Sangat menyedihkan melihat potret kejadian perundungan siswa SD oleh kakak kelasnya, yang berakhir korban perundungan meninggal dunia.
Menurut laporan, perundungan yang dimaksud adalah pemalakan, hal ini dialami oleh seorang siswa secara berulang kali hingga akhirnya memengaruhi kondisi fisiknya.
Puncaknya, korban mengalami tindakan kekerasan yang menyebabkan luka serius karena tidak menyerahkan uang yang diminta dan akhirnya meninggal dunia.
Pelaku diketahui adalah kakak kelas atau teman-teman korban, yang menunjukkan bagaimana kekerasan bisa tumbuh dalam lingkungan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak. Guru dan pihak sekolah dianggap lalai karena tidak mendeteksi dan menghentikan tindakan ini sejak awal.
Kita perlu kembali menengok ke masa lalu, pemikiran kritis Ki Hajar Dewantara telah lama menjadi pilar pendidikan nasional Indonesia. Sebagai Bapak Pendidikan Nasional, beliau menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga sarana membangun karakter dan jiwa manusia.
Prinsipnya yang terkenal, "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani", mengandung makna mendalam tentang peran pendidik: memberikan teladan di depan, membangun semangat di tengah, dan mendorong dari belakang.
Dalam konteks pendidikan modern, semboyan ini relevan sebagai dasar menciptakan lingkungan belajar yang aman, suportif, dan penuh empati.
Tragedi perundungan di sebuah SD di Subang, menunjukkan bagaimana nilai-nilai membentuk ekositem belajar yang aman, suportif, dan penuh empati sering diabaikan. Kasus ini tidak hanya mencerminkan kegagalan individu, tetapi juga menunjukkan lemahnya sistem pendidikan kita dalam menginternalisasi ajaran moral dan karakter kepada siswa.
Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa sekolah seharusnya menjadi "rumah kedua" bagi anak-anak tempat mereka merasa dilindungi, dihargai, dan didorong untuk berkembang. Jika sebuah sekolah justru menjadi arena kekerasan, jelas ada sesuatu yang keliru dalam cara pendidikan kita dijalankan.
Pemikiran beliau lainnya, seperti ungkapannya, "Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah," menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah dan keluarga.