Mohon tunggu...
Wira Krida
Wira Krida Mohon Tunggu... Apoteker - Praktisi Komunikasi dan Farmasi

Saya praktisi farmasi industri yang memiliki minat mendalam dalam berbagai aspek komunikasi. Sebagai seorang profesional di bidang farmasi industri, saya telah mengembangkan keahlian di sektor ini melalui pengalaman dan pembelajaran yang terus-menerus. Tidak hanya fokus pada pengembangan teknis dan operasional di industri farmasi, tetapi juga memahami pentingnya komunikasi dalam mendukung dan memperkuat keberhasilan organisasi. Dalam rangka memperluas pengetahuan di luar farmasi, saya memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang komunikasi. Saya meraih gelar Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina pada tahun 2023. Langkah ini menunjukkan komitmen saya untuk memperdalam pemahaman tentang komunikasi, khususnya dalam konteks komunikasi organisasi dan komunikasi digital, dua bidang yang semakin penting di era globalisasi dan transformasi digital. Saat ini, Saya sedang melanjutkan studi di bidang ilmu komunikasi di Universitas Sahid. Melalui studi ini, saya berharap dapat menggabungkan pengetahuan di sektor farmasi dengan pemahaman yang lebih luas tentang komunikasi, sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam pengembangan industri farmasi, baik dari segi operasional maupun strategi komunikasi. Bidang minat utama saya meliputi farmasi industri, komunikasi organisasi, serta komunikasi digital, yang menjadi fokus utama untuk pengembangan lebih lanjut di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tragedi Perundungan di SD Subang: Ketika Sekolah Gagal Jadi "Rumah" bagi Anak-Anak Kita

1 Desember 2024   04:29 Diperbarui: 1 Desember 2024   14:26 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (WIKIMEDIA COMMONS/GALERI EGA via KOMPAS.com)

Perundungan sering kali berakar pada kurangnya pengawasan, pendidikan karakter, dan komunikasi yang efektif antara guru, orang tua, dan siswa. Ketika sekolah gagal menciptakan budaya hormat dan empati, serta orang tua kurang terlibat dalam membentuk moral anak, maka celah itu menjadi lahan subur bagi perilaku destruktif seperti perundungan.

Lebih jauh, Ki Hajar Dewantara selalu menekankan pentingnya pendidikan berbasis kemanusiaan. Ia percaya bahwa tujuan akhir pendidikan adalah membentuk manusia yang berjiwa merdeka mampu berpikir kritis, menghargai hak orang lain, dan berempati terhadap sesama.

Tragedi di Subang menunjukkan absennya nilai-nilai ini dalam keseharian siswa. Perundungan adalah tanda jelas dari ketidakhadiran rasa empati dan ketidakmampuan sistem pendidikan untuk mencegah tindakan kekerasan yang merugikan.

Untuk menghindari tragedi serupa, kita perlu kembali kepada ajaran Ki Hajar Dewantara. Pendidikan karakter harus ditempatkan sebagai inti dari proses belajar-mengajar. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, sebagaimana diimpikan beliau bukan sekadar gedung, tetapi rumah kedua yang membangun moral anak-anak kita.

Analisis Sosial dan Pendidikan

Kasus ini mencerminkan kegagalan sistem pendidikan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan suportif. Perundungan bukan hanya tindakan individu; ia adalah fenomena sosial yang berakar pada ketimpangan kekuasaan, kurangnya empati, dan lemahnya pengawasan. Dalam konteks ini, sekolah tidak hanya gagal memberikan perlindungan, tetapi juga abai terhadap pendidikan karakter yang seharusnya membentuk moral siswa.

Guru, sebagai pendidik sekaligus pengawas, memiliki peran penting dalam mencegah kekerasan di lingkungan sekolah. Namun, banyak guru menghadapi tantangan besar, seperti minimnya pelatihan tentang deteksi dini perundungan atau beban kerja yang berlebihan. Akibatnya, kasus-kasus seperti ini sering kali tidak terpantau hingga terlambat.

Konteks Budaya

Budaya sosial di Indonesia, khususnya di lingkungan sekolah, sering kali memandang kekerasan sebagai hal biasa atau bagian dari "dinamika anak-anak." Ada kecenderungan untuk meremehkan perilaku perundungan, bahkan menganggapnya sebagai bentuk lelucon. Selain itu, budaya hierarki dan dominasi di masyarakat kita juga sering tercermin dalam hubungan antar siswa, di mana yang kuat mendominasi yang lemah.

Sistem Pendidikan

Pendidikan nasional di Indonesia sering kali lebih menekankan pada prestasi akademik daripada pembentukan karakter. Kurikulum pendidikan karakter yang ada saat ini sering kali hanya formalitas dan kurang diimplementasikan secara efektif. Sistem pendidikan juga kurang memberikan ruang bagi siswa untuk belajar tentang empati, kerja sama, dan resolusi konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun