Suatu ketika dalam perjalanan rombongan pesta adat batak yang berangkat dari Bandung ke Bekasi. Sebelum keberangkatan, seperti biasa ada beberapa konsep ataupun "barang-barang" yang harus sudah dipastikan sebelum berangkat. Setelah kurang lebih 30 menit, kita (rombongan) Â memutuskan untuk berangkat ke pesta adat pernikahan itu.
Saya duduk berdampingan dengan seorang bapak paruh baya. Biasanya kalau orang batak jika belum saling kenal, maka dipastikan akan langsung saling berkenalan. Si bapak itu pun bertanya kepada saya " "Marga aha do ho bo.?/ Marga apa kamu..?". Lalu saya jawab "Marga Naibaho/Â Marga Naibaho". Â Bapak itu bertanya lagi " di dia ho hita an/ dimana kampungmu di kampung kita sana (maksudnya sumatera utara). Lalu kemudian saya jawab " di Samosir uda / di Samosir pak Uda".
Jawaban saya, asal dari Samosir, membuat si bapak makin tertarik dengan pembicaraan kita. Ternyata si bapak tersebut menyekolahkan satu orang anaknya di Samosir, di sebuah SMA Katolik. Menurut cerita si bapak ini, si anak itu agak lumayan "nakal", sehingga dia sering berurusan dengan pihak sekolah.
Atas dasar inilah, ia memindahkan anaknya sangat jauh ke Samosir sana untuk bersekolah. Menurut beliau bahwa sebetulnya tidak juga ada keluarga disana yang dekat dengan si anak tersebut, namun hanya dengar cerita kawannya tentang sekolah tersebut, sehingga ia pun memutuskan untuk memindahkan si anak ke Samosir. Dan  si anak tinggal di asrama sekolah.
Dalam pembicaraan tersebut, sebetulnya si bapak ini tidak tega katanya membuat anaknya itu jauh dari mereka. Tapi dalam benak si bapak ini, yang penting pendidikannya jangan sampai terputus. Dimana dia prediksikan hal itu akan terjadi jika si anak masih tetap sekolah di Bandung.
"Asa unang songonna iba on haduan tahe ibana, nina rohangku da bah, parbengkel-bengkel/ biar jangan kayak saya ini, nantinya dia (si anak), jadi pekerja bengkel konvensional". Â
Melihat cerita si bapak ini, Â ia adalah orang yang percaya bahwa pendidikan bisa merubah hidup manusia menjadi lebih baik. Dan dalam kesempatan itu, saya menyampaikan appreasiasi saya terhadap si bapak itu, atas kepeduliaannya terhadap pendidikan anaknya.
Lalu, topik pembicaraan berikutnya dari si bapak ini yang menjadi menggelitik di pikiran saya.
"Alai boasa ma ate, molo hubereng-bereng do, molo tamba timbo parsikkolaan ni jolma, gabe tamba dang nyambung do mangkatai ate, hape nian molo tamba timbo parsikkolaan ni jolma, tamba tabo ma nian begeon mangkatai/ tapi kanapa ya, saya liha-lihat, kalau semakin tinggi pendidikan seseorang, jadi kayak tidak nyambung kalau berbicara. Pada hal, harusnya semakin 'enaklah' didengar kalau berbicara". Â
Maksud si bapak adalah bahwa seharusnya jika semakin tinggi strata pendidikan seseorang, harusnya juga akan semakin menjadi teladan dalam hal berinteraksi dengan sesamanya, walaupun sudah berbeda jenjang pendidikan. Semakin menarik dan lugas didengar ketika menjelaskan suatu topik pembicaraan. Tapi pada kenyataanya, tidak demikian menurut bapak itu. Â
Setahu saya, sebelum tadinya kita duduk berdampingan. Si bapak itu dengan bapak-bapak rombongan yang lain berbincang-bincang. Mungkin yang mereka bincangkan adalah konsep adat  dan "barang-barang" yang dibawa ke pesta adat tersebut dan  mungkin saja topik yang lain.
Kemudian diantara mereka itu. Setahu saya, ada satu orang yang sudah mengecap pendidikan  Doktor (S-3).
Saya mulai bertanya-tanya dalam hati. Apakah si bapak ini sedang menyinggung saya, karena saya hanya membalas percakapan si bapak ini dengan seadanya saja?. Tapi rasanya tidak mungkin, kerena saya terlihat seperti masih anak kuliahan yang baru masuk kuliah, walaupun pada saat  itu sudah tamat strata-1.  Atau beliau menyinggung si bapak yang sudah berpendidikan S-3 yang tadinya berdiskusi dengan beliau. God only knows.
Panjang lebar bercerita dan pernyataan si bapak itu tadi pun disahutin oleh beberapa orang di sekitar kita yang duduk berdekatan. Tidak terasa kita sudah sampai di Bekasi.
Masalah menyinggung siapa, saya memutuskan untuk tidak GR-an. Namun yang pasti pernyataan si bapak itu yang menyinggung tentang tingkat pendidikan dan interaksi sosial itu, sangat menarik bagi saya.
Kalau lah kita misalkan si bapak itu adalah menyinggung si bapak yang sudah berpendidikan Doktor tadi. Interaksi sosial yang dimaksud si bapak itu tentu bukan misalnya pembicaraan tentang ilmu konsetrasi si bapak yang S-3 itu dengan bapak yang pekerja bengkel tersebut. Â Ataupun misalnya si bapak pekerja bengkel itu membicarakan cara mencuci karburator motor kepada si bapak yang sudah S-3 tersebut.
Yang mereka bicarakan pastinya adalah topik yang sama-sama mereka saling paham. Mungkin dalam hal ini adalah tentang konsep adat batak.
Dalam adat batak, memang tidak ada pengaruh strata pendidikan dalam kedudukan di adat. Barangkali, siapa yang  lebih rajin ikut kegiatan yang berkaitan dengan adat, maka ia lah yang lebih paham tentang adat. Â
Karena menarik bagi saya pernyataan sibapak itu tadi. Saya pun mulai sering berpikir, ketika mulai berbicara atau berinteraksi dengan siapa pun lawan bicara saya.
Baik kepada yang lebih rendah strata pendidikannya, juga kepada yang lebih tinggi strata pendidikannya. Hadeh.., kok makin ribet ya.. mau ngomong saja harus mikir dua kali.
Kurang lebih setahun kemudian, di tahun 2016, saya mengikuti kuliah umum pascasarajana di sebuah universitas negeri di Bandung. Dalam kesempatan ini Rektor mempromosikan program baru yaitu Program Professor Masuk Desa, dalam rangka meningkatkan kontribusi nyata  universitas terhadap pembangunan daerah.
Mengetahui program ini, saya teringat kembali pernyataan si bapak itu, terkait tingkat pendidikan dan interaksi sosial.
Dan saya memantapkan kesepakatan saya dengan pernyataan si bapak itu bahwa seharusnya jika semakin tinggi pendidikan seseorang, maka seharusnya semakin "enaklah" dia didengar ketika berbicara di masyarakat ataupun di lingkungan akademisnya.
Berkenaan dengan program universitas diatas. Maka, sangat perlu tingkat pendidikan itu dibubuhi dengan pendidikan yang berbasis karakter, sepertinya halnya interaksi sosial yang mantap.
Tidak hanya dalam topik keseharian yang sama-sama dipahami oleh orang-orang yang berbeda strata pendidikan, seperti halnya konsep adat batak tadi. Interaksi sosial yang baik itu berguna.
Tetapi juga untuk ilmu serumit dan tingkat pendidikan setinggi apapun interaksi sosial yang mantap sangat diperlukan.
Bagaimana suatu ilmu yang begitu rumit itu, bisa disampaikan kepada khayak ramai dengan sederhana dan mudah dicermati.Â
Bagaimana suatu infomasi dari ilmu akademik kita itu bisa disampaikan kepada masyarakat ataupun lingkungan sekitar dengan menarik.
Atau bagaimana kita bisa menyampaikan tentang apa konsentrasi pendidikan kita itu, sehingga masyarakat juga akan tertarik mempelajari hal yang sama dengan kita.
Tingkat pendidikan harus berbanding lurus dengan kemantapan interaksi sosial. Dengan begitu, ilmu hasil studi seorang yang berpendidikan tinggi, akan lebih bernilai di masyarakat ketika ilmu itu mampu diinformasikan dengan lugas dan menarik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H