan kalau aku pulang jam segini?”. Sahut Azis menjawab pertanyaan wak Alang.

 “ Kenapa pula lah uwak marah, uwakpun biasa mudanya Zis”, Canda wak alang membuat Azis merasa senang karena uwak Alang tidak marah kepadanya.

“ ini wak, kubelikan tadi uwak bakso, makan uwaklah dulu”. Ujar Azis lalu memberikan sebungkus bakso kepada uwak Alang.

“ Bukan sogokan ini kan Zis?”. Tanya wak Alang, diapun mengambil bakso yang diberikan oleh Azis.

 “ Sogokan apa wak?”, Azis melihat wajah wak Alang, dia tidak mengerti maksud wak Alang dengan mengatakan sogokan.

 “ Biar jangan kumarahi kau, kau belikan uwak bakso?”. Jawab wak Alang dengan tertawa,

“ Ah…tidaklah wak, betul betul teringat aku sama uwak”. Wak Alang melihat wajah Azis betul betul serius mengucapkan kata kata itu.

“ Terimaksaihlah Zis, tapi aku mau minta tolong sama kau, itupun kalau kau mau menolong?”.

 “ Apa itu wak?”, Tanya Azis.

“ Begini nya Zis, uwak perempuan kau sakit, jadi kalau kau mau menolong uwak, kau sajalah malamni menjaga gudang, uwak mau mengawani uwak kau berobat kampung”. Kata wak Alang, dia menatap kearah wajah Azis.

“ Tidak apa apalah wak, biarlah sendirian ku menjaga gudang, uwak pulanglah. Sakit apa uwak tu wak?”. Jawab Azis. sedikitpun Azis  tidak merasa keberatan atas apa yang dikatakan oleh uwak alang.

“ Uwakpun belum tahu apa penyakit uwak kau tu, itulah yang ondak uwak tengokkan samo orang pintar. Tapi kalau bertanya tokehtu sama kau, bilang uwaktu sudah pulang jam lima subuh tadi, bilangkan jugo isteri uwak sakit”.

“ Iya wak, besok kusampekan sama tokehtu”. Jawab Azis. Wak Alangpun meninggalkan Azis. Setelah kepergian wak, Alang Azis lalu mandi dan kemudian berganti pakaian.  Setelah itu dia duduk di pondok tempat biasa dia dan wak Alang duduk jika menjaga gudang.

Malam semakin larut. Desiran ombak Selat Melaka menghempas pantai, bagaikan nyanyian merdu ditelinga Azis. Angin Selat Melaka bertiup dengan lembutnya. Dilangit bulan yang tinggal sepotong memancarkan cahayanya yang temaram. Dikejauahan ditengah luasnya samudra yang tidak bertepi, tampak warna warni lampu kapal yang sedang melintas. Entah kenapa tiba tiba dia terbayang dengan wajah Apek Tonghi, penjaga Kelenteng tua di Sinaboi, yang mengajarkan ilmu silat kepadanya.

Khayalannyapun melambung jauh kekampung halamannya di Sinaboi. Dia teringat waktu pertama kali dia bertemu dengan Apek Tonghi, lelaki tua yang usianya hampir seratus tahun, hidup sebatang kara dikelenteng tua itu. Dia adalah seorang perantau yang datang dari Tiongkok bersama isterinya. Dia terdampar di Sinaboi dengan isterinya sudah puluhan tahun yang lalu.

Dialah orang pertama yang datang ke Sinaboi, dan kemudian dia mendirikan kelenteng kecil di pinggiran pantai Selat Melaka di Sinaboi. Hidupnya di Sinaboi adalah sebagai nelayan, dan tiga orang anaknya lahir dikelenteng itu. Isterinya sudah lama meninggal, sedangkan tiga orang anaknya hidup diperantauan diluar negeri. Apek Tonghi, tidak mau ikut dengan anaknya, dia lebih suka hidup menyendiri didalam kelenteng tua itu. Tapi setiap bulan ketiga orang anaknya yang telah masing masing berkeluarga mengirimi dia uang untuk kepeluan makan dan belanjanya sehari hari.

Suatu sore, Azis yang sering bermain main didepan kelenteng memergoki Apek Tonghi sedang berlatih silat, dibelakang kelenteng. Usia Azis waktu itu baru Sembilan tahun, diapun baru duduk disekolah dasar kelas tiga. Melihat kegesitan Apek Tonghi memainkan jurus jurus silatnya, timbul keiinginan dihati Azis untuk belajar silat dengan Apek Tonghi.

“ Apek, aku ingin seperti Apek, tolong ajari aku bermain silat Pek?”. Kata Azis kepada Apek Tonghi setelah ia selesai berlatih.

“ Buat apa loe belajar silat, anak anak tidak boleh belajar silat”. Jawab Apek Tonghi, dia kenal betul dengan Azis, karena setiap sore Azis sering bermain main dihalaman kelenteng itu. Dan Azis sering pula membantu Apek Tonghi, untuk membersihkan kelenteng. Azis tidak mengetahui persoalan persoalan agama, karena dia masih kecil.

 “ Kenapa anak anak tidak boleh Pek?”. Tanya Azis, dia tidak mengerti kenapa anak anak seusia dia tidak boleh belajar silat. Sementara dia pernah melihat tayangan tv, anak anak seusia dia sedang bejar silat.

“ Nanti loe suka buat ribut, suka bergaduh, buat orang tua jadi susah?”.

 “ Tidaklah Pek, aku hanya untuk bela diri?”, kata Azis.

“ Loe ada musuh maka loe mau bela diri? Orang yang punya banyak musuh itu orangnya tidak baik, itu orang jahat”.

“ Bukanlah Pek, hanya buat jaga diri, kalau yang ada ganggu ua”. Jawab Azis tidak mau kalah, dia merayu rayu Apek Tonghi, agar dia diajari silat. Namun Apek Tonghi tetap tidak mau mengajarinya. Sejak itu pula Azis tidak pernah putus asa untuk merayu Apek Tonghi, kadang dia datang dengan membawa makanan yang dimasak oleh ibunya, dan terkadang pula dia datang ketika dilihatnya Apek Tonghi sedang tidur tiduran dibangku kelenteng. Diapun mengusuk Apek Tonghi sambil merengek rengek agar dia di ajari bermain silat. Melihat kesungguhan Azis untuk bermain silat ini, akhirnya luluh juga hati Apek Tonghi melihatnya. Kemudian kata Apek Tonghi kepadanya.

 “ Azis. Ua mau mengajari loe latihan silat, tapi loe mau berjanji dulu dengan ua?”.

“ Apa janjinya pek?”. Azis bangkit dari duduknya. Dia berdiri dengan sigap didepan Apek Tonghi.

 “ Pertama loe harus berjanji, bahwa loe tidak kasi tahu kepada orang lain kalau loe ua ajari main silat. Yang kedua loe harus berjanji, bahwa ilmu silat yang ua ajarkan buat loe, bukan untuk disombongkan, atau kasi pamer dengan orang ramai, biar loe dianggap hebat. Yang ketiga loe harus dapat bersikap sabar, walaupun loe disakiti. Yang keempat, loe tidak boleh menyakiti orang dengan ilmu silat yang ua ajarkan. Terkecuali jika loe memang benar benar terdesak, sehingga loe tidak punya pilihan lain untuk membela diri. Apa loe sanggup untuk memegang ua punya janji. Kalau loe tidak sanggup, maka ua pun tidak mau ajari loe main silat”. Ujar Apek Tonghi.

Azis memanglah anak yang cerdik. Dia berpikir bahwa yang penting baginya mengiyakan apa yang disampaikan oleh Apek Tonghi, dengan begitu dia bisa belajar silat. Mengenai apakah dia akan menepati janjinya itu urusan belakang, yang penting belajar dahulu.

“ Aku mau pek, aku berjanji pek akan mematuhi janji yang apek katakana tadi?”. Jawab Azis dengan wajah yang ceria.

“ Kalau loe mau, loe harus mengucaokan sumpah sesuai dengan agama loe?”. Ujar Apek Tonghi.

“ Aku tidak tahu mengucapkannya Pek?”, jawab Azis

 “ Loe ikut apa yang ua ucapkan?”, kata Apek Tonghi, Azispun mengangukkan kepalanya tanda setuju. Satu persatu apa yang dikatakan oleh Apek Tonghi tadi kepadanya, diulang Apek Tonghi kembali dan kemudian diikuti oleh Azis.

Sejak itulah, Azis mulai berlatih silat dengan Apek Tonghi. Setiap pulang mengaji pada malam hari, dia datang kekelenteng itu secara mengendap endap. Terkadang juga dia datang pada sore hari. Kalau hari libur dia datang ke kelenteng pada pagi hari. Sampai dia menamatkan sekolah SMP nya, tidak seorangpun yang mengetahui kalau Azis belajar silat kepada Apek Tonghi, termasuk keluarganya sendiri. Dan tidak seorangpun di Sinaboi itu yang tahu kalau Apek Tonghi memiliki ilmu silat yang tinggi.

Karena Azis pandai mengambil hati Apek Tonghi, dan selalu bersikap hormat kepadanya, membuat Apek Tonghi sayang kepada Azis. Apek tonghi tidak saja mengajarkan ilmu silat kepadanya, tapi juga mengajarkan ilmu tenaga dalam, kemudian ilmu terhadap kekebalan tubuh, juga ilmu untuk meringankan tubuh, dengan cara bersemedi.

Dan segala apa yang diajarkan oleh Apek Tonghi, sampai saat ini tetap dilatihnya setiap hari secara diam diam. Walaupun dia sudah bersekolah di kota Bagan Siapi Api, akan tetapi setiap dia pulang kekampungnya di Sinaboi dia tetap mendatangi gurunya itu, dan gurunya itupun sering mengingatkannya, dan memberi petuah petuah kepada Azis untuk menjalani kehidupan ini.

Bersambung…….

Bagan Siapi Api 2016

Tulisan ini diikut sertakan dalam Tantangan  100 Hari Menulis Novel – Fiksianacommunity di Kompasiana

“ Cerita yang di kemas dalam bentuk Nopel ini adalah merupakan cerita fiksi belaka, jika ada nama dan tempat serta kejadian yang sama atau mirip terulas dalam nopel ini hanyalah secara kebetulan saja. Tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya “ (Penulis)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun