Mohon tunggu...
Windi Teguh
Windi Teguh Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penting Gak penting semua ditulis, karena menulis itu Melegakan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bijak Mengelola Keuangan Demi Impian Masa Depan

1 Oktober 2014   00:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:53 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memiliki suami yang bekerja di perusahaan perkebunan negara itu banyak enaknya, tapi ada juga ngga asiknya. Enak, karena kehidupan yang ditawarkan perusahaan begitu nyaman dan mapan. Segala fasilitas yang dibutuhkan rumah tangga disediakan. Mulai dari rumah yang sangat memadai dan luas. Halaman rumah kami sendiri hampir seluas setengah lapangan bola. Kendaraan dinas yang siap mengantar kemanapun, sampai pembantu rumah tangga dan bersih-bersih halaman dengan mudah kami peroleh.  Singkat kata, kami hanya perlu memikirkan bekerja dan bekerja untuk perusahaan, yang lain sudah ada yang mengatur.

Terus ngga asiknya dimana dong?

Ya, saya bilang ngga asik. Karena gara-gara semua sudah disediakan perusahaan, kalau tidak berhati-hati bisa membuat kami lupa mempersiapkan diri untuk masa depan.

Dari pengamatan saya selama ini, rata-rata pensiunan pekerja perusahaan perkebunan ini banyak yang terlena dengan segala fasilitas yang ada.

Kita tahu bahwa kebutuhan utama yang biasanya langsung dipikirkan orang saat berumah tangga adalah sebuah rumah, kemudian disusul kendaraan, baru kebutuhan pokok lain. Gara-gara rumah sudah disediakan perusahaan, kebanyakan jadi lupa, bahwa rumah itu hanyalah rumah dinas, bukan milik pribadi yang kapan pun bisa diambil oleh perusahaan.

Kebanyakan juga sangat menikmati apa yang ada saat ini. Gaji yang tergolong besar membuat taraf hidup pun meningkat. Gaya hidup terus mengikuti kenaikan gaji. Tidak ada yang salah memang, namanya sudah bekerja keras ya wajar dong mau hidup enak.

Untungnya, saya tidak pernah mengikuti gaya hidup kebanyakan teman kantor suami tersebut. Mungkin karena pengaruh saya yang bekerja di bank. Sedikit banyak saya sudah melek financial dari dulu.

Saya membagi kebutuhan dasar menjadi 3 bagian pokok besar yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, investasi dan proteksi.

Sejak masih single, saya memang sudah concern dengan yang namanya investasi dan proteksi. Bukannya karena berambisi ingin jadi orang kaya dan takut akan masa depan. Tapi karena sadar yang namanya pendapatan itu kalau ngga bijak-bijak mengelolanya, seberapa besar pun akan habis saja. Karena manusia itu cenderung memiliki gaya hidup mengikuti pendapatannya. Saat gaji Rp 2 juta, makan di warteg menjadi hal yang lumrah, minum kopi pun seharga Rp 2000 per gelas, nongkrong paling banter di Solaria. Eh begitu gaji naik menjadi Rp 10 juta, makan pun harus di café, ngga level minum kopi harga Rp 2000-an, Starbuck pun jadi rumah kedua. Akhirnya pertambahan pendapatan tidak berpengaruh terhadap pundi-pundi keuangan.

Walaupun bekerja di bank, namun tidakak serta merta membuat saya berfikir bahwa cukup dengan rajin menabung saja, maka berarti saya sudah bisa mengelola keuangan dengan baik. Menabung itu merupakan kebiasaan yang baik, namun menabung tidak membuat uang kita memiliki nilai tambah. Apalagi kalau memikirkan inflasi yang terus mengancam, haduh sepertinya gemar menabung saja tidak cukup. Masih ingat kan, peristiwa tahun 1998, apa ngga pengen bunuh diri tuh, yang sudah mati-matian nabung, tiba-tiba nilai uang ( rupiah) tergerus sampai titik nadirnya.

Makanya sejak dulu saya sudah sadar, di samping menabung yang saya alokasikan untuk dana darurat, saya juga menyisihkan pendapatan untuk investasi dan asuransi.

Dulunya saya sempat memisahkan antara investasi dan asuransi. Saya membeli produk asuransi sendiri dan investasi sendiri. Pertimbangan saya tentu saja, saya ingin hasil yang tinggi untuk investasi dengan tidak mencampurnya bersama asuransi, jadi dana yang saya investasikan murni dikembangkan untuk investasi. Sedangkan pilihan saya memilih asuransi murni, karena alasan ekonomis, agar premi yang saya bayarkan rendah. Karena saat itu saya masih single, maka saya hanya membeli asuransi kesehatan, pikir saya saat itu, saya hanya perlu perlindungan untuk diri saya pribadi bukan orang yang saya tinggalkan.

Karena masih single, saya merasa pilihan saya saat itu adalah pilihan terbaik, sesuai dengan profil keuangan dan sesuai dengan kebutuhan saya. Apalagi saya memiliki cukup waktu untuk memantau dana yang saya investasikan. Alhamdulillah semua berjalan lancar-lancar saja.

Begitu saya berkeluarga, saya belum juga merasakan perbedaan berarti. Jelas, karena saya memiliki penghasilan sendiri, jadi dana yang selama ini saya alokasikan untuk investasi dan asuransi tetap bisa saya gunakan tanpa diganggu gugat oleh suami. Semua berjalan lancar-lancar aja, tanpa ada perubahan signifikan pada perencanaan keuangan saya. Apalagi seperti yang saya ceritakan di awal, rumah, kendaraan dan fasilitas lain sudah tersedia. Makin goyang-goyang kakilah saya. Mau makan apa saja hayuk, bosan tidur di rumah tinggal pindah ke hotel. Aiiih enaknyo.

Selama berumah tangga, saya banyak berinteraksi dengan keluarga lain, teman-teman kantor suami. Kebanyakan seperti yang saya tulis di awal, merasa semuanya oke sampai tidak memikirkan rencana-rencana keuangan ke depan. Sampai saya sering bertemu dengan para pensiunan perkebunan. Suami saya type orang yang sangat suka bersilaturahim, jadi saban hari libur, jika luang ia sering mengajak saya sowan ke rumah mantan-mantan atasannya yang sudah pensiun. Kebiasaan unik yang sangat baik sekali. Menurut saya apa yang dilakukan suami saya itu adalah investasi. Yup, investasi dalam pergaulan dan hubungan baik.

Nah, dari kunjungan-kunjungan itu saya melihat langsung bagaimana perubahan kehidupan mereka. Dari yang dulu serba ada dan memiliki gaya hidup di atas rata-rata, kini seperti tercabut semuanya. Bukan berarti langsung jatuh miskin sih, hanya saja sangat berubah. Bisa dikatakan mengalami penurunan gaya hidup secara drastis. Apalagi yang saat usia produktif tidak sempat memikirkan membeli rumah, wah uang pensiun yang ada malah digunakan untuk membeli rumah. Padahal seharusnya bisa digunakan untuk tambahan modal usaha, atau malah untuk liburan.

Hal paling positif dari bersilahturahim itu disamping mempererat rasa kasih sayang adalah mendapat wejangan gratis dari orang-orang berpengalaman. Rata-rata pesannya memiliki nada yang seirama.

" Dari muda pikirkan untuk berinvestasi, biar ntar pas pensiun ngga ngos-ngosan"

" Jangan terlena dengan fasilitas yang ada sekarang, alokasikan dana untuk pensiun"

Tring... tring.... begitu pulang dari sowan, saya dan suami merenung di mobil. Memikirkan apa yang mereka katakan.

" Gila ya mas, si bapak itu dulu hidupnya mewah banget gitu, sekarang kok kayaknya serba susah, tuh tadi ade lihat, lampu rumahnya aja banyak yang mati " ( xixixi ini pengamatan iseng ngga penting)

" Iya dek, tapi bukan itu yang mas pikirkan, mas cuma ngga mau aja ntar pas kita pensiun, kayak mereka, masih harus mencari kerja lagi supaya bisa hidup seperti sekarang. Aduuuh masa udah pensiun , saatnya tenang menikmati masa tua, tetap harus cari duit sih" keluh suami.

Oh no, absolutely saya setuju dengan suami. Pengennya masa pensiun nanti tenaaaang gitu.

Jadi ingat, waktu kemarin honeymoon di Bali, di sepanjang pantai, di kafe-kafe, di jalanan, sering sekali berpapasan dengan kelompok bule berusia lanjut. Mengenakan kaos oblong, celana pendek, sandal sport, berjemur di pantai sambil memakai kaca mata hitam , tiduran membaca novel, di sampingnya ada segelas juice jeruk dingin. Aduuuh, asoy banget deh melihatnya. Inginnya sih pensiun seperti itu, ngga ngurusin masalah keuangan lagi, tinggal menikmati hasil kerja selama ini dan melakukan hal-hal seru bersama keluarga. Liburan, jalan-jalan, nongkrongin anak yang lagi kuliah ( Saat pensiun, anak pertama kami kelak masih kuliah), keliling dunia mungkin?.

Demi cita-cita mulia itu, saya dan suami berdiskusi untk merencanakan tentang mau dibawa kemana keluarga ini ( kayak bait lagu ya :0 ). Beruntung sekali, kami honeymoon di Bali, dan ngeliat pemandangan nini-nini sama aki-aki yang sehat dan bahagia di hari tua begitu. Itu terjadi 6 tahun yang lalu.

Yang pertama kali kami rencanakan sepulang dari honeymoon adalah merencanakan dana pensiun. Aiiiih, pulang haoneymoon kok malah mikirin pensiun sih?.

Iya, karena sesuai dengan pertimbangan kami, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan dana pensiun, maka semakin kecil dana yang harus disisihkan. Mulai mengalokaskan dana pensiun di usia 25 tahun akan jauh berbeda dengan saat dimulai pada usia 30 tahun.

Sebenarnya saya dan suami masing-masing akan mendapat dana pensiun kelak dari perusahaan. Tapi tahu kan inflasi yang selalu mengintai. Rata-rata kenaikan inflasi pertahun sekitar 5 %. Walaupun toh saat pensiun nanti gaya hidup kita pasti berubah, pengeluaran pun tak akan sebanyak sekarang, namun horor inflasi ini akan membuat dana pensiun yang diberi perusahaan bisa dipastikan tidak akan mencukupi.

Sudah banyak contoh yang saya lihat. Seperti kisah para mantan atasan suami yang mengalami perubahan gaya hidup drastis. Pilihan kami saat itu adalah menyiapkan dana pensiun melalui DPLK, ( Dana Pensiun Lembaga Keuangan). Sistemnya seperti unit link, dimana nantinya setelah usia pensiun, kita bisa menerima hasil investasi dalam bentuk gaji bulanan atau bisa diambil sekaligus sesuai ketentuan yang berlaku.

Asiknya ikut DPLK, kita bisa pilih dimana dana kita akan diinvestasikan sesuai dengan profil risiko kita. Misalnya orang yang Risk taker, bisa memilih penempatan uang di saham. Semakin tinggi risiko hasilnya pun semakin tinggi, high risk high return. Kalau kita orang yang moderat bisa memilih penempatan dana di pasar uang, dan bagi yang tidak terlalu suka berspekulasi dan mau main aman, cukup tempatkan di pendapatan tetap kayak deposito dan obligasi.

Saya pribadi bukan orang yang berani mengambil risiko untuk keuangan keluarga. Tapi saya pengen yield dari investasi saya memiliki return yang lumayan. Karenanya saya lebih memilih penempatan uang secara kombinasi, 20% saham, 80% pendapatan tetap. Jadi kalaupun jelek-jeleknya harga saham turun, saya masih punya return dari pendapatan tetap.

Agar hasil maksimal, saya juga mensetting angsuran dana pensiun untuk ditop up setiap tahun, tidak usah besar-besar 10 % saja. Jadi misalnya tahun 1 iuran pensiun saya sebesar Rp 300 ribu, maka tahun berikutnya dinaikkan menjadi Rp 330 ribu, demikian seterusnya. Untuk menjaga agar tidak lupa, saya memilih melakukan autodebet langsung ke rek simpanan saya.

Setelah merencanakan pensiun, prioritas kami berikutnya adalah membeli kendaraan. Lho kok bukan rumah?. Ya, karena alasan di atas tadi, kami sudah memiliki rumah dinas, jadi yang paling penting saat itu adalah kendaraan. Apalagi saya juga bekerja, kendaraan mutlak kami perlukan untuk kebutuhan mobilisasi. Tak perlu mahal yang penting bagus, ngga banyak perawatan, dan tentu saja sesuai kondisi kantong. Yup, di tahun pertama kami berumah tangga, sebuah mobil kami pilih sebagai asset yang harus dimiliki.

Di samping mobil, saya menyarankan ke suami untuk membeli asuransi dan berinvestasi. Tujuan asuransi, jelas saja untuk melindungi saya, hahahaha, ups.

Maaf, becanda doang. Karena kami berdua bekerja, sebenarnya untuk sarana kesehatan sudah ditanggung oleh perusahaan. Suami ditanggung, saya juga, Jadi sebenarnya kami tidak terlalu membutuhkannya. Namun, fasilitas kesehatan yang diberikan kantor adalah fasilitas standar. Untuk rawat inap, saya mendapat jatah kelas 2. Bukan berarti kelas 2 tidak cukup, namun saya memiliki pengalaman yang kurang mengenakkan saat menjalani operasi usus buntu dan harus dirawat inap di rumah sakit,

Ternyata kelas 2 di rumah sakit yang dirujuk oleh perusahaan berisi 4 tempat tidur. Dan sialnya, tetangga sebelah tempat tidur berisiknya minta ampun, belum lagi kamar mandi yang harus dipakai bergantian. Saya yang habis operasi, saat menggunakan kamar mandi tidak bisa cepat, karena jalannya masih pelan-pelan. Eh kebetulan, mungkin tetangga sebelah mau menggunakan kamar mandi juga, jadilah saya digedor-gedor. Duh ngga enak banget. Akhirnya suami memindahkan saya ke kamar yang isinya satu tempat tidur, alias saya sendiri. Lebih nyaman tentunya. Namun, saya harus membayar selisih biaya kelebihan kamar, plus selisih biaya dokter dan biaya pelayanan. Nah asuransi kesehatan yang kami beli, salah satunya mengcover risiko seperti itu, risiko rawat inap. Uang klaim dari asuransi bisa kami gunakan untuk menutup biaya-biaya yang tidak ditanggung kantor tersebut. Jadi, bukan berarti ikut asuransi terus mengharap-harap sakit biar dapat duit dari penggantian klaim, no no no. Tujuannya lebih kepada, agar jika saya sakit ( amit-amit deh), setidaknya saya tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk mencover fasilitas yang bisa saya nikmati. Apalagi kalau ada keluarga yang sakit, biasanya biaya lain-lain itu yang mahal, seperti biaya transportasi ( seandainya berobat ke luar kota atau luar negeri), akomodasi dan biaya makan. Bagaimana pun, kondisi perawatan yang baik turut membantu proses penyembuhan. Kesehatan mahal harganya, jadi perlu perencanaan untuk itu.

Di samping asuransi kesehatan, kami juga membeli asuransi jiwa. Kenapa?, apakah karena saya takut akan masa depan dan ngga siap menghadapi takdir?.

Ngga juga. Yang namanya takdir, Allah sudah mengatur, termasuk rezeki, pertemuan dan maut. Awalnya kami menganggap asuransi jiwa tidak kami butuhkan saat itu. Soalnya kami belum memiliki anak, siapa yang mau dilindungi?, toh saya dan suami sama-sama bekerja dan memiliki penghasilan. Tapi kata suami saya, ia ingin masuk asuransi jiwa sebagai bentuk kasih sayangnya kepada saya. Jika terjadi apa-apa, minimal saya memiliki waktu untuk menyiapkan mental tanpa dipusingkan masalah financial. Hiks, saya nangis mendengarnya, langsung kebayang hal-hal jelek. Ngga siap banget kalau sampai kejadian. Ya Allah, semoga saya dan suami selalu bersama-sama hingga akhir hayat, aamiin.

Pertimbangan selanjutnya, seperti yang sudah saya ulas di atas, adalah masalah premi. Semakin muda mendaftar asuransi, maka premi yang dibayarkan pun semakin ringan. Akhirnya kami memutuskan membeli asuransi dengan premi yang sesuai alokasi dana. Kami memiliki alokasi dana untuk asuransi sebesar maksimal 10 % dari gaji saja.

Hal ketiga yang menjadi perhatian kami adalah berinvestasi.

Dalam hal ini saya dan suami memiliki pandangan yang berbeda. Saya yang memiliki latar belakang perbankan, merasa instrument keuangan merupakan cara berinvestasi yang mudah dan menguntungkan. Namun, suami yang basisnya bekerja di sektor riil lebih percaya bahwa asset tidak bergerak merupakan investasi yang paling aman. Beda sudut pandang. Saya yang mengutamakan kemudahan, suami yang mengutamakan keamanan.

Kebetulan, karena masa kerja saya di perusahaan sudah melewati 6 tahun, saya diberi fasilitas pinjaman lunak oleh kantor. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, setelah berdikusi, akhirnya kami memutuskan untuk membeli rumah. Saat itu saya bekerja di Tebing Tinggi, sebuah Kotamadya di Sumatera Utara, jadi harga rumah tidak semahal seperti di kota Medan atau di Jakarta. DI tambah bonus tahunan,tanpa melalui KPR, sebuah rumah bisa kami miliki.

Karena kami tinggal di rumah dinas, maka rumah tersebut tidak kami tempati. Yang namanya rumah, kalau dibiarkan kosong tentu akan rusak, lagian rasanya mubazir sekali membeli rumah tapi tidak dimanfaatkan. Apalagi tujuan utama kami membeli rumah adalah untuk investasi, harusnya memberi nilai tambah dong bagi kami.

Karena rumah yang kami beli memiliki banyak kamar ( 5 kamar), maka kamar-kamar tersebut kami sewakan ( kost). Tapi ternyata pendapatan dari kost, tidak sebanding dengan biaya yang harus kami keluarkan. Berhubung di kota kecil, uang sewa kost tidak bisa dipatok tinggi, sementara saya harus mengeluarkan dana untuk listrik, biaya perawatan, biaya keamanan. Setelah dipikir-pikir, akhirnya kami tidak meneruskan usaha kost tersebut.

Rumah tersebut beralih manfaat menjadi rumah kontrakan. Saya berpikirnya kalau dikontrakkan, kami tidak perlu memikirkan biaya listrik, air, keamanan, dan uang kontrak bisa kami terima sekaligus sehingga bisa dimanfaatkan lagi. Namun, mengontrakkan rumah juga tidak bisa kepada sembarang orang, bukannya malah untung, ntar jangan-jangan rumah kita kembali dalam kondisi rusak parah. Karenanya kami mengontrakkan hanya kepada orang yang dikenal. Kebetulan teman suami ada yang mencari kontrakan, klop lah sudah. Ada penghasilan tambahan dari hasil kontrak rumah.

Di tahun, ke-5 pernikahan kami, suami dimutasi dari unit kerja lama ke kantor direksi yang terletak di Kota Medan. Kota Medan berjarak 3 jam perjalanan dari Tebing Tinggi, rumah kami yang sebelumnya. Peraturan perusahaan, untuk pekerja di kantor direksi tidak mendapatkan rumah dinas, namun sebagai gantinya diberi uang sewa rumah dan uang listrik. Tanpa pikir panjang, kami langsung memutuskan untuk mencari rumah di Medan, karena setelah kami hitung, jumlah uang sewa dan uang listrik yang diberikan perusahaan, bisa digunakan untuk membayar angsuran KPR ditambahi sedikit saja.

Ada beberapa criteria yang kami gunakan untuk mencari rumah.

Yang pertama Lokasi

Kami prefer lokasi yang tidak terlalu jauh dari kantor, karena kami sepakat bahwa waktu adalah investasi, membuang-buang waktu di jalan merupakan hal boros yang harus dihindari. Lokasi yang dekat dengan tempat menjual kebutuhan sehari-hari juga merupakan pertimbangan saya, maklum ibu-ibu, ke pasar itu bisa menghabiskan waktu lho, makanya saya lebih pilih yang dekat dengan rumah, tidak harus pasar, warung yang lengkap pun sudah masuk list saya.

Kedua, Lingkungan

Rumah itu tempat kita menghabiskan sebagian besar waktu, tempat pulang, istirahat, bersosialisasi, sekaligus tempat membesarkan anak kita. Karena itu lingkungan yang baik menjadi pertimbangan utama dalam memilih rumah. Setelah survey lokasi, tanya tetangga kanan kiri,termasuk mendatangi lokasi rumah yang diincar dalam beberapa waktu ( pagi, siang, sore, malam) untuk mengetahui kondisi sehari-hari di tempat itu.

Ketiga, Harga

Yesss, apapun ceritanya, ujung-ujungnya harga menjadi hal yang menentukan. Prinsip saya dan suami, kami tidak mau membeli sesuatu di luar kemampuan. Jadi walau sudah selera setengah mati dengan sebuah rumah, kalau harga terlalu jauh dari budget langsung kami coret. Pertimbangannya, untuk memiliki rumah ideal, bisa diangsur pelan-pelan, yang penting membeli rumah sesuai dua criteria di atas plus harga yang terjangkau. Masalah rehab bisa belakangan.

Karena kami membeli dengan cara KPR, harus diatur agar angsuran bulanan tidak mengganggu cash flow keluarga.

Ada tips dari saya agar mendapat harga oke.

1.    Membeli dari penjual yang butuh uang

2.    Membeli saat developer lagi promo

3.    Membeli di saat ekonomi lagi lesu

Dengan tiga tips di atas, kita bisa dapat harga miring.

Membeli rumah dengan cara KPR banyak keuntungan. Pertama KPR memiliki jumlah angsuran flat ( tetap) selama jangka waktu. Padahal nilai uang berubah sepanjang waktu dan nilai rumah akan terus naik dari waktu ke waktu. Artinya ke depan, jumlah angsuran tetap itu akan menguntungkan dari sisi nilai uang ( value money). Misalnya sekarang angsuran Rp 3 juta terasa berat, seiring waktu,dengan kenaikan gaji, pengaruh inflasi,  di tahun ke-5 saja, nilai segitu akan terasa ringan dan mungkin hanya senilai Rp 1 juta sekarang. Sebaliknya, nilai property sepanjang sejarah di Indonesia belum pernah mengalami penurunan, Jadi dengan angsuran yang semakin ringan, nilai asset kita malah bertambah naik.

Saran saya, jika telah memiliki uang, segerakan membeli rumah. Karena yang pasti, jumlah penduduk semakin hari semakin bertambah, tapi luas bumi kita tetap. Pikirkan saja korelasinya.

Alhamdulillah, akhirnya kami bisa membeli rumah sesuai yang kami inginkan, dengan lokasi yang bagus, hanya berjarak 15 menit dari kantor suami, 30 menit dari kantor saya, dekat tempat jualan, akses mudah, lingkungan nyaman dan harga yang miring. Angsuran KPR?, tidak lebih dari 30 % gaji. Mau lebih rendah lagi, cukup naikkan DP-nya.

Seiring perjalanan waktu, kami diberi rezeki lagi dari yang Kuasa. Yup, tanda-tanda kehadiran si buah hati mulai terlihat. Bersyukur sekali, Allah menghadirkannya di saat kami telah mapan secara batin maupun secara financial. Memang benar ya, segala sesuatu hadir pada waktunya, Dia yang paling tahu kapan kita siap.

Kehadiran seorang anak, sedikit banyak merubah struktur keuangan kami. Dari yang dulu cukup memikirkan kebutuhan berdua, sekarang bertambah kebutuhan untuk bayi, dan ditambah pengasuhnya.  Awalnya saya kaget sekali, tak disangka ternyata kebutuhan bayi begitu banyaknya. Mulai dari susu, popok, pakaian sampai mainan. Karena ada penghuni baru, saya pun membutuhkan bantuan seorang asisten rumah tangga di rumah ( ART). Pos pengeluaran bertambah untuk gaji dan untuk makan tentu saja. Di bulan pertama sempat kedodoran juga. Untungnya, karena selama ini kami sudah memiliki pos-pos pengeluaran yang pasti, menjadi tidak sulit untuk menyesuaikannya. Hanya perlu menggeser alokasi saja.

Alokasi dana untuk makan di luar dikurangi, dimasukkan ke anggaran belanja sehari-hari.

Anggaran belanja baju saya dan suami, dikurangi ( bukan dihilangkan), digeser ke anggaran baju bayi

Beli susu, popok, diambil dari anggaran nonton bioskop dan beli gadget ( jadi sering di rumah,ada adek bayi lucuuuu)

Gaji pembantu? Hmmm dikurangi dari anggaran hobi. Saya suka membeli buku, suami suka membeli ikan.Tidak kami hilangkan hanya dikurangi.

Selebihnya, yaaa pastilah mengurangi uang yang bisa kami sisakan dibanding kemarin-kemarin.

Namun, yang pasti, dengan kehadiran anak, kebutuhan proteksi menjadi keharusan. Sekali lagi, bukan karena terlalu mengkhawatirkan masa depan, namun tentunya kami ingin yang terbaik untuk si buah hati. Kami ingin, saat terjadi sesuatu, anak kami tidak akan terlantar dan tetap terjamin masa depannya.

Disinilah, saya mulai berfikir, saatnya merubah pola perencanaan keuangan saya. Yang dulunya saya memisahkan antara investasi dan asuransi, mulai berfikir untuk mengambil unit link saja. Unit link itu, suatu instrument keuangan yang menggabungkan antara proteksi dan investasi, yang dikelola oleh seorang Manajer Investasi.  Dengan unit link, saya bisa memproteksi diri dan keluarga sekaligus mendapat manfaat investasi darinya. Alasan utama saya memilih unit link, karena kepraktisan. Bertambahnya tanggung jawab dan peran saya di keluarga membuat saya merasa bahwa menyerahkan pengelolaan keuangan saya kepada manajer Investasi terpercaya sekaligus mendapatkan hasil investasi dari proteksi yang saya miliki itu merupakan pilihan yang tepat.

Manajer investasi adalah perantara keuangan yang akan mengatur penempatan dana kita sesuai dengan profil risiko yang kita pilih.

Profil risiko itu, secara sederhana bisa diartikan sebagai tingkat risiko yang dapat kita toleransi. Ada orang yang memiliki profil Risk taker, ini cocok untuk berinvestasi ke saham yang biasanya fluktuatif. Sedangkan orang yang memiliki profil risiko moderat, mau bermain aman tapi mau hasil tinggi, dan ada orang yang suka bermain aman. Yang ini cocok untuk berinvestasi di pendapatan tetap. Dari profil risiko itu nantinya akan memudahkan kita menentukan jenis investasi yang kita pilih.

Sebenarnya, kenapa sih investasi melalui manajer investasi itu lebih menguntungkan dibanding kita investasi sendiri? Maksudnya kita menempatkan dana kita di instrument  keuangan seperti saham, obligasi sendiri gitu, ngga melalui perantara jasa keuangan?.

Alasan pertama, karena kita ngga memiliki keahlian untuk itu. Kalau kita mengerti dan paham sih ngga masalah.

Yang kedua, apa kita punya waktu untuk mengamati pergerakan dan pertumbuhan investasi kita?. Misalnya kita menempatkan dana di saham, apa kita memiliki waktu untuk mengamati naik turunnya saham yang kita beli?

Dan yang ketiga, ini alasan utamanya. Karena hasil yang bisa diperoleh dari investasi beramai-ramai itu akan lebih besar daripada kalau kita investasi sendiri.

Maksudnya?

Begini, contoh gampangnya, mana lebih murah, belanja  beras langsung satu karung atau beli per 1 kg?. Tentu lebih murah kalau beli langsung satu karung kan?. Nah seperti itu juga, misalnya kita mau menempatkan dana di deposito. Bunga yang ditawarkan bank akan berbeda antara deposito Rp 100 juta dengan deposito Rp 1 Milyar. Lebih besar yang Rp 1 Milyar. Masalahnya, apakah kita memiliki uang sebanyak itu?. Kalau menunggu duit terkumpul banyak dulu, bisa-bisa ngga jadi kita berinvestasi.

Nah ,permasalahan itulah yang diakomodir oleh unit link, dalam hal ini yang dikelola oleh Manajer Investasi. Jadi mereka mengumpulkan orang ramai-ramai, masing-masing menginvestasikan sejumlah tertentu uang. Dari yang sedikit-sedikit itu, kalau dikumpulkan jadi banyak banget dong, nah dana yang sudah terkumpul itulah yang akan ditempatkan ke berbagai instrument keuangan. Bisa ke saham, pasar uang, obligasi maupun deposito, sesuai dengan pilihan kita.  Hasilnya, nanti ramai-ramai dibagi lagi sesuai dengan kontribusi kita. Lebih mudah kan?. Jadi sebagai pemegang dana kita ngga perlu pusing memikirkan pergerakan saham, naik turun suku bunga deposito, serahkan semuanya ke manajer Investasi. Nanti setiap periode kita akan mendapat laporan keuangan dari mereka, sekaligus laporan perkembangan dana yang kita investasikan. Yiiihaaaaa.

Kelebihan unit link lagi, kita membayar premi untuk jangka waktu tertentu sedangkan masa berlakunya bisa bertahun-tahun setelahnya. Misalnya, kita hanya membayar premi selama 3 tahun pertama, selanjutnya dana yang berkembang itu akan bekerja sendiri untuk 10 tahun ke depan. Jadi, sederhananya, saat kita membeli unitlink, ada jaminan investasi kita akan tetap berjalan walaupun terjadi risiko pada kita. Risiko itu bukan saja karena kecelakaan atau kematian tapi bisa jadi karena kehilangan pekerjaan yang membuat kita tidak mampu membayar premi lagi.

Banyak perusahaan jasa keuangan yang menawarkan berbagai produk proteksi sekaligus investasi yang bisa menjadi pilihan. Sebagai orang yang aware terhadap perencanaan keuangan, banyak pertimbangan saya dalam memilih instrument keuangan yang sesuai dengan kondisi keluarga saya saat ini.

Pertama , Karena kita akan mempercayakan pengelolaan keuangan kita kepada Manajer investasi, maka yang paling perlu kita cermati adalah reputasi perusahaan jasa keuangan tersebut, termasuk siapa Manajer investasinya. Bisa kita lihat dari pengalaman selama ini, rekomendasi orang-orang atau gampangnya dari laporan keuangan perusahaan.  Kalau kata kerennya sekarang itu tabayyun. Mempelajari dulu jasa keuangan yang akan kita pilih.

Salah satu perusahaan jasa keuangan yang menarik perhatian saya adalah Sun Life Financial.

Alasan pertama, karena  Sun life Financial  Indonesia dibawah naungan Sun life Financial Group merupakan perusahaan jasa keuangan yang telah berpengalaman lebih dari 140 tahun.  Sun life Financial Indonesia sendiri telah berdiri sejak tahun 1995. Dari rekam jejak kinerja perusahaan selama puluhan tahun tersebut, terlihat bahwa Sun Life Financial adalah perusahaan asuransi dengan pertumbuhan premi yang solid. Di tahun 2013 pertumbuhan premi  Sun Life financial berhasil mencapai di atas rata-rata pertumbuhan industri di Indonesia.

Kedua, dalam menjalankan usahanya,Sun Life Financial dikelola oleh Manajer Investasi yang berpengalaman yaitu Schroders Investment Management dan Fortis Investment. Kedua manajer investasi tersebut adalah manajer Investasi terbaik di Indonesia ( okezone.com). Alasan tersebut yang membuat saya sangat tertarik karena nantinya dana saya aka dikelola oleh pihak yang kompeten.

Dari pelayanan asuransi, yang paling krusial adalah kemudahan pembayaran klaim yang dilakukan perusahaan. Sun life financial telah membayar klaim sebesar Rp 91,8 Milyar selama kuartal I tahun 2014  hanya untuk asuransi syariah saja. Dari sini bisa dilihat, bahwa pembayaran klaim bukan merupakan hal yang sulit.

Di samping itu, berita tentang penghargaan-perghargaan yang diterima Sun Life Financial merupakan gambaran reputasi perusahaan ini dimata pihak eksternal, seperti penghargaan untuk peringkat satu The Best Risk Management Islamic Life Insurance dengan aset di bawah Rp150 miliar dari Karim Consulting Indonesia, dan peringkat ketiga The Profitable Insurance dengan aset di bawah Rp150 miliar dari Karim Consulting Indonesia.

Dari bebagai produk yang ditawarkan Sun life Financial saya tertarik dengan produk asuransi syariah Brilliance Hasanah Sejahtera

Saya tertarik pada produk ini karena berbasis syariah. Dimana untuk asuransi syariah, tidak memakai prisip jual beli yang berorientasi kepada untung rugi, tetapi memakai konsep tolong menolong, Jadi prinsipnya setiap nasabah mengakadkan diri untuk menolong sesama nasabah lain yang tertimpa musibah. Jadi saat terjadi risiko di kita, dan pihak asuransi membayarkan sejumlah klaim, maka sebenarnya kompensasi itu berasal dari pertolongan nasabah lain.

Brilliance Hasanah Sejahtera, dirancang untuk membantu mencapai tujuan keuangan di masa depan seperti biaya pendidikan, ibadah, modal usaha, maupun dana hari tua.

Kelebihan produk ini, pembayaran premi asuransi bisa menyesuaikan kemampuan dan kebutuhan kita, bisa dibayar secara bulanan, triwulanan, semesteran dan tahunan.Sebagai pekerja yang menerima gaji bulanan, system pembayaran premi ini sangat sesuai dengan kondisi keuangan keluarga saya.

Seiring berjalannya masa investasi, Kita juga dapat melakukan penambahan investasi dengan top up minimum Rp 1.500.000,-. Jadi saat di kemudian hari kita memiliki dana lebih, bisa digunakan untuk peningkatan hasil investasi.  Mungkin saat menerima bonus tahunan, bisa dialokasikan untuk penambahan hasil investasi.

Dari segi perlindungan, unit link ini memberi perlindungan asuransi sampai kita berusia 88 tahun. Usia yang bisa menutup sampai jauh di atas usia pensiun. Dan yang terpenting, saya bisa bebas melakukan penarikan dana investasi pada saat dibutuhkan. Jadi saya bisa ambil saat anak saya masuk sekolah, atau saat ia kuliah. Karena setelah saya hitung-hitung, usia saya saat ini 31 dan suami 35, kami pekirakan saat usia anak kami 17 tahun, saat ia memasuki masa kuliah, suami hampir memasuki masa pensiun. Tentunya akan sangat membantu keuangan kami nantinya, karena biaya kuliah sangat mahal.

Trus proteksinya mana?

Dengan membeli unitlink ini, kita otomatis mendapatkan perlindungan tambahan otomatis untuk pihak yang diasuransikan, yaitu berupa asuransi kematian karena kecelakaan dengan uang pertanggungan sebesar Rp 100.000.000,-

Jadi bisa dibilang, dengan membeli unitlink itu beli satu dapat dua lah. Kita dapat proteksinya, sekaligus dapat pengembangan investasinya.

Begitulah cara keluarga kami mengelola keuangan selama ini. Sampai dengan saat ini, kondisi keuangan keluarga kami sangat baik. Pokoknya prinsip ekonomi paling dasar yaitu pengeluaran tidak boleh melebihi pendapatan, tetap kami terapkan secara saklek., no tolerance.

Pengelolaan keuangan secara bijak memang harus didukung oleh kedua belah pihak, tidak bisa suami saja atau istri saja, harus ada sinergi antara keduanya. Pengeloaan keuangan secara bijak dan terkendali juga tidak tergantung seberapa besar penghasilan kita. Karena seperti yang saya bahas di atas, bahwa sudah sifatnya manusia, semakin besar penghasilan, maka gaya hidup dan pengeluaran pun akan menyesuaikan. Karena itu besar kecilnya pengeluaran bukan penentu terhdapa keberhasilan perencanaan keuangan keluarga.

Pilihan-pilihan di atas tentu bisa saja tidak cocok untuk diterapkan di keluarga lain. Karena cara mengelola keuangan dan merencanakan keuangan setiap keluarga pasti berbeda-beda. Tinggal kita sesuaikan dengan profil keuangan, profil risiko dan kebutuhan masing-masing keluarga.

Mempersiapkan diri dan menata masa depan dengan cara bijak mengelola keuangan merupakan antisipasi kita terhadap masa depan yang masih di wilayah rahasia Ilahi. Itulah bentuk ikhtiar kita, karena bagaimanapun segala sesuatu yang dipersiapkan dengan matang pasti hasilnya akan jauh lebih baik dibanding sesuatu yang dibiarkan berjalan apa adanya.

Cita-cita kami untuk bisa menghantarkan anak ke pendidikan tertinggi yang ia mau, sekaligus menikmati masa pensiun yang berkualitas, semoga bisa tercapai dengan ikhtiar kami di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun