Perundungan sering kali berakar pada kurangnya pengawasan, pendidikan karakter, dan komunikasi yang efektif antara guru, orang tua, dan siswa. Ketika sekolah gagal menciptakan budaya hormat dan empati, serta orang tua kurang terlibat dalam membentuk moral anak, maka celah itu menjadi lahan subur bagi perilaku destruktif seperti perundungan.
Lebih jauh, Ki Hajar Dewantara selalu menekankan pentingnya pendidikan berbasis kemanusiaan. Ia percaya bahwa tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia yang berjiwa merdeka mampu berpikir kritis, menghargai hak orang lain, dan berempati terhadap sesama.
Tragedi di Subang menunjukkan absennya nilai-nilai ini dalam keseharian siswa. Perundungan adalah tanda jelas dari ketidakhadiran rasa empati dan ketidakmampuan sistem pendidikan untuk mencegah tindakan kekerasan yang merugikan.
Untuk menghindari tragedi serupa, kita perlu kembali kepada ajaran Ki Hajar Dewantara. Pendidikan karakter harus ditempatkan sebagai inti dari proses belajar-mengajar. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, sebagaimana diimpikan beliau bukan sekadar gedung, tetapi rumah kedua yang membangun moral anak-anak kita.
Analisis Sosial dan Pendidikan
Kasus ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan suportif. Perundungan bukan hanya tindakan individu; ia adalah fenomena sosial yang berakar pada ketimpangan kekuasaan, kurangnya empati, dan lemahnya pengawasan. Dalam konteks ini, sekolah tidak hanya gagal memberikan perlindungan, tetapi juga abai terhadap pendidikan karakter yang seharusnya membentuk moral siswa.
Guru, sebagai pendidik sekaligus pengawas, memiliki peran penting dalam mencegah kekerasan di lingkungan sekolah. Namun, banyak guru menghadapi tantangan besar, seperti minimnya pelatihan tentang deteksi dini perundungan atau beban kerja yang berlebihan. Akibatnya, kasus-kasus seperti ini sering kali tidak terpantau hingga terlambat.
Konteks Budaya
Budaya sosial di Indonesia, khususnya di lingkungan sekolah, sering kali memandang kekerasan sebagai hal biasa atau bagian dari "dinamika anak-anak." Ada kecenderungan untuk meremehkan perilaku perundungan, bahkan menganggapnya sebagai bentuk lelucon. Selain itu, budaya hierarki dan dominasi di masyarakat kita juga sering tercermin dalam hubungan antar siswa, di mana yang kuat mendominasi yang lemah.
Sistem Pendidikan
Pendidikan nasional di Indonesia sering kali lebih menekankan pada prestasi akademik daripada pembentukan karakter. Kurikulum pendidikan karakter yang ada saat ini sering kali hanya formalitas dan kurang diimplementasikan secara efektif. Sistem pendidikan juga kurang memberikan ruang bagi siswa untuk belajar tentang empati, kerja sama, dan resolusi konflik.