Hai teman-teman pembaca kompasiana saya Wisnu Nugroho Pamungkas mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan akan membagikan pengalaman saya menonoton film social dilema yang sedang ramain diperbicankan.
Film The Social Dilemma adalah sebuah film dokumenter yang bercerita perihal pentingnya sosial media dan membeberkan sisi gelap teknologi internet, ditenagai oleh algoritme hingga selanjutnya mempunyai terhadap sebuah ke-dilema-an. Film ini mengulas sebagian hal yang mengerikan sebagai pengaruh dari penggunaan sosial media, mulai dari pengawasan secara diam-diam terhadap aktivitas penggunanya dan juga perekaman dengan hati-hati hingga memanipulasi penampilan feed supaya individu tak dapat lepas dari media sosial.
Film yang disutradarai oleh Jeff Orlowski ini beri tambahan kesadaran di dalam memanfaatkan sosial media untuk jadi pengguna yang cerdas. The Social Dilemma membongkar pengaruh negatif dari media sosial, diantaranya jalinan pada individu yang jadi alami penurunan sebab lebih nyaman dengan ponselnya, pengaruhnya kebugaran mental, beredarnya Info yang tidak cukup valid hingga hal-hal yang tentang dengan kepentingan negara.
Di sisi lain, The Social Dilemma termasuk menyoroti sejumlah pengaruh positif yang diberikan media sosial bagi penggunanya. Berkat Kedatangan media sosial, kini Info apa saja dapat benar-benar enteng didapatkan dan dapat terkoneksi secara cepat dengan siapa saja.
Menariknya, film dokumenter ini menampilkan wawancara dengan berbagai sosok di balik layar keberhasilan media sosial ternama seperti Google, Firefox, Mozila Labs, Facebook, Twitter, Instagram, dan platform media sosial lainnya. Tak cuma itu, film ini termasuk beri tambahan cuplikan sebagian ilustrasi adegan. Hal ini pastinya mempermudah penonton untuk jadi menyadari pesan yang disampaikan di dalam film tersebut. Namun ironinya tanpa disadari, film ini menjadikan ketakutan banyak pihak dengan pengaruh berkepanjangan yang akan terjadi di lantas hari.
The Social Dilemma meraih penghargaan "Impact Film Award" di ajang Boulder International Film Festival th. 2020. Secara keseluruhan, film rilisan September 2020 ini benar-benar menarik sebab berhasil mengemukakan kepada para penontonnya perihal teknologi digital yang tenar kami memanfaatkan di jaman modern. Ternyata tiap-tiap tindakan yang kami lakukan di media sosial, dipantaunya hingga dapat memprediksinya. Di samping itu, The Social Dilemma jadi sebuah pengingat bagi kami perihal penggunaan media sosial benar-benar berpengaruh terhadap kemanusiaan. Rating 8/10 sebab benar-benar direkomendasi untuk para pengagum film dokumenter.
Beberapa efek negatif yang udah kami saksikan di antaranya jalinan nyata antar individu yang tambah menurun, berita bohong, polarisasi antar golongan manusia, hingga keperluan negara. Dalam dokumenter ini, ada lebih dari satu wawancara berasal dari narasumber yang mendesain fasilitas sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lain-lain. Mereka yang dahulu menciptakan, kini justru cemas bakal efek yang terjadi. "Belum pernah didalam sejarah, 50 desainer mengakibatkan keputusan yang bakal berdampak terhadap dua miliar orang," kata Tristan Harris, mantan ahli etika desain di Google.
"The Social Dilemma" membongkar dampak-dampak negatif berasal dari fasilitas sosial, diantaranya beredarnya informasi bohong / hoax, jalinan pada individu yang tambah menurun, bagaimana iklan di internet bekerja dan berdampak, efek kesehatan mental manusia, hingga hal-hal yang berhubungan bersama dengan politik hingga keperluan negara.
Menariknya, didalam dokumenter ini, terdapat lebih dari satu wawancara bersama dengan orang-orang di balik layar Facebook, Twitter, Instagram dan juga platform fasilitas sosial lainnya. Ironisnya, mereka yang pernah bekerja untuk "menciptakan" platform fasilitas sosial ini, kini menjadi cemas bersama dengan efek berkesinambungan yang bakal terjadi. Tanpa disadari, satu platform sanggup mempunyai efek yang besar bagi 2 milyar umat manusia.
Tidak cuma memuat cuplikan wawancara, film ini juga beri tambahan lebih dari satu ilustrasi adegan. Hal ini mempermudah pemirsa untuk tambah mengetahui pesan yang mendambakan disampaikan melalui film ini.
seperti contohnya efek samping fasilitas sosial terhadap kesehatan mental, penyebaran berita bohong, hingga polarisasi politik. Di segi lain, The Social Dilemma juga menyoroti sejumlah efek positif yang diberikan fasilitas sosial terhadap penggunanya. Berkat kehadiran fasilitas sosial, informasi sangat gampang didapatkan dan individu sanggup membuka bersama dengan siapa saja.
Mari kami menjadi bersama dengan Facebook di Myanmar.
Facebook di Myanmar
Masih ingat bagaimana pembersihan etnis Muslim Rohingnya yang begitu mengerikan itu?. Pembunuhan dan pemerkosaan massal, serta pembakaran seluruh daerah tinggal yang mengakibatkan terusirnya kurang lebih 700 ribu umat Muslim Rohingnya, ternyata tidak sanggup dilepaskan bersama dengan bagaimana informasi berkembang dan dikelola di negara itu.
Dalam film dokumenter The Social Dilemma, diceritakan bagaimana masyarakat Myanmar sangat dekat bersama dengan Facebook hingga Facebook menjadi sinonim berasal dari kebenaran yang berkunjung berasal dari internet. Â
"Di Myanmar, sementara orang memikirkan fasilitas massa, memikirkan internet, yang terpikir adalah Facebook," kata Chyntia M. Wong, mantan Peneliti Internet Senior di Lembaga HAM didalam film tersebut.
Setiap orang yang membeli ponsel, penjual bakal memasangkan aplikasi Facebook sekaligus membuatkan akun di ponsel barunya. Sehingga, perihal pertama yang dilaksanakan oleh mereka bersama dengan ponsel barunya adalah membuka Facebook.
ADVERTISEMENT
Hal itu dimanfaatkan pemerintahan junta militer Myanmar, bersama dengan menjadikan fasilitas sosial, khususnya Facebook sebagai senjata untuk melakukan narasi-narasi propaganda. Militer dan pelaku kejahatan lainnya memanipulasi opini publik terhadap kaum Muslim Rohingnya hingga Facebook kewalahan menanggulangi maraknya berita bohong dan ujaran kebencian di Myanmar.
Fitur yang dimiliki oleh Facebook sangat mungkin pelaku propaganda tambah gampang untuk menyebarkan narasi manipulatif. Akibatnya, jurang polarisasi di sedang masyarakat menjadi tambah lebar dan dalam.
Narasi kebencian terhadap umat Muslim Rohingnya begitu gampang disebarkan, supaya mengakibatkan kemarahan pihak-pihak tertentu terhadap umat Muslim Rohingnya. Maka, seluruh kejahatan yang dilaksanakan terhadap mereka diakui wajar, bahkan sebetulnya selayaknya seperti itu.
"Jika kami mendambakan mengendalikan populasi negaramu, tak pernah ada alat yang seefektif Facebook," kata Roger McNamee, Early Investor Venture Capitalist Facebook.
Tapi ini bukan cuma berkenaan Facebook. Ini adalah berkenaan bagaimana algoritma fasilitas sosial bekerja, merayu dan mengeksploitasi manusia, hingga bermuara terhadap hancurnya kehidupan manusia.
Jika Kau tak Membayar, Berarti Kaulah Produknya
Tidak sanggup dipungkiri, sosial fasilitas udah beri tambahan banyak kemudahan untuk kami sementara ini. Salah satunya adalah sanggup mengakibatkan kami membuka dan seolah menjadi sangat dekat bersama dengan saudara, sahabat, atau teman lama, yang ada di belahan dunia lain. Kita juga tidak sanggup menampik fakta bahwa fasilitas sosial udah menciptakan sebuah keindahan yang mengagumkan berasal dari relasi yang dimungkinkan oleh internet.
Tapi di segi lain, fasilitas sosial turut berkontribusi besar didalam persoalan pencurian data, kecanduan teknologi, berita palsu, juga polarisasi di sedang masyarakat.
Sebagian besar orang mungkin berpikir bahwa Google hanya sebuah mesin pencarian, sementara Facebook, Instagram, Twitter, dan fasilitas sosial lainnya, sekadar daerah untuk menyaksikan kabar terbaru teman-temannya.
Yang jarang disadari, perusahaan dan platform-platform tersebut selalu berlomba-lomba menarik perhatian pengguna. Mereka berlomba-lomba bagaimana supaya manusia sanggup terpaku berjam-jam di depan layar sembari menggunakan platform mereka.
Banyak fasilitas di internet yang seolah gratis, tetapi sebetulnya tidak. Semua itu dibayar oleh pengiklan. Untuk apa pengiklan membayar fasilitas tersebut? Supaya iklan mereka sanggup ditampilkan ke kami melalui fasilitas tersebut. Sederhananya, perusahaan teknologi, didalam perihal ini fasilitas sosial, menjual perhatian penggunanya kepada pengiklan. Perhatian kami adalah produk yang dijual kepada pengiklan.
"Jika kau tidak membayar produknya, artinya kaulah produknya," kata Aza Raskin, Co-Founder Center for Humane Technology yang juga pernah bekerja di Firefox & Mozilla Labs.
Perubahan perlahan, kecil, dan tidak keluar didalam persepsi dan tingkah laku kita, adalah produk yang dijual oleh perusahaan teknologi kepada pengiklan. Karena itu, mereka bakal berlomba-lomba untuk membuat perubahan perilaku, langkah pikir, dan jati diri kami bersama dengan sangat perlahan dan kecil supaya tidak pernah kami sadari. Dan seluruh kegiatan kami di internet bakal direkam, menjadi sebuah information yang berharga bagi bisnis mereka untuk pilih prediksi bisnis yang tepat.
Memahami Algoritma Media Sosial Bekerja
Semua kegiatan yang kami melakukan di internet bakal diawasi, direkam, dan diukur. Setiap tindakan yang kami melakukan direkam dan dipantau bersama dengan hati-hati. Misalnya gambar yang kami menyaksikan dan berapa lama kami melihatnya, konten seperti apa yang sering kami sukai, komentari, juga bagikan.
Dari seluruh itu, perusahaan teknologi bakal mengetahui kapan kami sedang senang, sedih, kesepian, depresi, bahkan mengetahui ketika kami sedang menyaksikan foto mantan. Mereka mengetahui apa yang kami melakukan sementara larut malam, mereka mengetahui semuanya, entah kami seorang ekstrovert maupun introvert.
Mereka mengetahui lebih banyak berkenaan kita, ketimbang yang pernah dibayangkan didalam sejarah manusia. Data-data itu bakal digunakan untuk memprediksi konten seperti apa yang bakal direkomendasikan ke kita, supaya kami tambah betah menatap layar ponsel untuk tingkatkan pundi-pundi duwit mereka.
"Jadi, seluruh information yang kami memberikan tiap-tiap saat, dimasukkan ke proses yang hampir tak diawasi manusia, yang terus mengakibatkan prediksi yang tambah membaik berkenaan apa yang kami melakukan dan siapa kita," kata Sandy Parakilas, mantan Manajer Operasi Facebook.
Semua information yang diberikan bakal digunakan untuk mengakibatkan jenis diri kami yang sanggup memprediksi tindakan kita. Dan siapapun yang mempunyai jenis terbaik, maka dia bakal memenangkan persaingan.
Di balik layar yang tiap-tiap hari kami gulir, mereka mempunyai semacam boneka voodoo yang menyerupai diri kita. Semua yang pernah kami lakukan, seluruh klik yang kami buat, seluruh video yang kami tonton, seluruh tombol like, semuanya bakal diolah menjadi boneka voodoo yang terus berkembang hingga terus mendekati diri kita.
Mereka bakal mengetahui ketika durasi kami didalam menggunakan fasilitas sosial lebih pendek berasal dari biasanya. Dan itu kabar jelek bagi mereka, karena bakal mengakibatkan iklan yang kami menyaksikan menjadi tambah sedikit.
Maka mereka bakal menyarankan hal-hal menarik cocok bersama dengan jenis diri kami yang mereka punya. Aktivitas teman atau keluarga kita, apa yang sedang dilaksanakan oleh orang yang kami suka, atau jenis video-video yang sering kami tonton. Dan, ponsel kami bakal bergetar, layarnya bakal menyala, menampilkan notifikasi berkenaan suatu hal yang mereka rekomendasikan.
Media sosial yang mirip mesin interaksi yang tidak cuma menyudahi dalam tombol klik buat menghasilkan interaksi sosial serta memicu hormon dopamin serta kegembiraan.
Di sisi lain media sosial tidak menciptakan metode buat mendefinisikan suatu kebenaran, mesin itu siap memuntahkan data apapun ke publik.
Tetapi pada sisi yang lain kenyataannya mesin itu pula mempunyai keahlian buat menjangkau kepribadian individu para pemilik akun.
Kala kamu mengklik pertandingan sepakbola pada salah satu kanal youtube hingga dalam beranda Facebook bakal bermunculan iklan- iklan sepatu bola yang bakal menyita waktu Kamu.
Mereka mengambil seluruh data- data kita buat memprediksi aksi kita, hobi yang kita senangi, sahabat yang mau kita ajak ngobrol, sampai kemauan berbelanja kita.
Seluruh itu dikontsruksi buat menghasilkan pemihakan waktu buat terus membuka notifikasi, mengklik tombol- tombol tanpa berhenti
Tombol klik serta ketertarikan buat menjangkau seluruh notifikasi media sosial kamu merupakan kapital untuk mesin besar itu.
Terdapat banyak layanan internet kita anggap free, tetapi sejatinya tidak free.
Seluruh itu dibayar oleh para pengiklan. Mengapa pengiklan membayar industri itu? mereka membayar buat menunjukkan iklan kepada industri serta berikutnya perusahaanlah yang dijual oleh pengiklan.
Saat ini kita jadi mengerti kalau timbulnya para teknisi sosial media dalam film itu yang berani melaksanakan autokritik menghasilkan benih pemahaman baru kalau laju pesona industri internet hendaknya melahirkan defenisi baru tentang berartinya batas- batas penciptaan inovasi yang berbasis artifisial intelegensia.
Manusia tidak cuma memerlukan kemudahan serta glamornya industri internet.
Tetapi manusia memerlukan nilai abadi yang melindungi individu tiap orang supaya senantiasa utuh.
Jadi manusia modern yang tidak kehabisan bukti diri kemanusiaan, interaksi yang teduh sesama manusia, senyum lebar untuk orang sebelah rumah, serta kebahagiaan silih memandang di ruang tamu suatu rumah untuk satu keluarga.
Ketakutan- ketakutan yang saat ini diciptakan oleh sosial media merupakan realitas sejarah. Seorang kita harapkan muncul menghasilkan yang baru. Mencipatkan penyeimbang baru dengan industri internet yang tidak menewaskan pemakainya. Mungkinkah kita seluruh bisa menciptakan titik cerah dalam gulita keniscayaan sosial media serta industri internet pada masa yang hendak tiba, Ataukah pada kesimpulannya seluruh hendak terbunuh secara tidak sadarkan diri.
jadi pendapat saya bahwa film dari social dillema ini sangat bagus untuk wawasan dan edukasi buat kita lantaran mengajarkan sisi buruk dan sisi baik tentang media social yang kita gunakan.
saya juga akan menjelaskan sisi positif dan negatif dari media social yang saya gunakan sehari - hari .
Positif
- Mudah mencari teman
- Bisa berkomunikasi secara cepat dan menyeluruh hingga ke berbagai daerah
- Bisa mempromosikan barang jualan dengan gratis
- Bisa menjadi ladang penghasilan uang
- Mempermudah belanja online
- Memberi informasi baik ketika ingin membeli barang
- dapat memberi tahu kesehatan tentang diri saya
NEGATF
- Menurun nya kesehatan pada diri saya
- Menjadikan sifat seseorang introvet
- Munculnya sifat angkuh tergadap orang lain
- Menjadi ladang bullying
- Banyak kejahatan berasal dari social media
- Turunnya produktivitas
- Mengulur - ulur waktu
- Menhambat belajar pada orang tersebut
- Jadi bermalas - malasan
- Tidak patuh terhadap orang tua
- lupa akan ibadah
- kecanduan bermain game yang tidak menghasilkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H