Gadis Senja. Aku menyebutnya seperti itu. Ketidaksengajaan menghafal kebiasaannya dalam beberapa minggu ini. Menangkap damai dari sosokmu yang pendiam. Kau selalu datang saat langit mulai menampakkan semburat jingganya. Memilih tempat bagian kanan di taman kafe ini. Tepat menghadap ke barat. Menikmati rona kemerahan, menyaksikan gradasi yang mengagumkan.Â
Dua cangkir cappuccino panas selalu kamu pesan. Menemanimu duduk termenung menatap langit, sendiri. Ya sendiri... Aku jelas melihatnya selalu seperti itu setiap hari.Â
Apakah kau sedang menunggu seseorang? Atau? Ahh...lelaki mana yang tega membiarkan seorang wanita anggun sepertimu menunggu lama. Ingin rasanya aku menyapamu, tetapi seseorang seperti aku tak berani melakukan itu. Hanya menatapmu dengan berbagai pertanyaan dalam benakku.Â
Anehnya aku pun melakukan hal yang sama sepertimu, menatap jingga dari siluet wajahmu. Hingga aku tersadar kau telah pergi selepas matahari sempurna menghilang.Â
Kulihat selembar kertas tertinggal di mejamu.
"Cappucinomu sudah dingin, besok kusiapkan lagi untukmu..."
Deg!!!
***
Hari ini aku kembali siap meracik kopi dengan aroma yang selalu istimewa dan tentunya kubuat dengan penuh kasih sayang.
"Halo Banyu" tiba-tiba suara melengking milik sahabatku, Anggit membuyarkan lamunanku.
"Dasar, ngagetin aja." Aku mencoba kembali fokus dengan kopi-kopi di depanku.