Masalah PPN 12%
PPN adalah salah satu instrumen pajak yang diterapkan pada barang dan jasa untuk meningkatkan penerimaan negara.Â
Pada awalnya, Indonesia menetapkan tarif PPN sebesar 10%, kemudian dinaikkan menjadi 11% pada 2022, dan direncanakan menjadi 12% pada 2025. Perubahan ini menjadi kontroversial karena berpotensi memperberat beban masyarakat, terutama kelompok ekonomi bawah.
Perbedaan PPN 10%, 11%, dan 12%
- PPN 10%: Tarif ini telah berlaku cukup lama dan dianggap stabil, dengan dampak inflasi yang relatif kecil.
- PPN 11%: Mulai diterapkan pada April 2022, kenaikan ini memicu peningkatan harga pada berbagai barang dan jasa, meski dampaknya dianggap masih dapat dikelola.
- PPN 12%: Direncanakan untuk diterapkan pada 2025, kebijakan ini diharapkan meningkatkan pendapatan negara. Namun, dikhawatirkan akan memperbesar tekanan inflasi dan ketimpangan sosial.
Perbedaan mendasar terletak pada beban yang semakin tinggi bagi konsumen akhir. Karena sekali lagi PPN bersifat regresif, masyarakat berpenghasilan rendah akan merasakan dampak lebih besar dibandingkan kelompok atas.
Apakah benar hanya 1% kenaikan yang harus dibayar?
Kenaikan nominal tarif PPN dari 11% menjadi 12% mungkin terlihat kecil, tetapi dalam praktiknya, dampak kenaikan ini lebih dari sekadar 1%. Mengapa? Karena PPN diterapkan pada setiap tahapan produksi dan distribusi, dari produsen hingga konsumen akhir.Â
Dalam mekanisme ini, kenaikan 1% di tingkat produsen dapat diteruskan dan dikalikan pada rantai distribusi berikutnya. Akibatnya, masyarakat sebagai konsumen akhir merasakan kenaikan harga yang jauh lebih besar dari angka resmi.Â
Dalam kasus barang kebutuhan pokok, misalnya, kenaikan harga bisa mencapai 2% hingga 9%, tergantung pada kompleksitas rantai pasoknya.
Ketimpangan Ekonomi yang Meningkat
Kebijakan PPN yang terus naik berpotensi memperlebar jurang kesenjangan ekonomi. Kelompok kaya memiliki kemampuan untuk menyerap kenaikan harga tanpa mengorbankan gaya hidup mereka, sedangkan kelompok miskin harus berkompromi dengan kebutuhan dasar.Â