Mohon tunggu...
Windarsih
Windarsih Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Bumi Manusia

Mahasiswi kelahiran Wonogiri yang tengah merantau di Kota Semarang

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi - Teater di Jalanan

4 Mei 2019   18:45 Diperbarui: 4 Mei 2019   18:50 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hidup dari setetes air,

yang tak ada kerelaan tumpah dari ibuku.

Mati berhadap-hadapan,

jatuh satu aliran bersama sungai-sungai bumi.

Konkordansi riwayat hulu-hilir hidupku,

dibacakan pada demonstrasi-demonstrasi mahasiswa.

Alih-alih mengisi teriakan dalam perut,

suara mereka kubakar habis menganga.

Menghormat barisan cokelat yang Tuan kirim,

takut mereka menerobos palang besi.

Prasangka apa semalam Tuhan kirim,

diabai, diusir, atau akan ricuh lagi

Menceritakan anekdot temanku kemarin,

Mereka digilas, tak ada waktu buat tertawa.

Debu-debu menampar wajah,

peluh berceceran tak ada peduli buat memungut.

Tak terhitung jam langkahi jam makan pejabat,

hingga serak teriakan-teriakan laju speaker.

Aku ingin mereka hidupkan lagi,

nyala keadilan dan sejarah teman-temanku.

Namun semakin malam mengaba-aba,

tak ada seorang jua keluar membawa lega.

Mereka tidak pulang, membatu,

mencegat untuk berteriak esok lagi.

Semarang, 3-4 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun