Konflik Laut Cina Selatan bukan lagi perkara sengketa, melainkan sebuah fenomena agresi militer. Klaim sepihak Republik Rakyat Tiongkok terhadap nine dash line secara nyata adalah manifestasi geopolitik fasis yang juga dilakukan oleh Jerman sebelum meletusnya perang dunia kedua.
Klaim teritorial Tiongkok yang bersifat absurd dan tumpang tindih terhadap kedaulatan wilayah Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei dan Taiwan juga diperparah dengan “ketidak patuhan” Tiongkok terhadap resolusi pengadilan internasional berdasar UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the sea).
Dan ironisnya, Indonesia mereplikasi politik appeasement (mengalah) ala sekutu barat (Inggris dan Prancis) dalam menanggapi aneksasi dan agresi bangsa besar yang kian hari memposisikan diri sebagai penguasa. Ketika Jerman berhasil menganeksasi Austria, Czekoslovakia dan Lithuania, apakah agresi mereka terhenti? Logika ini yang kemudian harus kita pelajari bahwa kedekatan kita dengan bangsa perundung tidak menjamin keberlangsungan kedaulatan Indonesia.
Perilaku abai dan bebal Tiongkok terhadap resolusi kolektif global melalui lembaga kewenangan internasional (PCA- Permanent Court of Arbitration) berdasar klausa UNCLOS yang menyatakan klaim teritorial mereka yang tidak sah (nine dash line, dan justru meningkatkan aktifitas militer dan mempersenjatai wilayah kepulauan spratly), menjadi bukti bahwa Tiongkok merupakan negara non-compliance yang tidak bisa diandalkan dan dipercaya. Sebagaimana Winston Churcill meriwayatkan:
“You cannot reason with a tiger when your head is in its mouth.”
Dalam tulisan ini, saya tekankan bahwa konflik Laut Cina Selatan sudah memasuki fase “pasca diplomasi”; bawasannya dialog kawasan, multilateral dan bilateral sudah bersifat insignifikan. Karena baik Tiongkok maupun Amerika Serikat sudah memasuki fase mobilisasi arsenal militer dan telah berkecamuk dalam skema perang asimetris maritim di wilayah Asia Tenggara.
Inisiatif Amerika dalam menciptakan politik pengurungan Tiongkok telah terlaksana: QUAD (Quadrilateral Security Dialogue: Australia, India, Jepang, Amerika Serikat) dan AUKUS ( Trilateral Security Partnership: Amerika Serikat, Australia, Inggris) sebagai asosiasi pertahanan regional yang bersifat mengikat, turut menghadirkan arsenal nuklir di wilayah Asia Tenggara melalui kehadiran kapal selam nuklir. Perihal ini kian memperjelas ketegangan yang akan terjadi.
Kohesi kolektif ASEAN juga telah terpecah; konflik teritorial Laut Cina Selatan nyatanya juga memecah persatuan ASEAN akibat kepentingan domestik anggota negara-negara ASEAN itu sendiri. Ketika Tiongkok mengafirmasi agresi diplomatiknya melalui operasi militer asimetris, negara-negara ASEAN secara gradual terintimidasi dan menjadi pragmatis dengan mencari backpocket policy masing-masing: jaminan keselamatan bersama kekuatan global melalui kesepakatan militer sebagai deterrence. Singapura, Filipina, Thailand bahkan Vietnam sudah terkonfirmasi bergeser kepada spektrum pengaruh Amerika Serikat. Sementara Laos, Kamboja dan Myanmar teridentifikasi sebagai perpanjangan tangan Beijing dalam mendisrupsi ASEAN.
Ikatan-ikatan pertahanan regional dan kesepakatan eksklusif bilateral tersebut kemudian menyiratkan realita terselubung atas terbentuknya model NATO dan Pakta WARSAWA di Asia Tenggara. Secara tidak langsung, Indonesia berdiri pada posisi dilematis: Death or Dishonor? Mati dalam menegakkan kedaulatan, atau hidup dibawah bayang-bayang agresor?
Apakah kita cukup kuat untuk menciptakan narasi jalan ketiga melalui semangat Wilwatikta Majapahit dalam menancapkan hegemoni dan dominasi terhadap anggota-anggota ASEAN? Menciptakan suatu harmoni Nusantara dengan menjamin terpenuhinya political objectives Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok? Freedom of Navigation untuk Amerika, dan menawarkan closure terhadap dilema Malaka terkait krisis jalur impor energi Tiongkok?
Atau menjalankan opsi kedua berupa ekspresi sejati dari “politik bebas aktif” dalam menjaga equilibrium antara kepentingan Tiongkok dan Amerika di Asia Tenggara?
Secara normatif, dan melalui ulasan kritis terkait keputusan-keputusan yang diambil oleh Indonesia dari tahun 2010 (semenjak bangsa ini terlibat dalam isu sengketa Laut Cina Selatan sebagai non-claimant state), Indonesia selalu mengambil langkah aman non-konfrontatif terhadap Tiongkok. Relasi ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok berjalan sangat intens dan signifikan, karena posisi ideal Indonesia sebagai eksportir bahan mentah dan Tiongkok sebagai negara manufaktur.
Namun di sisi lain, Tiongkok tetap menjalankan operasi militer melalui intrusi kapal nelayan terhadap ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia. Perlu diketahui, bahwa “nelayan” Tiongkok merupakan personil yang tergabung dalam PAFMM (People’s Armed Forces Maritime Militia) yang berada dibawah naungan operasional PLAN (People’s Liberation Army Navy/ Angkatan Laut Tiongkok).
Sehingga intrusi tersebut bisa dikategorikan sebagai agresi militer, mengingat PAFMM merupakan organisasi paramiliter dan terhitung sebagai komponen cadangan. Dan inilah salah satu manifestasi perang asimetris maritim yang kerap terjadi di lingkup Laut Cina Selatan: bahwa gerilya-gerilya dan intimidasi militer berkedok taktik “nelayan” tengah berlangsung.
Untuk mengimbangi dinamika ini, maka menjadi rasional ketika Indonesia menempuh opsi kedekatan militer dengan Amerika Serikat; melalui pembelanjaan alutsista yang relevan dan juga joint exercise yang bersifat bilateral (Garuda Shield, sebagai contoh). Namun perlu digarisbawahi, bahwa ini mengisyaratkan dependensi alutsista dan alat pertahanan kepada salah satu “pihak”.
Hal terkait merupakan salah satu manifestasi kerentanan bangsa yang bersifat vital: karena resiliensi hankam merupakan ujung tombak fisik dari upaya pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Volatilitas relasi Indonesia dan Amerika juga perlu diwaspadai, mengingat akumulasi pengalaman historis terkait pengerahan proxy/perantara Amerika yang seringkali mengganggu stabilitas politik domestik dan merubah haluan kebijakan melalui intrusi dan infiltrasi sosial.
Sejatinya, Indonesia tengah berperang. Walau secara tidak langsung.
Premis ini kemudian menjadi penting, karena berkaitan dengan solusi praktis yang perlu dipertimbangkan. Bahwa diplomasi dalam konteks Laut Cina Selatan bersifat menunda, namun tidak menyelesaikan. Potensi penyelesaian konflik terletak pada solusi klasik berupa si vis pacem parabellum: bahwa Indonesia pada akhirnya perlu membuktikan bobot dan substansi “politik bebas aktif” dan prinsip nasionalnya dalam manifestasi fisik berupa kekuatan yang bisa diproyeksikan dan dipertanggung-jawabkan.
Resiliensi atau ketahanan alutsista menjadi salah satu pokok prioritas nyata yang bisa dan perlu diwujudkan; demi tercapainya kemampuan Indonesia dalam memproduksi peralatan tempur yang sesuai dengan kebutuhan, pengalaman dan doktrin Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Perwujudan resiliensi alutsista harus betul-betul dimulai dari awal, dan perihal ini tidak memiliki jalan pintas. Alih daya/ outsourcing terkait kapasitas hankam kepada elemen asing bukanlah opsi jangka panjang, namun bersifat temporer. Kegagalan dalam mendesain, menciptakan dan mengoperasikan adalah bagian dari proses berharga yang tidak ternilai; dan logika ini harus betul-betul ditanamkan secara utuh di Indonesia. Karena sejauh ini, pendekatan untung-rugi dan optimasi adalah acuan utama dalam bernegara: berujung pada logika makelar, tangan ketiga dan alih daya (outsourcing), karena impor lebih efisien dan murah.
Kita memahami bahwa perang modern bersifat semesta: orientasi dan tujuan dari perang tidak hanya sekedar menaklukan, tapi memusnahkan. Pesan historis tersebut disemayamkan sebagai sebuah gagasan abadi yang dipahami oleh TNI dan menjadi landasan ontologis terbentuknya konsep SISHANKAMRATA (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta); bahwa harga dari sebuah kedaulatan, adalah upaya nasional yang bersifat koheren, total dan masif. Opsinya kemudian adalah memusnahkan atau dimusnahkan.
Narasi imajiner seperti ini terkadang penting dalam menyajikan ilustrasi sebuah skenario “what-if”, sekaligus sebagai bahan refleksi terkait kemampuan nasional Indonesia dalam “memukul balik” musuh-musuhnya. Apabila kekuatan organik TNI kita mengalami kehancuran parsial, apakah ideal untuk menunggu datangnya pasokan alutsista asing?
Alutsista yang dikirim melalui jalur maritim ditenggelamkan oleh kapal musuh? Lalu kemudian kita tidak memiliki peralatan berat dalam melawan musuh? Ketersediaan personil melimpah, namun tidak dipersenjatai? Medan Ukraina mengajarkan bahwa logika bread vs butter (ekonomi sipil atau militer) menjadi irelevan untuk dibahas ketika sebuah bangsa gagal dalam memprediksi dan mempersiapkan diri terhadap skenario perang.
Dalam satu hari, Ukraina membutuhkan 20.000 butir munisi artileri kaliber 155mm untuk melawan Rusia, namun Ukraina tidak memiliki kemampuan produksi proyektil dan dependen terhadap kiriman asing.
Ilustrasi terkait hanya fragmen imajinatif kecil dari skema sistemik logika perang yang bersifat semesta atau total. Resiliensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan ideologi belum menjadi variabel yang dikalkulasikan; bagaimana kesiapan mental bangsa dalam menghadapi perang dengan jangka tidak menentu, kesiapan logistik darurat nasional, transisi industri damai menjadi industri perang, survivabilitas Indonesia pasca fenomena first-strike (serangan strategis awal yang mengincar objek vital nasional), rentan waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk pulih, dan determinan lain.
Karena pada akhirnya kedaulatan Indonesia hanya bisa dijamin oleh rakyatnya sendiri; melalui tumpah darah dan keringat bangsa, bukan belas kasih dan simpati internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H