Kasus perundungan yang terjadi di SD Subang adalah tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Tragedi ini menyingkap luka mendalam dalam sistem kita: sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak, justru menjadi ladang subur bagi kekerasan. Kita harus bertanya dengan kritis: di mana letak kegagalan ini? Apakah pendidikan kita terlalu fokus pada akademik hingga melupakan esensi moral? Ataukah kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat masih jauh dari harapan?
Pemikiran Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa pendidikan tidak hanya tentang mengajarkan "apa," tetapi juga "siapa." Siapa yang membentuk dan dibentuk oleh sistem pendidikan kita?. Apa yang ingin kita ciptakan dari generasi muda ini? Anak-anak yang sekadar pintar dalam pelajaran, tetapi abai terhadap moral dan empati? Atau individu yang berkarakter, berjiwa merdeka, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan? Tragedi ini menggarisbawahi pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai pendidikan berbasis karakter, sebagaimana yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara.
Harapan kita adalah lahirnya generasi baru yang memahami bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk mendominasi, dan kekuatan bukan untuk menyakiti. Untuk mewujudkan itu, pendidikan karakter harus menjadi inti kurikulum. Guru harus diberdayakan sebagai teladan moral. Orang tua harus terlibat lebih aktif dalam membangun lingkungan suportif di rumah. Dan masyarakat harus mengambil bagian dalam menciptakan ekosistem yang mendukung.
Namun, harapan saja tidak cukup. Diperlukan aksi nyata. Mari kita memulai dengan langkah-langkah kecil: mendorong dialog terbuka antara siswa, guru, dan orang tua, menyusun program pencegahan perundungan, dan menanamkan nilai saling menghargai sejak dini. Di tingkat kebijakan, pemerintah perlu mempertegas regulasi anti-perundungan dan memastikan implementasinya berjalan efektif.
Ajakan ini bukan hanya untuk guru atau pemerintah, tetapi untuk kita semua. Jika pendidikan adalah tanggung jawab bersama, maka menciptakan generasi yang bebas dari kekerasan juga adalah tugas bersama. Mari kita jadikan sekolah sebagai ruang yang aman, rumah kedua bagi anak-anak, dan tempat mereka bertumbuh menjadi individu yang bermoral. Ini adalah saatnya untuk bergerak, bukan hanya berbicara.
Ayo hapus dominasi yang menyakiti, tumbuhkan empati demi sekolah dan masyarakat tanpa kekerasan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H