Upaya penguatan kepada masyarakat agar mampu berperan secara aktif, artinya, masyarakat harus berpartisipasi dalam konteks pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah secara optimal dan produktif untuk mendukung potensi yang ada di masyarakat, lingkungan fisik, dan lingkungan non-fisik. Seperti dengan memberi pelatihan dibandingkan memberikan bantuan tunai karena hal itu lebih penting karena menciptakan pengetahuan, skill, dan keterampilan kerja tertentu agar masyarakat itu mandiri sehingga berimplikasi pada upaya membantu pemerintah dalam mewujudkan pembangunan.
Pemberdayaan Masyarakat
Pembangunan masyarakat dapat dilakukan dengan pemberdayaan yang dilakukan secara sekunder atau (pemberdayaan menekankan proses rancangan, dorongan, serta motivasi untuk memperbaiki taraf hidupnya. Dengan pemerintah membangun kemitraan atau kerja sama dengan pihak-pihak lain untuk bersama-sama membangangun dan menjadi sokongan dana dalam program-program seperti BLT ini.
Seperti yang tertera dalam Undang-Undang No. 9 tahun 2012, kemampuan masyarakat akan lebih baik lagi jika dibekali pemberdayaan, di mana masyarakat mampu lebih berkualitas dan mandiri agar kebutuhan dasar dapat terpenuhi. Pada hakikatnya pemberdayaan Masyarakat adalah untuk meningkatkan kemampuan Masyarakat & memberikan mandat dan kewenangan untuk menghadirkan, meningkatkan, dan menciptakan kemandirian serta ketahanan sosial dari masyarakat.
Ada empat prinsip dalam pengembangan masyarakat.
Pertama, komitmen masyarakat miskin untuk keadilan sosial, hak asasi manusia, kewarganegaraan, pemberdayaan, dan tindakan kolektif.Dalam kasus BLT, program ini belum mampu menunjukkan komitmen pada keanekaragaman di Indonesia, terutama dalam pemberian dana yang belum merata antar daerah.
Kedua, mengubah struktur diskriminasi di masyarakat. Meskipun BLT berusaha meratakan pemberian dana, hal ini justru menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu menyesuaikan solusi kemiskinan dengan karakteristik dan kebutuhan setiap wilayah.
Ketiga, membebaskan masyarakat tertinggal untuk berpartisipasi lebih aktif. Namun, dalam kasus BLT berbeda, malahan keterlibatan masyarakat sangat minim bahkan tidak ada. Masyarakat hanya sebagai pendekatan Top-Down yang digunakan menyebabkan masyarakat hanya berperan sebagai penerima manfaat dari dana bantuan tersebut, padahal pendekatan Bottom-Up lebih diharapkan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Keempat, suasana yang bersahabat dan informal dalam pengembangan masyarakat. Namun, pendekatan Top-Down cenderung menciptakan jarak formal antara pemerintah dengan masyarakat, yang mempengaruhi hubungan menjadi lebih kaku dan kurang bersahabat.
Contohnya
Bantuan Langsung Tunai Desa (BLT) merupakan salah satu jaring pengaman sosial yang menyentuh masyarakat perdesaan secara langsung. Mengingat alokasi dana desa ditetapkan per desa, bukan alokasi per kecamatan atau per kabupaten, maka merelokasi pagu dana desa akan memiliki potensi menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Untuk desa-desa yang alokasi BLT desa sudah mentok dibawah 40%, selisihnya digunakan untuk kegiatan varian BLT desa pada desa tersebut. Kegiatan varian BLT desa dapat berupa kegiatan pemberdayaan masyarakat desa khusus penerima BLT desa yang bertujuan untuk menggalang kemiskinan ekstrim.
(2021) Penerima BLT DD ini merupakan masyarakat desa yang masih membutuhkan bantuan ekonomi seperti masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. (Masyarakat Negeri Hila)
(2023) Penyaluran BLT-DD tahun 2023 bertujuan untuk mengetaskan kemiskinan ekstrim yang ada desa. Dengan anggaran paling sedikit 10 persen dan paling banyak 25 persen dari anggaran Dana Desa (DPMD Banyuasin)
(2024)Â 25 KPM menerima BLT Dana Desa triwulan pertama tahun 2024, dengan syarat tidak menerima bantuan sosial program keluarga harapan (PKH) dan masyarakat yang masuk data ekstrim. (Bupati Ngawi)