Kemudian diantara mereka itu. Setahu saya, ada satu orang yang sudah mengecap pendidikan  Doktor (S-3).
Saya mulai bertanya-tanya dalam hati. Apakah si bapak ini sedang menyinggung saya, karena saya hanya membalas percakapan si bapak ini dengan seadanya saja?. Tapi rasanya tidak mungkin, kerena saya terlihat seperti masih anak kuliahan yang baru masuk kuliah, walaupun pada saat  itu sudah tamat strata-1.  Atau beliau menyinggung si bapak yang sudah berpendidikan S-3 yang tadinya berdiskusi dengan beliau. God only knows.
Panjang lebar bercerita dan pernyataan si bapak itu tadi pun disahutin oleh beberapa orang di sekitar kita yang duduk berdekatan. Tidak terasa kita sudah sampai di Bekasi.
Masalah menyinggung siapa, saya memutuskan untuk tidak GR-an. Namun yang pasti pernyataan si bapak itu yang menyinggung tentang tingkat pendidikan dan interaksi sosial itu, sangat menarik bagi saya.
Kalau lah kita misalkan si bapak itu adalah menyinggung si bapak yang sudah berpendidikan Doktor tadi. Interaksi sosial yang dimaksud si bapak itu tentu bukan misalnya pembicaraan tentang ilmu konsetrasi si bapak yang S-3 itu dengan bapak yang pekerja bengkel tersebut. Â Ataupun misalnya si bapak pekerja bengkel itu membicarakan cara mencuci karburator motor kepada si bapak yang sudah S-3 tersebut.
Yang mereka bicarakan pastinya adalah topik yang sama-sama mereka saling paham. Mungkin dalam hal ini adalah tentang konsep adat batak.
Dalam adat batak, memang tidak ada pengaruh strata pendidikan dalam kedudukan di adat. Barangkali, siapa yang  lebih rajin ikut kegiatan yang berkaitan dengan adat, maka ia lah yang lebih paham tentang adat. Â
Karena menarik bagi saya pernyataan sibapak itu tadi. Saya pun mulai sering berpikir, ketika mulai berbicara atau berinteraksi dengan siapa pun lawan bicara saya.
Baik kepada yang lebih rendah strata pendidikannya, juga kepada yang lebih tinggi strata pendidikannya. Hadeh.., kok makin ribet ya.. mau ngomong saja harus mikir dua kali.
Kurang lebih setahun kemudian, di tahun 2016, saya mengikuti kuliah umum pascasarajana di sebuah universitas negeri di Bandung. Dalam kesempatan ini Rektor mempromosikan program baru yaitu Program Professor Masuk Desa, dalam rangka meningkatkan kontribusi nyata  universitas terhadap pembangunan daerah.
Mengetahui program ini, saya teringat kembali pernyataan si bapak itu, terkait tingkat pendidikan dan interaksi sosial.