Mohon tunggu...
Wibi Lungidradityo
Wibi Lungidradityo Mohon Tunggu... Lainnya - Mendalami Fokus dalam Studi Politik Militer dan Pertahanan

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Calm Before The Storm: Gemuruh Perang di Kawasan Laut Cina Selatan

31 Mei 2024   19:15 Diperbarui: 31 Mei 2024   19:51 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber news.cgtn.com

Atau menjalankan opsi kedua berupa ekspresi sejati dari “politik bebas aktif” dalam menjaga equilibrium antara kepentingan Tiongkok dan Amerika di Asia Tenggara?

Secara normatif, dan melalui ulasan kritis terkait keputusan-keputusan yang diambil oleh Indonesia dari tahun 2010 (semenjak bangsa ini terlibat dalam isu sengketa Laut Cina Selatan sebagai non-claimant state), Indonesia selalu mengambil langkah aman non-konfrontatif terhadap Tiongkok. Relasi ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok berjalan sangat intens dan signifikan, karena posisi ideal Indonesia sebagai eksportir bahan mentah dan Tiongkok sebagai negara manufaktur.

Namun di sisi lain, Tiongkok tetap menjalankan operasi militer melalui intrusi kapal nelayan terhadap ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia. Perlu diketahui, bahwa “nelayan” Tiongkok merupakan personil yang tergabung dalam PAFMM (People’s Armed Forces Maritime Militia) yang berada dibawah naungan operasional PLAN (People’s Liberation Army Navy/ Angkatan Laut Tiongkok). 

Sehingga intrusi tersebut bisa dikategorikan sebagai agresi militer, mengingat PAFMM merupakan organisasi paramiliter dan terhitung sebagai komponen cadangan. Dan inilah salah satu manifestasi perang asimetris maritim yang kerap terjadi di lingkup Laut Cina Selatan: bahwa gerilya-gerilya dan intimidasi militer berkedok taktik “nelayan” tengah berlangsung.

Untuk mengimbangi dinamika ini, maka menjadi rasional ketika Indonesia menempuh opsi kedekatan militer dengan Amerika Serikat; melalui pembelanjaan alutsista yang relevan dan juga joint exercise yang bersifat bilateral (Garuda Shield, sebagai contoh). Namun perlu digarisbawahi, bahwa ini mengisyaratkan dependensi alutsista dan alat pertahanan kepada salah satu “pihak”. 

Hal terkait merupakan salah satu manifestasi kerentanan bangsa yang bersifat vital: karena resiliensi hankam merupakan ujung tombak fisik dari upaya pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Volatilitas relasi Indonesia dan Amerika juga perlu diwaspadai, mengingat akumulasi pengalaman historis terkait pengerahan proxy/perantara Amerika yang seringkali mengganggu stabilitas politik domestik dan merubah haluan kebijakan melalui intrusi dan infiltrasi sosial.

Sejatinya, Indonesia tengah berperang. Walau secara tidak langsung.

Premis ini kemudian menjadi penting, karena berkaitan dengan solusi praktis yang perlu dipertimbangkan. Bahwa diplomasi dalam konteks Laut Cina Selatan bersifat menunda, namun tidak menyelesaikan. Potensi penyelesaian konflik terletak pada solusi klasik berupa si vis pacem parabellum: bahwa Indonesia pada akhirnya perlu membuktikan bobot dan substansi “politik bebas aktif” dan prinsip nasionalnya dalam manifestasi fisik berupa kekuatan yang bisa diproyeksikan dan dipertanggung-jawabkan.

Resiliensi atau ketahanan alutsista menjadi salah satu pokok prioritas nyata yang bisa dan perlu diwujudkan; demi tercapainya kemampuan Indonesia dalam memproduksi peralatan tempur yang sesuai dengan kebutuhan, pengalaman dan doktrin Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Perwujudan resiliensi alutsista harus betul-betul dimulai dari awal, dan perihal ini tidak memiliki jalan pintas. Alih daya/ outsourcing terkait kapasitas hankam kepada elemen asing bukanlah opsi jangka panjang, namun bersifat temporer. Kegagalan dalam mendesain, menciptakan dan mengoperasikan adalah bagian dari proses berharga yang tidak ternilai; dan logika ini harus betul-betul ditanamkan secara utuh di Indonesia. Karena sejauh ini, pendekatan untung-rugi dan optimasi adalah acuan utama dalam bernegara: berujung pada logika makelar, tangan ketiga dan alih daya (outsourcing), karena impor lebih efisien dan murah.

Kita memahami bahwa perang modern bersifat semesta: orientasi dan tujuan dari perang tidak hanya sekedar menaklukan, tapi memusnahkan. Pesan historis tersebut disemayamkan sebagai sebuah gagasan abadi yang dipahami oleh TNI dan menjadi landasan ontologis terbentuknya konsep SISHANKAMRATA (Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta); bahwa harga dari sebuah kedaulatan, adalah upaya nasional yang bersifat koheren, total dan masif. Opsinya kemudian adalah memusnahkan atau dimusnahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun