Memiliki suami yang bekerja di perusahaan perkebunan negara itu banyak enaknya, tapi ada juga ngga asiknya. Enak, karena kehidupan yang ditawarkan perusahaan begitu nyaman dan mapan. Segala fasilitas yang dibutuhkan rumah tangga disediakan. Mulai dari rumah yang sangat memadai dan luas. Halaman rumah kami sendiri hampir seluas setengah lapangan bola. Kendaraan dinas yang siap mengantar kemanapun, sampai pembantu rumah tangga dan bersih-bersih halaman dengan mudah kami peroleh. Â Singkat kata, kami hanya perlu memikirkan bekerja dan bekerja untuk perusahaan, yang lain sudah ada yang mengatur.
Terus ngga asiknya dimana dong?
Ya, saya bilang ngga asik. Karena gara-gara semua sudah disediakan perusahaan, kalau tidak berhati-hati bisa membuat kami lupa mempersiapkan diri untuk masa depan.
Dari pengamatan saya selama ini, rata-rata pensiunan pekerja perusahaan perkebunan ini banyak yang terlena dengan segala fasilitas yang ada.
Kita tahu bahwa kebutuhan utama yang biasanya langsung dipikirkan orang saat berumah tangga adalah sebuah rumah, kemudian disusul kendaraan, baru kebutuhan pokok lain. Gara-gara rumah sudah disediakan perusahaan, kebanyakan jadi lupa, bahwa rumah itu hanyalah rumah dinas, bukan milik pribadi yang kapan pun bisa diambil oleh perusahaan.
Kebanyakan juga sangat menikmati apa yang ada saat ini. Gaji yang tergolong besar membuat taraf hidup pun meningkat. Gaya hidup terus mengikuti kenaikan gaji. Tidak ada yang salah memang, namanya sudah bekerja keras ya wajar dong mau hidup enak.
Untungnya, saya tidak pernah mengikuti gaya hidup kebanyakan teman kantor suami tersebut. Mungkin karena pengaruh saya yang bekerja di bank. Sedikit banyak saya sudah melek financial dari dulu.
Saya membagi kebutuhan dasar menjadi 3 bagian pokok besar yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, investasi dan proteksi.
Sejak masih single, saya memang sudah concern dengan yang namanya investasi dan proteksi. Bukannya karena berambisi ingin jadi orang kaya dan takut akan masa depan. Tapi karena sadar yang namanya pendapatan itu kalau ngga bijak-bijak mengelolanya, seberapa besar pun akan habis saja. Karena manusia itu cenderung memiliki gaya hidup mengikuti pendapatannya. Saat gaji Rp 2 juta, makan di warteg menjadi hal yang lumrah, minum kopi pun seharga Rp 2000 per gelas, nongkrong paling banter di Solaria. Eh begitu gaji naik menjadi Rp 10 juta, makan pun harus di café, ngga level minum kopi harga Rp 2000-an, Starbuck pun jadi rumah kedua. Akhirnya pertambahan pendapatan tidak berpengaruh terhadap pundi-pundi keuangan.
Walaupun bekerja di bank, namun tidakak serta merta membuat saya berfikir bahwa cukup dengan rajin menabung saja, maka berarti saya sudah bisa mengelola keuangan dengan baik. Menabung itu merupakan kebiasaan yang baik, namun menabung tidak membuat uang kita memiliki nilai tambah. Apalagi kalau memikirkan inflasi yang terus mengancam, haduh sepertinya gemar menabung saja tidak cukup. Masih ingat kan, peristiwa tahun 1998, apa ngga pengen bunuh diri tuh, yang sudah mati-matian nabung, tiba-tiba nilai uang ( rupiah) tergerus sampai titik nadirnya.
Makanya sejak dulu saya sudah sadar, di samping menabung yang saya alokasikan untuk dana darurat, saya juga menyisihkan pendapatan untuk investasi dan asuransi.