Mohon tunggu...
Windi Teguh
Windi Teguh Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penting Gak penting semua ditulis, karena menulis itu Melegakan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bijak Mengelola Keuangan Demi Impian Masa Depan

1 Oktober 2014   00:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:53 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di samping mobil, saya menyarankan ke suami untuk membeli asuransi dan berinvestasi. Tujuan asuransi, jelas saja untuk melindungi saya, hahahaha, ups.

Maaf, becanda doang. Karena kami berdua bekerja, sebenarnya untuk sarana kesehatan sudah ditanggung oleh perusahaan. Suami ditanggung, saya juga, Jadi sebenarnya kami tidak terlalu membutuhkannya. Namun, fasilitas kesehatan yang diberikan kantor adalah fasilitas standar. Untuk rawat inap, saya mendapat jatah kelas 2. Bukan berarti kelas 2 tidak cukup, namun saya memiliki pengalaman yang kurang mengenakkan saat menjalani operasi usus buntu dan harus dirawat inap di rumah sakit,

Ternyata kelas 2 di rumah sakit yang dirujuk oleh perusahaan berisi 4 tempat tidur. Dan sialnya, tetangga sebelah tempat tidur berisiknya minta ampun, belum lagi kamar mandi yang harus dipakai bergantian. Saya yang habis operasi, saat menggunakan kamar mandi tidak bisa cepat, karena jalannya masih pelan-pelan. Eh kebetulan, mungkin tetangga sebelah mau menggunakan kamar mandi juga, jadilah saya digedor-gedor. Duh ngga enak banget. Akhirnya suami memindahkan saya ke kamar yang isinya satu tempat tidur, alias saya sendiri. Lebih nyaman tentunya. Namun, saya harus membayar selisih biaya kelebihan kamar, plus selisih biaya dokter dan biaya pelayanan. Nah asuransi kesehatan yang kami beli, salah satunya mengcover risiko seperti itu, risiko rawat inap. Uang klaim dari asuransi bisa kami gunakan untuk menutup biaya-biaya yang tidak ditanggung kantor tersebut. Jadi, bukan berarti ikut asuransi terus mengharap-harap sakit biar dapat duit dari penggantian klaim, no no no. Tujuannya lebih kepada, agar jika saya sakit ( amit-amit deh), setidaknya saya tidak perlu mengeluarkan uang lebih untuk mencover fasilitas yang bisa saya nikmati. Apalagi kalau ada keluarga yang sakit, biasanya biaya lain-lain itu yang mahal, seperti biaya transportasi ( seandainya berobat ke luar kota atau luar negeri), akomodasi dan biaya makan. Bagaimana pun, kondisi perawatan yang baik turut membantu proses penyembuhan. Kesehatan mahal harganya, jadi perlu perencanaan untuk itu.

Di samping asuransi kesehatan, kami juga membeli asuransi jiwa. Kenapa?, apakah karena saya takut akan masa depan dan ngga siap menghadapi takdir?.

Ngga juga. Yang namanya takdir, Allah sudah mengatur, termasuk rezeki, pertemuan dan maut. Awalnya kami menganggap asuransi jiwa tidak kami butuhkan saat itu. Soalnya kami belum memiliki anak, siapa yang mau dilindungi?, toh saya dan suami sama-sama bekerja dan memiliki penghasilan. Tapi kata suami saya, ia ingin masuk asuransi jiwa sebagai bentuk kasih sayangnya kepada saya. Jika terjadi apa-apa, minimal saya memiliki waktu untuk menyiapkan mental tanpa dipusingkan masalah financial. Hiks, saya nangis mendengarnya, langsung kebayang hal-hal jelek. Ngga siap banget kalau sampai kejadian. Ya Allah, semoga saya dan suami selalu bersama-sama hingga akhir hayat, aamiin.

Pertimbangan selanjutnya, seperti yang sudah saya ulas di atas, adalah masalah premi. Semakin muda mendaftar asuransi, maka premi yang dibayarkan pun semakin ringan. Akhirnya kami memutuskan membeli asuransi dengan premi yang sesuai alokasi dana. Kami memiliki alokasi dana untuk asuransi sebesar maksimal 10 % dari gaji saja.

Hal ketiga yang menjadi perhatian kami adalah berinvestasi.

Dalam hal ini saya dan suami memiliki pandangan yang berbeda. Saya yang memiliki latar belakang perbankan, merasa instrument keuangan merupakan cara berinvestasi yang mudah dan menguntungkan. Namun, suami yang basisnya bekerja di sektor riil lebih percaya bahwa asset tidak bergerak merupakan investasi yang paling aman. Beda sudut pandang. Saya yang mengutamakan kemudahan, suami yang mengutamakan keamanan.

Kebetulan, karena masa kerja saya di perusahaan sudah melewati 6 tahun, saya diberi fasilitas pinjaman lunak oleh kantor. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, setelah berdikusi, akhirnya kami memutuskan untuk membeli rumah. Saat itu saya bekerja di Tebing Tinggi, sebuah Kotamadya di Sumatera Utara, jadi harga rumah tidak semahal seperti di kota Medan atau di Jakarta. DI tambah bonus tahunan,tanpa melalui KPR, sebuah rumah bisa kami miliki.

Karena kami tinggal di rumah dinas, maka rumah tersebut tidak kami tempati. Yang namanya rumah, kalau dibiarkan kosong tentu akan rusak, lagian rasanya mubazir sekali membeli rumah tapi tidak dimanfaatkan. Apalagi tujuan utama kami membeli rumah adalah untuk investasi, harusnya memberi nilai tambah dong bagi kami.

Karena rumah yang kami beli memiliki banyak kamar ( 5 kamar), maka kamar-kamar tersebut kami sewakan ( kost). Tapi ternyata pendapatan dari kost, tidak sebanding dengan biaya yang harus kami keluarkan. Berhubung di kota kecil, uang sewa kost tidak bisa dipatok tinggi, sementara saya harus mengeluarkan dana untuk listrik, biaya perawatan, biaya keamanan. Setelah dipikir-pikir, akhirnya kami tidak meneruskan usaha kost tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun