Narasi imajiner seperti ini terkadang penting dalam menyajikan ilustrasi sebuah skenario “what-if”, sekaligus sebagai bahan refleksi terkait kemampuan nasional Indonesia dalam “memukul balik” musuh-musuhnya. Apabila kekuatan organik TNI kita mengalami kehancuran parsial, apakah ideal untuk menunggu datangnya pasokan alutsista asing?
Alutsista yang dikirim melalui jalur maritim ditenggelamkan oleh kapal musuh? Lalu kemudian kita tidak memiliki peralatan berat dalam melawan musuh? Ketersediaan personil melimpah, namun tidak dipersenjatai? Medan Ukraina mengajarkan bahwa logika bread vs butter (ekonomi sipil atau militer) menjadi irelevan untuk dibahas ketika sebuah bangsa gagal dalam memprediksi dan mempersiapkan diri terhadap skenario perang.
Dalam satu hari, Ukraina membutuhkan 20.000 butir munisi artileri kaliber 155mm untuk melawan Rusia, namun Ukraina tidak memiliki kemampuan produksi proyektil dan dependen terhadap kiriman asing.
Ilustrasi terkait hanya fragmen imajinatif kecil dari skema sistemik logika perang yang bersifat semesta atau total. Resiliensi sosial, politik, ekonomi, budaya dan ideologi belum menjadi variabel yang dikalkulasikan; bagaimana kesiapan mental bangsa dalam menghadapi perang dengan jangka tidak menentu, kesiapan logistik darurat nasional, transisi industri damai menjadi industri perang, survivabilitas Indonesia pasca fenomena first-strike (serangan strategis awal yang mengincar objek vital nasional), rentan waktu yang dibutuhkan Indonesia untuk pulih, dan determinan lain.
Karena pada akhirnya kedaulatan Indonesia hanya bisa dijamin oleh rakyatnya sendiri; melalui tumpah darah dan keringat bangsa, bukan belas kasih dan simpati internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H