Mohon tunggu...
wiro naibaho
wiro naibaho Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Belajar menulis,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Isu Pendidikan dan Menteri Pendidikan Berikutnya

5 Juli 2019   22:51 Diperbarui: 25 Juni 2021   15:22 7907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengetahui Isu Pendidikan dan Menteri Pendidikan Berikutnya (unsplash/alex-block)

Isu pendidikan. Konten yang sangat jarang diplesetkan atau dibuat menjadi bahan gurauan oleh pihak siapapun. Hal ini menunjukkan bahwa hampir setiap manusia di bumi ini yakin betul bahwa pendidikan adalah kebutuhan yang sangat dekat dengan kehidupannya.

Berbeda dengan isu-isu lain, seperti halnya politik dan pemerintahan, ekonomi dan bidang lainnya yang sering menjadi topik dalam suatu tulisan, berita dan ataupun pembicaraan di masyarakat. Yang cenderung menjadi bahan humor.

Sekilas bersinggungan dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Dalam hal ini terkait usaha pemerintah (Kemendikbud) dalam mengambil kebijakan untuk kemajuan pendidikan. Kita ambil saja contoh yang masih segar dalam ingatan kita, dan tentu saja viral di masyarakat luas.

Pertama, tentang penerapan Kurikulum 2013 (K-13).  Awal penerapan kurikulum 2013, langsung menjadi perbincanngan hangat yang menarik perhatian banyak kalangan. Terutama kaum guru.

Sebagai masyarakat biasa, ketika mendengar suatu isu. Maka yang pertama ingin diketahui adalah apa masalahnya. Artinya rentan yang akan dipahami lebih dulu adalah tentang masalahnya, bukan apa hal  (objek) yang dibicarakan itu.

Baca juga : Taburkan Ilmu Pengetahuan, Semaikan Pendidikan, Kobarkan Api Hardiknas 2021

Misalnya dalam hal ini K-13. Ketika muncul perdebatan tentang pro-kontra penerapan K-13. Yang ingin diketahui masyarakat adalah bahwa K-13 telah menambah beban guru dan juga siswa. Yang kebetulan alasan ini menjadi salah satu topik yang berkembang saat itu, sehingga kurikulum ini sempat diberhentikan. Tetapi bukan tentang, apa itu K-13, dan mengapa K-13 perlu diterapkan.  Ibaratnya sudah memberikan komentar tanpa mengetahui secara jelas tentang K-13 secara keseluruhan.

Dengan adanya pro-kontra ini, Menteri yang baru pada masa itu, Anies Baswedan, memberhentikan penerapan K-13.  Dengan alasan akan ditinjua ulang.  Namun, kemudian kurikulum ini diterapkan kembali hingga saat ini. Masih oleh menteri Anies.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ke-28, Muhadjir Efendi (Tribunnews.com)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ke-28, Muhadjir Efendi (Tribunnews.com)
Pada dasarnya, penerapan adanya K-13 saat itu, sangat kuat dasarnya, bahwa tepat untuk diterapkan di dunia pendidikan Indonesia. Melihat perkembangan jaman dan tuntutan teknologi.  Namun karena berada masa transisi jabatan Menteri Pendidikan, K-13 ini  seakan menjadi kebijakan yang tidak berdasar, karena sempat diberhentikan.

Dari kasus ini, kira-kira apa pengaruhnya bagi masyarakat?. Adanya kecendurungan untuk tidak percaya (lagi) terhadap kebijakan pendidikan yang diambil oleh pihak pemerintah kedepannya.

Kedua, penerapan Sistem Zonasi yang sudah diterapkan sejak 2016 yang lalu. Pada tahun 2019 ini   mungkin manjadi puncak, adanya keluhan sebagian masyarakat tentang  penerapan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang diterapkan di pendidikan dasar dan menengah.

Baca juga :Ilmu Pengetahuan Umum Vs Konten di Media Sosial

Menteri pendidikan akhirnya meninjau kembali penerapan sistem ini. Alhasil, terjadi beberapa perubahan tentang kuota jalur prestasi yang di tambah dari 5% menjadi 5% -15%.

Berikut beberapa alasan  yang diutarakan oleh Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendi, yang  bisa dikutip oleh penulis  dari berbagai media sebagai alasan penerapan sistem zonasi.

Pertama, tujuan kesataraan dan keadilan, bahwa tidak boleh  diskriminasi, hak eksklusif, kompetisi yang berlebihan untuk mendapatkan layanan pemerintah, hal ini juga berkaitan dengan upaya untuk menghilangkan status "sekolah unggulan".  Dan untuk mendukunng penguatan pendidikan karakter, Kompas.com, 20 juni 2019.

Kedua, bahwa sistem zonasi ini sudah diterapkan di negara-negara maju seperti  Amerika, Australia, Jepang,  dan negara-negara Skandinavia, Jerman dan Malaysia, Detik.com 21 Juni 2019.

Dan masih banyak lagi sebetulanya alasan-alasan yang disampaikan olen Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjabat sejak tahun 2016 ini dalam beberapa jumpa pers.

Menurut penulis, sejauh ini masyarakat masih belum bisa percaya kebijakan ini. Jika hanya dengan alasan yang berupa "argumentasi". Ya, bisa kita cermati bersama, jika dibaca di berbagai media bahwa kebijakan ini seakan hanya bersumber dari  pendapat semata dari pihak Kemendikbud.

Baca juga : Epistemologi sebagai Hakikat Ilmu Pengetahuan

Yang diharapkan masyarakat sebetulnya adalah alasan yang mendasar adanya penerapan sistem zonasi ini. Alasan dasar yang dimaksud adalah bahwa harus adanya bukti ilmiah yang jelas. Adanya kajian yang bisa dipertanggungjawabkan oleh pemerintah untuk menjawab semua keluhan dan komentar masyarakat.

Misalnya, jika berdasarkan hasil riset. Seberapa kuat hasil riset menunjukkan bahwa sistem zonasi sangat tepat untuk diterapkan. Mungkin saja dalam bentuk persentasi. Hal-hal seperti ini yang bisa menjadi alasan yang sangat kuat menyakinkan masyarakat.

Analoginya, hasil pilpres yang baru-baru ini kita saksikan bersama. Karena ada oknum ahli yang menyatakan bahwa hasil dari perhitungan suara tidak benar menurut hasil risetnya, hampir 50% dari masyarakat negeri ini percaya. 

Walaupun Mahkamah Konstitusi menyimpulkan hasil riset itu tidak terbukti. Namun, pengaruhnya sangat besar. Bukan bermaksud untuk menyinggung masalah politik, tapi hanya sebagai bahan pertimbangan  bahwa masyarakat Indonesia ini adalah penduduk yang sudah "melek" dunia riset.

Kebijakan Pendidikan yang  Berdasar. 

Untuk meyakinkan masyarakat bahwa dunia pendidikan adalah salah satu jalan untuk membentuk manusia  Indonesia yang cerdas dan berkarakter.  Pemerintah perlu serius dan hati-hati dalam mengambil kebijakan. Kebijakan harus berdasar. Kebijakan harus membuka wawasan masyarakat. Kebijakan harus menjadi bahan edukasi bagi semua masyarakat Indonesia.

Terkadang, dalam upaya pengembagan dunia pendidikan sering mengait-kaitkan dengan negara maju yang sudah berhasil memajukan negaranya melalui pendidikan. Adalah sebuah hal positif, belajar dari negara lain. 

Tetapi harus disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat dan  faktor lain yang berkaitan. Sehingga, bisa menyaring poin-poin mana yang sesuai dan tidak sesuai untuk diadopsi.  Dengan begitu, pelajaran dari negara-negara maju tersebut menjadi sangat bermanfaat.

Siapapun yang akan menjadi menteri pendidikan pada kabinet Jokowi yang kedua nantinya, diharapkan mampu untuk memahami kebutuhan pendidikan di Indonesia ini seutuhnya. Sehingga  bisa dengan cermat dan tepat dalam menjalankan tugas dan mengambil kebijakan.

Jika Menteri Pendidikan dari kalangan Melenial, sepertinya sejauh ini belum ada sosok yang tepat untuk memegang jabatan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun