Mohon tunggu...
Windi Meilita
Windi Meilita Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Content Writer

Introvert muda yang senang menghabiskan waktu di kamar sambil scroll layar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Penjual Gado-gado

7 Februari 2024   12:38 Diperbarui: 7 Februari 2024   13:11 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang yang namanya harus dirahasiakan pernah berkata, "Di dunia ini selalu ada dualitas untuk segala sesuatu. Kamu harus berani hidup tanpa mengkhawatirkan pandangan orang lain."

Kalimat itu selalu terngiang-ngiang tapi sangat sulit menerapkannnya untuk segala urusan. Bagaimana caranya hidup tanpa mengkhawatirkan pandangan orang lain? Aku ingin hidup seperti itu. Akhirnya, cara terbaik yang bisa kupertimbangkan adalah berusaha melatih diri menahan komentar apapun yang diberikan orang.

Setelah 3 bulan berlalu, pilihan tadi justru menjadikanku makhluk anti sosial yang lebih sering menghindari semua acara dan kegiatan sosial karena malas memaklumi komentar orang. Dan ujung-ujungnya gelar 'anak rumahan' melekat padaku. 

Sekarang aku bukan hanya kehilangan minat bersosial, aku juga kehilangan teman. Orang-orang yang dulu sering mengajak pergi setiap akhir pekan, sudah tidak ada lagi. Beberapa kali memang ada undangan nikah, tapi aku memilih titip kado atau titip doa saja. 

Kadang aku mengira keputusan menarik diri dari lingkungan sosial ini merupakan wujud dari pemahaman dualitas yang kucapai. Aku jadi nggak peduli gimana pandangan mereka ke aku, yang penting aku sudah ambil keputusan dan nyaman. 

Tapi, rasanya ada yang salah dengan situasi ini. Aku merasa kurang nyaman saat terlalu lama sendirian dan merasa kurang mampu kalau harus berinteraksi dengan orang lain setiap hari. Seperti ada yang kosong dan hampa, tapi sulit mendeskripsikannya.  Seperti terseret ke arus baru yang nggak berkaitan sama sekali dengan dualitas. 

Seseorang yang namanya harus disembunyikan itu ada jauh di seberang negeri. Pun, aku tidak mengenalnya, kata-kata itu hanya bagian dari cuitan yang pernah kubaca  di media sosial yang nggak sengaja lewat saat aku menghabiskan waktu untuk scroll layar. Aku ingin berdiskusi dengannya untuk menemukan makna dualitas yang sebenarnya dan hidup tanpa memikirkan pandangan orang lain. 

Tapi, dia ada di seberang negeri!

"Sendirian aja neng?" tanya Ibu penjual gado-gado yang warungnya masih sepi. Warung ini baru buka dua atau tiga hari yang lalu. Masih jarang orang yang mampir ke sini. 

"Iya bu, udah biasa juga" ujarku sambil menikmati suapan ke sekian. Gado-gado di warung ini lumayan enak. Ditambah lagi ada pilihan gorengan yang disiapkan di meja kasir, jadi bisa langsung pilih aneka gorengan yang ada untuk teman makan gado-gado. 
 
"Kalo bisa mah jangan sendirian neng, kamu perempuan. Bahaya perempuan pergi-pergi sendirian. Apalagi kamu nggak naik motor." Ibu itu diam sebentar melihat lalu lintas di depannya. "Ya, mau naik motor atau nggak, usahain jangan sendirian neng. Bahaya."

Sejujurnya aku agak kurang relate dengan nasehat beliau mengingat selama ini semuanya aman-aman saja. 
Sekarang hampir sebagian besar perempuan bepergian sendiri. Cara ini bahkan dinilai lebih mandiri karena tidak bergantung pada laki-laki atau bergantung pada orang lain.

Jadi aku hanya tersenyum tanpa memberi jawaban apapun.

"Sekarang nasehat kayak gitu sudah jarang dipake ya neng? Ibu juga sadar, anak ibu yang perempuan hampir tiap hari pergi-pergi sendiri juga. Tapi ya gimana ya neng, namanya orang tua, cuman bisa kasih nasehat."

Aku tersenyum lagi, bingung harus jawab apa. 

"Neng sekarang umurnya berapa?" tanyanya lagi.

"Jalan 25 bu, akhir tahun nanti 25."  

"Masih muda. Mumpung belum nikah neng, banyak-banyakin pengalaman. Umur ini nggak akan muncul lagi lho. Kalo neng masih kuliah, nikmati masa-masa kuliahnya. Mau bandel dikit nggak papa, nggak masuk kelas nggak papa yang penting tetap jaga kehormatan. Kalo sudah kerja, neng masih muda, kerja pelan-pelan aja jangan terlalu dipaksain. Neng nikmatin semuanya. Nggak perlu ngejar target ini, itu, biar kerjanya nggak cepet bosen."

Aku mendengarkan dengan baik semua nasehat ini. Sebagai orang tua, Ibu penjual gado-gado punya pandangan yang nggak terlalu kaku. 

"Di usia neng, ibu dulu sering banget takut sama omongan orang. Rasanya setiap keputusan ibu selalu diambilnya dari omongan orang atau pandangan orang. Dulu ibu pikir itu udah bagus banget sikap kayak gitu, tapi setelah bertahun-tahun malah capek sendiri. Orang-orang seneng ada ibu tapi ibu nggak seneng sama diri ibu sendiri."

Sejauh ini aku masih belum tau harus menanggapi dengan jawaban apa. Kemampuan itu menghilang seiring dengan berkurangnya minat untuk bersosial.

"Neng seumuran sama anak ibu, jadi bawaannya pengen banyak cerita" ujarnya lagi. 

"Ngga papa bu."

Ibu penjual gado-gado itu diam sejenak seperti mengamati aku. Aku sadar tapi nggak peduli, toh beliau ngga berbahaya. 

"Kalo kata ibu mah, di usia neng ini lakuin aja semua yang neng suka, nggak perlu mikirin orang lain, nggak perlu mikirin tanggapan orang lain. Asalkan neng punya tujuan yang jelas, biarin aja orang-orang. Toh mereka cuman ketemu neng sekali-kali aja. Jangan karena mereka neng jadi ngurung diri di kamar terus, ngga punya tujuan apalagi sampe ngga pengin ngapa-ngapain. Itu jangan banget. Umur neng ini umur emas. Cobain semua kesalahan buat nemuin kesempatan."

Kali ini aku benar-benar tidak bisa menjawab. Nasehatnya seperti tidak asing. 

"Maaf neng, ibu bukannya mau sok tau tapi rasanya neng ini kayak jarang ketemu orang. Sering sendirian. Anak ibu yang nomor tiga persis kaya neng. Kalo kata dia, dia mau hidup apa adanya aja, nggak perlu palsu-palsu. Lebih nyaman juga buat dia. Apa katanya itu ya, nggak capek, atau apa gitu. Ibu lupa. Tapi ya Ibu dukung aja, mungkin dia lagi nemuin sesuatu yang baru tapi jiwanya belum bisa ngarahin."

Aku semakin tidak bisa berkata-kata. Untungnya gado-gadoku sudah habis, jadi aku bisa mendengarkan Ibu penjual gado-gado ini sambil minum es teh.

"Kalo menurut ibu ya, ngga papa menerapkan apapun yang neng tau itu sambil nyoba-nyoba hal lain yang ada manfaatnya buat neng. Namanya belajar pastikan nggak gampang tapi setidaknya belajar sambil jalan bisa bikin neng lebih tau, mana yang cocok buat neng. Nggak perlu dengerin apa kata orang, apa kata buku. Neng punya hidup sendiri."

Aku sangat ingin menanggapi nasehat ini, entah beliau mengerti atau nggak, rasanya seperti menemukan seseorang yang mampu memahamiku hanya dalam sekali lihat. Bersedia memberi sedikit saran dan masukan tanpa memberikan tendensi khusus untuk dituruti. Aku ingin menanggapinya karena cuman beliau yang bersedia ngobrol panjang denganku meskipun aku nggak menanggapi. Aku juga ingin menanggapi semua nasehatnya karena rasanya hanya ini kesempatan yang aku punya. 

Banyak hal yang berputar di pikiranku, tentang cuitan dualitas itu, tentang aku yang menjadi penyendiri, tentang orang-orang yang berkomentar seenaknya, tentang kehidupanku yang ngga baik-baik aja, tentang sulitnya cari kerja, tentang nggak punya teman, keluarga atau orany yang bisa dipercaya untuk mendengarkan ceritaku.

Aku ingin mengutarakan semuanya. Tapi sial, semuanya hanya menyangkut di tenggorokan. Aku butuh waku, mungkin 5 menit lebih lama tapi sepertinya tidak akan cukup. Dan ternyata benar. Ada dua pembeli lain yang memesan gado-gado 10 porsi untuk di bawa ke kantor.  Ibu penjual gado-gado langsung sibuk di depan medan tempurnya. Ia mengabaikanku seolah kami ngga saling kenal. Tapi yang lebih penting dari itu,  aku justru merasa diberi waktu untuk menelaah, menyaring dan menyimpan semua nasehatnya.

Anehnya aku ngga merasa tersinggung sama sekali. Mungkin karena usia dan ucapannya tadi, 'namanya orang tua cuman bisa kasih nasehat.'  Mungkin juga karena ucapannya memang nggak menyinggung. 

Rasanya seperti isi pikiranku teruraikan tanpa perlu repot-repot menjelaskan atau mencari seseorang yang namanya harus disembunyikan itu. Aku ingin merenungi semua nasehat Ibu penjual gado-gado dan memilih hal mana yang bisa aku terapkan untuk hidupku.  

Saat bungkusan ke enam selesai, aku berpamitan dan membayar semuanya. Ibu penjual gado-gado berterima kasih karena aku sudah mampir. Dan aku hanya mengangguk. 

Soal dualitas, anti sosial, anak rumahan, jauh dari orang-orang, penyendiri, kesepian, apapun itu, semuanya menguap satu persatu seperti rasa lapar yang hilang karena gado-gado milik Ibu Penjual Gado-gado. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun