Baca juga :Ilmu Pengetahuan Umum Vs Konten di Media Sosial
Menteri pendidikan akhirnya meninjau kembali penerapan sistem ini. Alhasil, terjadi beberapa perubahan tentang kuota jalur prestasi yang di tambah dari 5% menjadi 5% -15%.
Berikut beberapa alasan  yang diutarakan oleh Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendi, yang  bisa dikutip oleh penulis  dari berbagai media sebagai alasan penerapan sistem zonasi.
Pertama, tujuan kesataraan dan keadilan, bahwa tidak boleh  diskriminasi, hak eksklusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah, hal ini juga berkaitan dengan upaya untuk menghilangkan status "sekolah unggulan".  Dan untuk mendukunng penguatan pendidikan karakter, Kompas.com, 20 juni 2019.
Kedua, bahwa sistem zonasi ini sudah diterapkan di negara-negara maju seperti  Amerika, Australia, Jepang,  dan negara-negara Skandinavia, Jerman dan Malaysia, Detik.com 21 Juni 2019.
Dan masih banyak lagi sebetulanya alasan-alasan yang disampaikan olen Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjabat sejak tahun 2016 ini dalam beberapa jumpa pers.
Menurut penulis, sejauh ini masyarakat masih belum bisa percaya kebijakan ini. Jika hanya dengan alasan yang berupa "argumentasi". Ya, bisa kita cermati bersama, jika dibaca di berbagai media bahwa kebijakan ini seakan hanya bersumber dari  pendapat semata dari pihak Kemendikbud.
Baca juga : Epistemologi sebagai Hakikat Ilmu Pengetahuan
Yang diharapkan masyarakat sebetulnya adalah alasan yang mendasar adanya penerapan sistem zonasi ini. Alasan dasar yang dimaksud adalah bahwa harus adanya bukti ilmiah yang jelas. Adanya kajian yang bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah untuk menjawab semua keluhan dan komentar masyarakat.
Misalnya, jika berdasarkan hasil riset. Seberapa kuat hasil riset menunjukkan bahwa sistem zonasi sangat tepat untuk diterapkan. Mungkin saja dalam bentuk persentasi. Hal-hal seperti ini yang bisa menjadi alasan yang sangat kuat menyakinkan masyarakat.
Analoginya, hasil pilpres yang baru-baru ini kita saksikan bersama. Karena ada oknum ahli yang menyatakan bahwa hasil dari perhitungan suara tidak benar menurut hasil risetnya, hampir 50% dari masyarakat negeri ini percaya.Â