Mengapa Kita Harus Menggugat Keras PPN 12%?
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% bukan sekadar penyesuaian tarif pajak, tetapi cerminan dari kebijakan ekonomi yang berpotensi memperlebar jurang ketimpangan sosial di Indonesia.Â
Dalam sistem pajak regresif seperti PPN, beban kenaikan lebih banyak ditanggung oleh masyarakat kelas bawah, yang sebagian besar pendapatannya habis untuk kebutuhan konsumsi.Â
Jika kebijakan ini diterapkan tanpa mitigasi yang memadai, dampaknya akan sangat merugikan kelompok rentan dan bertentangan dengan semangat keadilan sosial yang menjadi dasar konstitusi negara.
Beban Lebih Besar bagi Rakyat Kecil: PPN bersifat regresif, sehingga kelas bawah menanggung persentase beban yang lebih besar dari pendapatan mereka dibandingkan kelas atas.Â
Kenaikan menjadi 12% akan meningkatkan harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok seperti makanan, obat-obatan, dan transportasi. Hal ini akan semakin menekan daya beli rakyat kelas menengah dan miskin, yang sudah berada di ambang kesulitan.
Tidak Sejalan dengan Semangat Ekonomi Keadilan: Prinsip ekonomi yang diamanatkan oleh UUD 1945 menuntut agar kebijakan ekonomi menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.Â
Kenaikan PPN bertolak belakang dengan tujuan ini karena tidak memandang perbedaan kemampuan membayar antara kelompok masyarakat.
Ketergantungan pada Kapitalisme Pasar: Kebijakan ini mencerminkan orientasi pemerintah yang terlalu bergantung pada logika kapitalisme pasar.Â
Alih-alih mencari solusi progresif, pemerintah memilih cara instan untuk meningkatkan pendapatan negara, tanpa mempertimbangkan dampak sosial.