Mohon tunggu...
Wirol Haurissa
Wirol Haurissa Mohon Tunggu... -

Students of Theology Faculty

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hujan Berkat untuk Badati Damai

26 November 2011   16:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Pasawari Damai.” Esa: Harori sou wauwe uwa, kupa naim upu upu, inaku amaku, hua asa aman, mau tampa siri mau inu lala, saka eti

“satu: biaralah sumpah persaudaraan yang diucapkan lidah Datu-datu dan para leluhur kami dari negeri asal kami baik dalam tampa siri atau minum darah tetap terjaga”.

Tak tersadar saat membacakan doa dalam bentuk puisi, burung-burung berterbangan di atas mereka. Ketika doa masih dipanjatkan.

“Eti’i yami, yami ana’i alifuru, ana’i upu taholaini upu yama esse nunu jela lahui unu nusu asa ku, yami peki hena masa hiti’i Toan Agong Nen Butri Dit Sakmas yami anai Malessy Kabasarang Atuf, malona kabaressy Etnebar sei yami olo’o latane, kura wahe lanite Nusa Ina, Uliaser, Nusa Aponu, Nusahalawanno, Evav, Etnebar, Bela, Tuban, Goa, esa tana, esa aman, esa lala!

Inilah kami, kami anak cucu Alifuru, anak matahari dan ibu bulan dilahirkan dari Unu Nusa Asa Ku, kami para pemegang hukum adat yang dibawa Dipertuan Agung Ratu Dit Sakmas, kami para penerus pahlawan besar Atuf, laki-laki pemberani dari tanimbar, siapapun kami yang menapaki latane, dan menjunjung lanite, Nusa Ina, Uliaser, Nusa Aponu, Nusahalawanno, Evav, Etnebar, Bela, Tuban, Goa, satu tanah, satu negri, satu darah!

Bulu kuduk saya berdiri mendengar bahasa nenek moyang ini. Lalu kami mengheningkan cipta untuk orang-orang yang menjadi korban konflik di Maluku, khususnya di Ambon dan para pahlawan perdamaian.
Begitu nikmat syair-syair yang di bacakan. Sangat menyentuh di tengah kegelapan.

“Lilin itu matahari dan semua pun membakarnya menedukan air hujan”

Para muda dari Cidade Amboina bernyanyi tentang damai. Dalam lagu mereka mengajak “basudara untuk berpelukan dan menjatuhkan parang”. Saya berdiri dekat Maryo Nussy. Maryo sempat berkenalan dengan Wiwi, gadis manis berjilbab. Sambil saya melihat laga Maryo menanyakan nama perempuan itu. Keduanya terlibat percakapan pendek, sampai akhirnya Wiwi harus masuk ke area panggung untuk mementaskan teater embun.

White for Peace. Mereka masuk gerak olah tubuh masing-masing. Terlintas oleh pengamatan saya dua pasukan berperang saling berlawan dan akhirnya berdamai. Suara terdengar dari pemain Teater Embun, meneriakkan“Beta Pattirajawane yang dijaga datuk-datuk”.

Momen penting ini telah selesai namun kenangan damai berkumpul orang basudara Muslim Kristen tetap menjadi sukacinta kita bersama untuk Ambon yang damai.

Saya dan beberapa teman bersyukur dalam doa yang dipanjatkan Ghi. Kami lalu berjalan menuju Litbang. Saya dan Rudi memilih berjalan kaki sedangkan yang lain menaiki mobil pikc up.

Maryo dan Rey berjalan di belakang. Dengan suara nyaring di belakang kami, Maryo membacakan puisi yang tadi dibacakan Rudi. Sepanjang jalan dari depan pos tentara sampai Baileo Oikumene, Maryo terus menggema dengan lantunan suaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun